Sampaikan kepada rekan Cetak berita ini
Minggu, 03 Juli 2005
Dari Dekrit Sampai PP
Ada dua peristiwa penting yang terjadi pada tahun 1959 dalam sejarah Indonesia. Pertama, Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli untuk kembali ke UUD 1945. Sekaligus membentuk MPRS setelah Konstituante hasil Pemilu pertama tidak berhasil menetapkan Haluan Negara.
Bung Karno, sampai akhir hayatnya berpendapat bahwa demokrasi liberal tidak cocok bagi Indonesia. Dengan bangga ia menyatakan Demokrasi Terpimpinlah yang pantas bagi Indonesia, bukan demokrasi ala Barat. Peristiwa penting lainnya adalah diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) No 10 tahun 1959, yang memindahkan warga Tionghoa dari pedesaan. Dengan PP itu, semua pedagang eceran Cina harus menutup usaha mereka di pedalaman. Tepatnya di tingkat kecamatan ke bawah. Jadi para pedagang Cina yang banyak membuka usahanya sampai kepelosok-pelosok desa diharuskan hengkang.
Sementara, di Jawa Barat, Panglima Siliwangi Kolonel Kosasih memaksa mereka pindah. Lebih dari 100 ribu orang Cina meninggalkan Indonesia menuju daratan Cina. Diantara mereka terdapat sejumlah pemain bulutangkis. Dan, berkat didikan mereka, RR Cina kemudian menghasilkan pemain-pemain bulutangkis yang handal. Bahkan, ketika Rudy Hartono jadi juara tujuh kali All England, pemain dari RRC tidak diperkenankan bertanding. Di PBB, RRC saat itu dikucilkan. Di organisasi dunia ini Cina hanya diwakili Taiwan, yang punya hak veto.
Tentu saja PP 10/1959 tidak berlaku di Jakarta dan kota-kota besar. Kala itu, di Jakarta dipenuhi warung Cina. Belum banyak muncul warung pribumi. Sebagai contoh di di Jl Kramat II, Kwitang, Jakarta Pusat. Di jalan yang panjangnya kira-kira 500 meter terdapat tidak kurang enam warung Cina. Para pedagang ini umumnya Cina singkeh (totok) yang bahasa Indonesianya masih berantakan. Meskipun begitu, setidaknya mereka terlibat dalam persoalan politik yang menyagkut situasi di daratan Cina.
Kala itu (sejak Mao Ze Dong melakukan pemberontakan di daratan Cina), di Nusantara, warga Cina terpisah jadi dua kelompok. Ada yang pro Mao dan ada yang pro Chiang Kai Sek (yang kemudian terusir dari daratan Cina ke Taiwan). Seperti saat acara penting di negeri leluhur. Ada yang memasang bendera Kunchantang (RRC) dan sebagian bendera Koumintang (Chiang Kai Sek). Sekalipun terjadi perbedaan ideologi tapi dalam ihwal berdagang mereka boleh dipuji kekompakannya. Sebagai alat penghitung mereka gunakan sempoa, yang kini mulai diminati lagi.
Lalu apa yang diperdagangkan di warung-warung itu? Hampir semua kebutuhan rakyat tersedia. Mulai dari beras, gula dan minyak, sampai arang dan kayu bakar. Maklum di rumah-rumah orang memasak menggunakan kayu bakar. Di tiap rumah terdapat semprong dari bambu yang ditiup ke arah kayu bakar untuk menjaga agar api terus menyala. Baru pada akhir 1960-an, kayu bakar digantikan minyak tanah. Tapi nyatanya, sekalipun kayu bakar tidak digunakan lagi, justru keadaannya lebih parah dari tempo doeloe. Pembabatan hutan makin tidak terkendalikan, berkat kerjasama antara cukong, oknum TNI, kepolisian, Pemda, aparat kehutanan dan rakyat.
Hubungan jual beli antara pedagang Cina dan pribumi baik sekali. Di warung-warung itu kita bisa berhutang. Hingga tidak heran banyak pribumi yang menguasai bahasa Cina. Seperti kamsia (terima kasih), seceng (seribu), cepe (seratus), cetah (setalen), ceban (sepuluh ribu), dan masih banyak lagi. Bahkan banyak di antara mereka yang belajar silat gaya Cina, yang disebut kungfu.
Sementara, kawasan China Town, Glodok menjadi pusat perdagangan yang dikuasai etnis Cina. Konon, uang yang beredar di pusat perdagangan Glodok saat itu lebih 60 persen dari jumlah uang yang beredar di Indonesia. Waktu itu, mereka juga menguasai industri batik. Di Jakarta sampai 1960-an banyak terdapat industri batik dengan ribuan pekerja. Seperti di Palmerah, Setiabudi, Senayan, dan Karet Kuningan.
Sementara, orang-orang Arab lebih banyak bergerak dalam jual beli bahan bangunan. Mereka membuka toko-toko di kampung-kampung, menjual cat, kapur, genteng, semen, dan besi beton. Di samping itu, banyak juga yang menjual perabot rumah tangga. Boleh dibilang, merekalah yang memelopori perusahaan properti di Jakarta. Tahun 1950-an baru kecil-kecil. Mereka membeli satu dua rumah tua, untuk kemudian dihancurkan dan dibangun baru. Harga rumah baru dengan tiga kamar, yang sekarang ratusan juta rupiah, kala itu tidak lebih dari satu juta rupiah. Kemudian usaha mereka berkembang. Kini, banyak etnis Arab yang jadi pengusaha real estate.
Sedangkan sejumlah pengusaha pribumi membuka usaha percetakan. Seperti Percetakan Siliwangi di Jl Batuceper milik Ili Sasmita, Penca di Jl Paseban milik H Abdullah, percetakan Pemandangan milik H Tabrani, yang sekaligus menjadi pemimpin redaksi Harian Pemandangan. Dia juga yang sejak 1950-an memiliki Hotel Cipayung, di Cipayung, Bogor, hingga kini. Juga Percetakan Jakarta Pers yang mencetak Harian Pedoman yang dipimpin H Rosihan Anwar.
Kala itu, liburan yang paling digemari adalah nonton film. Saat televisi belum muncul, penonton mau bersusah payah untuk ngantri di loket-loket bioskop. Sebagai warisan Belanda, bioskop dibagi dalam kelas-kelas. Balcon, Lodge, Stalles, dan kelas kambing, di bangku bagian paling depan. Yang paling mengesankan waktu itu adalah keamanan kota Jakarta. Copet hanya ada di trem dan kereta api. Perampokan yang kini merebak boleh dikata jarang terjadi. Motor yang jumlahnya tidak banyak tidak pernah hilang saat diparkir. Pencuri belum secanggih sekarang. Belum terpikir untuk membuat kunci 'Letter T'. Sepeda juga aman. Karena dikunci. Dan yang banyak pencurian 'berco' yang menempel di ban, yang digunakan pada malam hari untuk menyalakan lampu sepeda.
(Alwi Shahab )
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment