Calo, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah orang yang menjadi perantara untuk menguruskan sesuatu berdasarkan upah. Bagi warga Betawi, calo punya konotasi buruk. Dasar calo lu!, umpatan kekesalan seseorang karena ulah para calo yang sering melakukan pemerasan.
Di negara kita ada 1001 macam percaloan. Seperti dalam pengiriman TKI/TKW ke luar negeri, para calo sangat berperan. Mereka berkeliaran sampai ke desa-desa dan tidak jarang melakukan penipuan. Demikian juga saat penerimaan pegawai negeri, ada calo-calo yang meminta uang sampai puluhan juta rupiah.
Menjelang Idul Fitri ini dikabarkan sejak awal Ramadhan karcis kereta api untuk mudik lebaran sudah terjual habis. Ada yang mensinyalir itu akibat ulah para calo yang konon bermain dengan orang dalam. Para calo menawarkan karcis di atas harga resmi. Belum lagi percaloan di terminal-terminal bus, hingga Menhub Hatta Radjasa bertekad untuk memberantasnya. Bahkan kartu kompensasi BBM juga dicaloin. Ada yang berani beli dengan harga antara Rp 800 ribu dan Rp 1,2 juta. Hingga Presiden SBY menjadi sangat marah dan minta agar para calo dan penyelewengan itu ditindak tegas.
Tapi sejak sebulan ini terembus percalon gaya baru yang hingga sekarang masih jadi pemberitaan di berbagai media massa. Karena yang jadi calo adalah wakil-wakil rakyat di DPR. Wakil rakyat itu dituduh terlibat percaloan anggaran dana pasca bencana. Sampai ada yang mengatakan, kok tega-teganya menjadi calo di daerah yang rakyatnya menderita karena tertimpa bencana. Padahal karena rakyatlah mereka bisa ke Senayan.
Rupanya percaloan di negeri kita sudah berlangsung selama berabad-abad. Bahkan marak terjadi pada masa VOC atawa kompeni. Dikisahakan bahwa VOC selaku kongsi dagang raksasa yang sempat menguasai dunia perdagangan akhirnya bangkrut di tahun 1799. Salah satu sebabnnya adalah karena korupsi yang merajalela yang dilakukan pejabat tingginya sendiri, termasuk gubernur jenderalnya.
Untuk itu, sebaiknya kita mendatangi bekas markas VOC di Pasar Ikan, Jakarta Utara. Berdiri di bekas menara syahbandar VOC di depan Museum Bahari Pasar Ikan, kita akan melihat ratusan kapal phinisi tengah bersandar di muara Ciliwung di Teluk Jakarta. Dari tempat inilah, ketika imperium VOC memegang kendali pelabuhan Sunda Kelapa kapal-kapal yang melintasinya harus memberi uang rokok. Karena, di terminal ini ada calo-calo yang akan mempermudah kelancaran arus masuk dan keluar bongkar muat. Beberapa waktu lalu di pelabuhan Tanjung Priok para kuli bongkar muat melakukan aksi mogok, karena tidak tahan terhadap pungkli dan calo-calo yang melakukan pemerasan. Itu menunjukkan sampai sekarang masih terjadi pungli dan pencaloan di tempat yang amat vital dan strategis tersebut.
Kembali ke masa VOC, dikisahkan bahwa untuk menggemukkan kantongnya sendiri, sang gubernur jenderal menjual jabatan-jabatan 'empuk' atau 'basah', pada mereka yang berani menyogoknya. Bahkan, ada calon pejabat harus membayar kontan 50 ribu gulden dan selanjutnya tiap bulan menyerahkan 7000 ringgit. Dan, setelah yang bersangkutan memperoleh kedudukan basahnya tersebut ia akan berusaha untuk memperoleh jumlah dua kali lipat dari yang pernah ia berikan. Caranya, tentu saja dengan penyelewengan dan pemerasan.
Disamping itu, pejabat yang diangkat ditempat yang 'empuk' itu setiap tahun harus memberi 50 ribu gulden kepada gubernur jenderal sebagai balas jasa (upeti). Para pemegang hak memungut pajak Tionghoa, terutama pajak judi dan candu, turut menambah penghasilan bagi gubernur jenderal. Karena, untuk jabatan-jabatan itu dilakukan pelelangan, maka para tukang lelang sekaligus bertindak sebagai calo. Mereka menawarkan jumlah upeti yang harus diberikan pada atasannya. Korupsi dan percaloan bukan hanya di kalangan gubernur jenderal. Juga marak di eselon para pembantunya, terutama para residen.
Dalam buku Toko Merah yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta disebutkan, gubernur jenderal William Herman Daendels digaji 118 ribu gulden setahun dan gajinya sebagai jenderal 12 ribu gulden. Walaupun gajinya terbilang besar, namun dalam kurun tiga tahun pemerintahannya (1908-1911), ia masih bisa menggaruk 553.275 ringgit dari sarang burung di Yogyakarta. Tanah partikulir yang diberikan kepadanya juga dijual dengan nilai lebih dari satu juta ringgit.
Datang dari tempat yang jauhnya ribuan kilometer dari Eropa ke Batavia, sebagai kompensasi para pejabat kompenmi berusaha mengumpulkan uang sebanyak mungkin sebagai bekal bila kembali ke negerinya. Mereka juga hidup sangat boros, membangun vila-vila mewah di luar kota, yang sebagian masih dapat kita saksikan saat ini. Mereka dan keluarganya dilayani puluhan, bahkan ada yang memiliki lebih seratus budak. Seperti juga sekarang, memiliki rumah mewah dan setumpuk pembantu merupakan gengsi. Di zaman itu, makin banyak memelihara budak tingkat sosial mereka makin tinggi. Tidak heran kalau di Batavia sekitar 50 persen dihuni para budak. Kawasan Kalibesar Jakarta Kota pernah jadi tempat pelelangan budak.
(Alwi Shahab )
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment