Sulit memperkirakan gedung berlantai dua dan beratap genteng seperti terlihat dalam gambar adalah gedung Bina Graha, salah satu tempat kegiatan presiden sehari-hari. Fotografer Woodbury & Page mengabadikan gedung ini pada awal 1870-an, saat masih menjadi Hotel der Nederlanden.
Letaknya di samping kanan Risjwijk Palace (kini Istana Negara) di Risjwijk (kini Jl Veteran), Jakarta Pusat. Di halamannya terlihat para petugas hotel dengan pakaian seragam dan beberapa sado, yang tengah menunggu penumpang. Maklum kala itu mobil belum nongol, hingga taksi digantikan kendaraan berkuda.
Hotel der Nederlanden, kala itu merupakan hotel termewah di Batavia, sebelum dibangun Hotel des Indes pada dekade pertama abad ke-20. Hotel ini memiliki pekarangan luas hingga ke Medan Merdeka Utara. Sekarang merupakan bagian dari Gedung Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yang juga dibangun 1980. Sebelumnya gedung DPA yang berada di tempat sama masih sederhana. Presiden Soekarno di samping Panglima Tertinggi (Pangti) ABRI, Pemimpin Besar Revolusi (PBR), juga ketua DPA. Setelah Demokrasi Terpimpin (Juli 1959), banyak keputusan penting dilaksanakan dari gedung DPA.
Sementara Presiden Soeharto lebih banyak melakukan kegiatan sehari-hari di Bina Graha. Di gedung ini Soeharto setiap Selasa, memimpin sidang kabinet bidang Ekuin, di samping menerima para menteri dan tamu-tamu penting. Sebelumnya gedung ini merupakan rumah besar dan vila milik Pieter Tenzy (1796). Kemudian dijual pada Mr WH Van Isseldijk, anggota Dewan Hindia Belanda.
Raffles (1811-1816), memilih sebagai tempat tinggalnya di Batavia, saat Kerajaan Inggris menguasai Pulau Jawa. Hingga dinamakan Gedung Raffles. Sekalipun dia lebih sering tinggal di Istana Buitenzorg (Bogor) yang berhawa sejuk. Bertolak belakang dari Bogor sekarang dijuluki kota 'sejuta angkot' dan lalu lintasnya semrawut. Pada 1840 menjadi 'Hotel Place Royal' dengan pemiliknya Johannes Petrus Fals. Empat tahun kemudian (1846) namanya diganti jadi Hotel der Nederlanden.
Pada tahun 1950-an, ketika nama-nama asing di indonesiakan, lebih-lebih yang berbau kolonial namanya jadi Hotel Dharma Nirmala. Karena berdampingan dengan istana, Bung Karno menjadikannya sebagai Markas Cakrabirawa, pasukan elit pengawal Presiden. Setelah peristiwa G30S, Cakrabirawa dibubarkan dan pengawalan Presiden dialihkan pada CPM. Seorang pendatang dari Belanda ketika keliling Batavia awal abad ke-20 menulis: ''Di Rijswijk kami melewati beberapa hotel besar, rumah makan Departement van Binnelandse Bestuur (kini Depdagri), Istana Gubernur Jenderal, dan Kementerian Kehakiman.
Semua bangunan itu dicat putih dan dihiasi oleh pilar-pilar di terasnya. Berkilauan ditimpa cahaya matahari dengan latar belakang alam tropis yang hijau. Dari hotel-hotel di Rijswijk kami amat terkesan pada Hotel der Nederlanden walaupun hanya dilihat dari luar.''Selanjutnya ia menulis: ''Kami benar-benar terkesan pada Rijwijk dan daerah seberangnya Noordwijk (Jl Juanda) dengan toko-toko vilanya serta kafe. Semua tampak mewah dan indah, terutama pada saat kami berpapasan dengan kereta kuda pribadi dengan para kusir pribumi berseragam yang indah. Para perwira, penduduk, wanita yang berkuda, dan aneka pakaian penduduk pribumi serta Tionghoa dengan pakaian Timur mereka sangat menyegarkan mata.''
(Alwi Shahab, wartawan Republika )
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment