Tuesday, March 21, 2006

Shouwburg di Pasar Baru

Inilah jembatan kearah pertokoan Pasar Baru, Jakarta Pusat diabadikan 1880 atau 125 tahun lalu. Jembatan diatasi Sungai Ciliwung begitu sederhana. Maklum kala itu belum nongol kendaraan bermotor. Paling-paling hanya delman atau sado. Di jembatan terlihat dua buah tiang alat penerangan, yang kala itu masih belum menggunakan listrik, tapi gas. Pabrik gas di bangun di Gang Ketapang (kini Jl KH Zainul Arifin) dan masih berfungsi hingga kini.

Beberapa orang Cina tampak berdiri di jembatan Pasar Baru. Kala itu rambut pria Cina umumnya masih dikepang, yang disebut kotang. Sayangnya tidak tampak dalam foto. Seperti juga di kawasan bisnis Glodok dan Senen, nuansa Cina juga sangat kental di Pasar Baru. Karena susunan bangunan rumahnya serupa dengan apa yang ada di negeri asal mereka. Baru kemudian para pendatang dari India ikut membuka toko di Pasar Baru. Mereka umumnya pedagang tekstil dan alat-alat olahraga. Dan bertempat tinggal di sekitar Jl Pintu Air dekat Pasar Baru.

Berhadapan dengan jembatan tampak Gedung Kesenian (Shouwburg), yang dibangun sejak masa kekuasaan Inggris (1811-1816). Orang Betawi sampai kini ada yang masih menyebut gedung komidi. Semula gedung kesenian ini terbuat dari bambu dan beratap rumbia. Tentara Inggris yang pernah bercokol di Batavia rupanya lebih mencintai seni katimbang Belanda. Karena mereka terpengaruh oleh Letnan Gubernur Sir Thomas Raffles yang punya perhatian khusus pada kesenian dan kebudayaan. Pementasan perdana di gedung ini Oktober 1814. Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) mula-mula hanya diterangi oleh lampu-lampu minyak dan lilin. Baru 1864 dimodernisasikan dengan lampu gas. Lampu listrik baru beberapa tahun kemudian.

Baru 1820 dibangun gedung permanen yang berdiri tegak hingga sekarang. Gedung bergaya Yunani Baru ini sebagian bahan bangunannya diambil dari tiga gedung tua dari wilayah Spinhuisgracht (sekitar Pasar Ikan). Yakni rumah tahanan, rumah sakit Cina dan sekolah. VOC Pada Oktober 1821 sebenarnya sudah bisa beroperasi. Tapi terhalang akibat terjadinya wabah kolera hingga masyarakat yang dihantui penyakit mematikan ini jadi takut. Akibat wadah kolera di Batavia saja 733 orang mati. Padahal penduduk kota ini kala itu hanya ratusan ribu manusia saja. Maklum kala itu, pengobatan tidak secanggih sekarang. Demikian pula pelayanan di rumah sakit.

Seorang turis Eropa yang datang ke Batavia setelah peresmian menilai bahwa gedung kesenian ini tidak kalah menariknya dari gedung kesenian yang ada di Eropa. Pada awal abad ke-19 ini, kebanyakan pembesar dan penontonnya mengendarai kereta kuda. Dan gedung ini khusus menyediakan kandang kuda. Di samping taman bunga yang berada di depan dan samping. Karcis masuk berturut-turut 4,5 gulden (perak), 3,50 gulden, seringgit (2,5 perak), satu setengah gulden dan tiga talen (75 sen). Kala itu, harga karcis ini terhitung mahal. Yang unik, penonton pria dan wanita tempat duduknya di pisah. Maklum pergaulan belum sebebas sekarang, termasuk di masyarakat Eropa. Pemisahan semacam ini juga terjadi di bioskop pada awal abad ke-20.

Schouwburg seringkali mementaskan drama-drama yang didatangkan dari luar negeri (Eropa). Seperti pemtasan karya Goethe dan Hamlet karya William Shakspeare sudah tidak asing kala itu. Bahkan pemain-pemainnya adalah aktor dan artis lokal. Yang mendapat pujian dari komisi Amsterdam sebagai seni yang bermutu. Sampai saat ini, GKJ tetap mempertahankan karakter aslinya, dengan ornamen-ornamen klasik, dengan pilar-pilarnya yang khas di dalam gedung.

Kembali ke kawasan Pasar Baru, yang hingga kini bertahan sebagai salah satu pusat perdagangan bergengsi di Jakarta, sebelum adanya pasar berupa kebun, rawa dan lapangan terbuka. Di lapangan terdapat beberapa buah kombongan untuk makan dan minum kuda. Hingga jadi pangkalan para tukang sado. Di sekitarnya terdapat warung-sarung kecil tempat para tukang sado berisitirahat, makan dan minum. Warung-warung kecil inilah yang kemudian jadi cikal bakal Pasar Baru.

Di masa Presiden Soekarno, Pasar Baru merupakan pasar gelap valuta asing. Kala itu, mereka yang ingin bepergian ke luar negeri dan sekembalinya ke tanah air menjual valuta asing di sini. Apalagi masa itu akibat fluktuasi valuta asing yang tidak terkendal, kursnya tidak boleh diumumkan di koran-koran. Sekarang jual beli dolar dan valas secara gelap masih terjadi di Pasar Baru. Bahkan sudah meluas ke Jl Kwitang, dari toko buku Gunung Agung sampai toko buku Walisongo.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

No comments: