Berbelok kearah kiri setelah melewati Jl Juanda, Jakarta Pusat, kita memasuki Jalan Pecenongan. Gedung paling ujung yang terletak antara Jl Juanda dan Pecenongan terdapat kantor PT Astra. Gedung yang cukup besar dan terletak di hook ini dulunya toko buku dan percetakan Van Dorp, milik Belanda.
Boleh dikata, Van Dorp toko buku terbesar dan terlengkap di Jakarta kala itu. Gunung Agung dan Gramedia belum muncul. Seperti juga berbagai perusahaan milik Belanda, toko buku itu 'diambil alih' pertengahan 1950-an akibat sengketa Irian Barat (Papua). Di kiri Jalan Pecenongan, dulu terdapat Gang Bongkok. Gang buntu yang dihuni warga Betawi. Mereka banyak yang berprofesi sebagai tukang penatu. Baju dan pakaian mereka cuci di Kali Ciliwung yang jaraknya tidak lebih dari seratus meter. Masih di Jalan Pecenongan, di sebelah kiri jalan menuju arah Sawah Besar terdapat Gang Abu.
Saya punya cukup banyak pengalaman ketika masa kanak-kanak tinggal di kampung ini. Seperti juga Gang Abu, banyak jalan yang sudah menghilang. Ada yang karena diganti namanya, banyak juga yang tergusur menjadi pertokoan dan pencakar langit. Semua lorong atau jalan di sini menjadi Jalan Batutulis I sampai XX.
Di Gang Abu dulu banyak berdiam keturunan Arab berdampingan dengan warga Betawi. Seperti almarhum M Asad Shahab, pendiri kantor berita Arabian Press Board (APB), pada tahun 1940 sampai 1950 tinggal di Gang Panjang (kini Jalan Batutulis I). Ketika revolusi fisik, APB berjasa besar menyiarkan proklamasi kemerdekaan ke negara-negara Arab, sehingga Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan RI. Di Gang Panjang terdapat sasana tinju, yang pada 1950-an dan 60-an menghasilkan banyak petinju terkenal seperti Bobby Nyoo dan Jacky Nyoo.
Di Gang Lebar (kini Jalan Batutulis XIII), kala itu terdapat rumah kediaman KHM Syafi'i Alkhadzami, yang kini mengajar dan membuka majelis taklim di belasan tempat. Ia pernah menjadi ketua MUI DKI Jakarta (1985-1990). Dalam usia 9 tahun dia telah khatam Alquran seperti juga banyak dilakukan anak Betawi kala itu. Kiai ini pernah mengajar di Masjid Gang Abu, berseberangan dengan rumah Habib Husein Alaydrus, cicit pendiri masjid Luar Batang, Pasar Ikan.
Di Jalan Pecenongan dulu terdapat toko buku dan penerbit G Kolff & Co. Kolff merupakan toko buku dan percetakan pertama di Jakarta, berdiri pada 1848. Pendirinya seorang Belanda bernama Johannes Cornelis Kolff. Mula-mula berkantor di Buiten Nieuwpoort (kini Pintu Besar Selatan). Kolff juga aktif di bidang pers. Dialah yang menyeponsori surat kabar terkemuka di Indonesia: Java Bode. Kantor Kolff di Pecenongan, sekarang menjadi Hotel Red Topp. Di sini juga terdapat Hotel Imperium, disamping perkantoran, restoran, dan showroom beberapa perusahaan mobil besar. Boleh dikata kini sudah tidak ada lagi rumah tinggal di Pecenongan.
Hal yang sama juga kami dapati di Jalan Batutulis, yang terletak di sebelah kirinya. Di sinilah Wakil Gubernur DKI Fauzi Bowo pernah tinggal semasa anak-anak. Dia tinggal bersama kakeknya, H Abdul Manaf, yang pada masa itu menjadi salah seorang tokoh NU. Kesetiannya pada NU ditularkan pada puteranya, H Syah Manaf. Seperti juga kakek dan pamannya, Ir Fauzi Bowo mengikuti jejak mereka menjadi ketua NU Jakarta Raya. Bersebelahan dengan kediaman kakeknya, terdapat rumah SMR Shahab. Dia adalah importir film-film Mesir dan pengelola bioskop Alhambra, di Sawah Besar. Bioskop ini khusus memutar film-film Mesir, sebelum tersaingi film India. Di depan bioskop terdapat Pasar Ciplak, tempat para seniman sering berkumpul.
Di Jalan Batutulis terdapat kluster tempat mendidik calon biarawati Katolik. Tempat ini terbentang dari Jalan Juanda hingga Jalan Batutulis, yang panjangnya lebih dari 500 meter. Pada masa VOC (1602-1799) agama Katolik dilarang berkembang di seluruh daerah kompeni. Baru pada 1806, ketika Louis Bonaparte menjadi Raja Belanda, agama Katolik boleh berkembang. Louis adalah adik Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte, yang berhasil menaklukkan Belanda. Pihak Prancis menyatakan memberikan perlindungan yang sama terhadap semua agama. Pada 8 Mai dicapailah kesepakatan antara Raja Louis Bonaparte dan Vatikan, hingga agama Katolik dibolehkan berkembang di Nusantara.
Penduduk Tugu, Jakarta Utara, yang beragama Protestan, dulunya Katolik. Mereka diberikan tempat tersebut setelah mengganti agamanya jadi Protestan. Di Depok, bekas keturunan budak telah dibebaskan oleh Chastelein, setelah mereka masuk Protestan. Berbelok ke kiri dari Jalan Batutulis, terdapat Jalan Juanda III. Dulu bernama Gang Thieubalt (Gang Tibo, kata orang Betawi). Jalan yang kini hanya dihuni perkantorn, rumah makan, dan berbagai tempat bisnis lainnya, mengabadikan seorang Belanda, Alfred Thiebault. Memulai karir sebagai guru, ia kemudian menjadi pengelola klub hiburan militer Concordia di Lapangan Banteng (kini menyatu dengan Depkeu). Kemudian jadi pengelola Klub Hiburan elit Belanda, Harmonie. Kini bagian dari gedung Setneg.
Di Gang Thiebault terdapat toko roti Bogerien, yang kesohor di Jakarta sampai 1950-an. Di sini juga terdapat rumah makan Italia Chez Morio yang banyak didatangi anak-anak muda. Di dekatnya terdapat Masjid Kebon Kelapa. Di masjid ini, sejak 1940-an dikembangkan ajaran tarekat oleh KH Abdul Fatah. Di dekatnya terdapat Brendesch Laan (kini Jalan Batuceper). Kemudian Gang Bedeng. Bedeng berasal dari nama pengusaha es warga Belanda: Buddungh. Di Gang Bedeng tinggal seorang ahli fikih kenamaan, almarhum Habib Abdullah Shami Alatas. Banyak ulama Betawi yang berguru kepadanya. Di kawasan ini sekarang hampir tidak terdapat lagi perumahan. Rupanya Jakarta berkembang terlalu cepat, sehingga di kanan-kiri jalan-jalan raya sudah hampir tidak tersisa lagi rumah-rumah tinggal.
(Alwi Shahab )
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment