Tuesday, March 21, 2006

Tanjidor Musik Jazz Betawi

Betawi sangat kaya dengan ragam kesenian tradisional. Maklum sejak berabad-abad kota ini sudah didatangi beragam bangsa. Termasuk bangsa Portugis yang datang sebelum Belanda.

Bangsa di Eropa Selatan itu ikut memasukkan unsur keseniannya dalam bentuk musik tanjidor. Karena dimainkan oleh sepuluh bahkan sampai belasan orang dengan berbagai alat musik, sehingga ada yang mengkategorikannya sebagai ''musik jazz Betawi''.

Perkiraan asal muasalnya dari Portugis, karena berasal dari kata ''tanger'', yang berarti memainkan alat musik--pada pawai militer atau upacara keagamaan. Entah kenapa, kata ''tanger'' kemudian diucapkan jadi tanjidor.

Ngamen di kampung Mungkin generasi sekarang tidak banyak lagi mengenal musik klasik yang satu ini. Padahal, sampai pertengahan 1950-an, tanjidor 'ngamen' dari kampung ke kampung, terutama untuk memeriahkan perayaan Lebaran, pergantian tahun, dan Imlek (tahun baru Cina).

Pada saat Imlek, hari-hari ngamen tanjidor jauh lebih lama. Pasalnya, Imlek dirayakan sampai Capgomeh atau hari ke-15 Imlek. Pengamen tanjidor berasal dari daerah pinggiran Betawi, yaitu Karawang, Bekasi, Cibinong, dan Tangerang. Saat ngamen mereka terpaksa menginap di Jakarta, meninggalkan keluarganya di kampung.

Peralatan yang mereka bawa pun cukup berat, seperti terompet Prancis, klarinet dan tambur Turki, serta terompet besar. Yang menyedihkan, mereka ngamen dengan berjalan kaki tanpa alas sepatu atau sandal.

Berasal dari budak
Ernst Heiinz, ahli musik Belanda, berpendapat bahwa tanjidor asalnya dari para budak yang ditugaskan main musik oleh tuannya. Hal ini dipertegas oleh sejarahwan Belanda yang banyak menulis tentang Batavia bahwa orkes tanjidor kemudian muncul pada masa kompeni.

Sampai 1808, kota Batavia dikelilingi benteng tinggi. Tidak banyak tanah lapang. Para pejabat tinggi kompeni membangun villa di luar kota, seperti di Cilitan Besar, Pondok Gede, Tanjung Timur, Ciseeng, dan Cimanggis. Di vila-villa yang megah dan mewah itu, mereka mempekerjakan ratusan budak. Di antara mereka ada yang khusus memainkan alat-alat musik untuk menghibur para tuan saat jamuan makan malam dan kegiatan pesta lainnya. Ketika perbudakan dihapuskan 1860, mereka membentuk perkumpulan musik yang dinamakan tanjidor.

Pengaruh Belanda
Dalam perkembangannya kemudian, orkes rakyat ini dipengaruhi musik Belanda. Lagu-lagu yang dibawakan, antara lain Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Welmes, dan Cakranegara.

Judul lagu itu berbau Belanda meski dengan ucapan Betawi. Tapi, Tanjidor juga membawakan lagu-lagu Betawi asli, seperti Jali-Jali, Surilang, Kicir-kicir, Cente Manis, Stambul, dan Parsi. Pada 1954, Walikota Sudiro melarang musik tanjidor ngamen. Pelarangan ini tentu saja membuat para senimannya menjadi kecewa.

Kini, musik tanjidor dikabarkan merana di tengah situasi Betawi modern (Jakarta). Keberadaannya tak lagi populer untuk ukuran Ibukota RI ini yang sudah kosmopolitan. Padatnya penduduk dan jalanan macet, juga menyulitkan rombongan seniman tanjidor untuk ngamen, meski sudah tak ada lagi larangan.



( alwi shahab )

1 comment:

Sjaaf said...

Di artikel ini, koq tertulis Alwi Shihab, tidak seperti biasanya Alwi Shahab.
Apakah salah ketik, atau memang lain orangnya. Walau kadangkala ada yang menulis Shihab dan ada yang Shahab.

Quraisy Shihab, misalnya.