Bangsa Indonesia kembali memperingati kemerdekaannya. Tahun ini kita telah 60 tahun merdeka. Untuk mengenang saat-saat menjelang proklamasi kemerdekaan, sebaiknya kita mendatangi sebuah gedung di Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat, berdekatan dengan gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di tempat gedung bercat putih berlantai dua itu berada, pada masa Belanda bernama Oranye Boulevard dan masa Jepang Meijidori. Di sinilah tinggal Laksamana Muda Tadashi Maeda, penghubung AL Jepang.
Di gedung bergaya Eropa yang dibangun pada 1930-an itulah Bung Karno dan Bung Hatta serta para pemimpin bangsa kala itu menyiapkan naskah proklamasi kemerdekaan RI. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada 16 Agustus tengah malam, setelah keduanya pulang dari Rengasdenglok karena diculik para pemuda militan. Naskah proklamasi -- yang kemudian pada tiap tahun peringatan detik-detik proklamasi selalu dibacakan -- baru selesai disusun pada 17 Agustus 1945 pukul 04.00, bertepatan dengan 8 Ramadhan 1364 Hijriah.
Gedung yang pernah ditempati Kedubes Inggris itu merupakan salah satu gedung bersejarah yang terselamatkan. Karena, gedung yang paling bersejarah di Jl Pegangsaan Timur (kini Jl Proklamasi) No 56, tempat proklamasi kemerdekaan dibacakan, telah dibongkar pada 1960. Kembali ke gedung di Jl Imam Bonjol, yang kini dijadikan Museum Perumusan Naskah Proklamasi, karena naskah baru selesai dibuat jelang subuh, banyak dari mereka langsung ke kediaman Bung Karno. Meskipun teks proklamasi baru akan dibacakan pukul 10.00 pagi, tapi sejak dini hari sudah berbondong-bondong, terutama Barisan Pelopor, yang datang ke Jl Pegangsaan Timur 56.
Karena serba cepat dan belum rapi pengorganisasiannya, banyak pemuda yang akan menghadiri acara tersebut datang ke lapangan Ikada (kini Monas). Di sini kemudian disebarkan selebaran tulisan tangan agar mereka ke Pegangsaan Timur 56. Pembacaan teks proklamasi di kediaman Bung Karno dianggap lebih aman mengingat balatentara Jepang masih berkeliaran di Jakarta. Sempat dikhawatirkan akan terjadi bentrokan antara massa rakyat dengan tentara Jepang.
Ada Barisan Pelopor sekitar 100 orang dari Penjaringan, Jakarta Utara, yang datang terlambat. Mereka kecewa karena tidak sempat melihat teks proklamasi kemerdekaan dibacakan. Lalu mereka meminta agar diulang. Tapi ditolak Bung Karno. Proklamasi kemerdekaan hanya dibaca satu kali saja tak boleh diulang dan untuk selama-lamanya.
Salah satu kekurangan besar yang hampir sukar dimaafkan adalah soal dokumentasi. Peristiwa paling bersejarah dan tidak mungkin diulang lagi meskipun 1000 tahun mendatang itu hampir saja tidak didokumentasikan. Hanya ada tiga adegan penting yang diabadikan. Pertama, adegan waktu Bung Karno membacakan teks proklamasi. Kedua, sebagian dari orang-orang yang hadir. Dan, ketiga, adegan waktu acara penaikan bendera Sang Saka Merah Putih. Ketiga gambar yang dijepret Soemarto Frans Mendoer itulah yang tiap tahun dimuat di suratkabar dan majalah menjelang HUT Proklamasi.
Memang disayangkan, mengapa putra kelahiran Sulawesi Utara yang berusia 32 tahun dan jadi jurufoto IPPHOS itu hanya mengabadikan tiga adegan saja dari peristiwa yang paling bersejarah tersebut. Tapi, andaikata tidak ada Frans Mendoer maka kita tidak akan punya satu foto dokumentasi pun dari peristiwa proklamasi kemerdekaan. Sementara yang paling disesalkan adalah gedung proklamasi kini sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada, rencana membangun kembali nilai sejarahnya tidak mungkin sama dengan yang asli.
H Soebagio IN dalam buku Jagad Wartawan Indonesia menulis, Mendoer sudah jadi wartawan foto sejak 1935. Mula-mula dia belajar pada kakak kandungnya sendiri Alex Mendoer yang kala itu menjadi wartawan foto Java Bode, koran berbahasa Belanda di Jakarta. Di samping di Wereldnieuws, sebuah mingguan berbahasa Belanda yang dicetak di percetakan de Unie di Jakarta. Setelah Jepang kalah perang, dia pula bersama BM Diah yang memelopoori perebutan percetakan de Unie. Sedangkan Soemarto adalah nama bapak angkatnya.
Jepang tahu benar, bahwa kalau gambar pembacaan proklamasi itu sampai tersiar niscaya punya efek atau akibat psikologis yang hebat sekali kepada rakyat. Sewaktu Jepang datang kepadanya dan minta negatifnya, Frans Mendoer menyatakan tidak ada lagi padanya dan sudah diambil oleh Barisan Pelopor. Padahal negatif foto-foto peristiwa pembacaan teks proklamasi itu disembunyikan Mendoer dan ditanam di halaman kantor harian Asia Raya di bawah pohon. Andaikata kala itu dia tidak bisa bohong niscaya generasi sekarang dan yang akan datang tidak dapat mengetahui seperti apa peristiwa itu. Seperti juga generasi sekarang tidak tahu lagi bentuk gedung proklamasi Pegangsaan Timur 56, tempat kediaman Bung Karno.
Frans Mendoer banyak pula mengabadikan suasana kota Jakarta pada masa-masa revolusi fisik, yang kini dapat kita saksikan foto-fotonya. Seperti kata-kata Merdeka atau Mati Freedom or Death semboyan yang banyak terdapat di Jakarta kala itu, termasuk di tembok-tembok dan trem listrik. Sewaktu pemerintah RI hijrah ke Yogyakarta, tidak ketinggalan Mendoer juga ikut serta. Bukan dengan pistol FN atau senjata bren, tapi dengan kameranya ia mengabadikan perjuangan bangsanya yang tengah bergulat hidup dan mati melalwan Belanda.
Frans Mendoer meninggal dunia pada 24 April 1971 di Rumah Sakit Sumber Waras Jakarta. Dalam hubungan ini harian Pedoman mencatat, ''Tidak banyak wartawan yang mengantar jenazah Soemarto Frans Mendoer ke makamnya.'' Sedangkan Merdeka menulis, ''Terlepas dari segala-galanya, dia berhak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlalwan.'' Sayangnya, tulis H Subagio IN, ''Meskipun begitu besar jasanya dan berhasil mengabdikan sejarah perjuangan bangsanya, namun dia kebetulan dianggap tidak punya syarat untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.'' Memang cukup tragis dan menyedihkan.
(Alwi Shahab )
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment