Lalu lintas di Tanah Abang -- yang tengah berambisi menjadi sentra bisnis terbesar di Jakarta -- makin hidup sejak beroperasi Kereta Rel Listrik (KRL). Tiap hari, sejak subuh hingga malam, ribuan penumpang dari Bogor, Bojonggede, Citayam, Depok, dan sekitarnya, yang bekerja di Jakarta memanfaatkan KRL. Baik saat pergi maupun pulang kantor.
Untuk menunjang sentra industri yang kini tengah dibangun di beberapa lokasi di sekitar Jakarta, Tanah Abang disiapkan akan menjadi salah satu pemusatan monoreal. Bagi mereka yang tinggal di Bogor dan Depok kini lebih senang naik kereta api katimbang mobil pribadi. Apalagi sekarang ini membeli premium harus ngantri, belum lagi kena macet yang sudah makin kagak ketolongan di Ibukota. Naik kereta api bisa menghemat BBM, seperti dianjurkan pemerintah.
Tidak heran kalau penumpang KRL Bogor-Tanah Abang berjubelan. Di antara stasion KA yang dipadati penumpang adalah Stasion Sudirman. Nama baru untuk Stasion Dukuh Atas, salah satu kampung tua di kelurahan Setiabudi. Letaknya diujung Jl Blora dan Jl Kendal. Jl Blora, Jakarta Pusat, sampai 1970-an terkenal dengan Sate Bloranya.
Pada masa gubernur Ali Sadikin, ketika steambath (panti pijat) dan klub malam banyak berdiri di Jl Blora, tukang sate dipindahkan ke Jl Kendal, bersebelahan dengan Blora. Para tukang sate, sop dan gorengan itu awalnya berdagang di pasar Tanah Abang. Di antara pedagang sate terkenal adalah Mat (Muhammad) Kumis. Kini, banyak pedagang sate, sop kaki, dan soto yang menambahkan nama Kumis di belakang namanya. Yang pasti, tidak semua pedagang sate berkumis.
Banyaknya penumpang yang turun dan naik di Stasion Sudirman karena dari sini mereka dengan mudah mendatangi tempat kerjanya di sekitar Jl Jenderal Sudirman, Jl Thamrin, dan Setiabudi. Tapi, ada yang mempertanyakan, kenapa nama Stasion Dukuh Atas kini jadi Stasion Sudirman. Padahal jalan Sudirman baru ada setelah Bung Karno membangunnya awal 1960-an, saat menghadapi Asian Games 1963.
Sedangkan Dukuh Atas sudah berusia ratusan tahun. Berawal dari Kampung Dukuh. Karena letaknya di bagian atas dinamakan Dukuh Atas. Di dekatnya terdapat Kampung Dukuh Bawah, di sebelah timur SMU 3 Setiabudi. Karena terletak di bagian bawah, kampung yang berbatasan dengan Jl Halimau dan Jl Kawin itu dinamakan Dukuh Bawah.
Nama Setiabudi, seperti dituturkan H Irwan Syafe'i (75 tahun), punya arti tersendiri. Ketika hendak dibangun SMA 3 dan kavling-kavling (perumahan) awal tahunm 1950-an, masyarakat Betawi mengikhlaskan rumahnya digusur. Mereka, oleh seorang pimpinan DKI (masih DCI) Jakarta, lantas dijuluki sebagai rakyat yang setia dan berbudi (setiabudi).
Jl Halimun dan Jl Kawi di Kelurahan Guntur, seperti juga daerah Kuningan lainnya, kini telah disulap menjadi hutan beton. Jalan Halimun, pada 1950-1960-an merupakan kawasan pelacuran kelas bawah di Jakarta. Sekarang ini banyak yang mangkal di sekitar Jl Sultan Agung, di pinggir jalan kereta api Jl Latuharhari, bersama para waria yang mangkal hingga subuh.
Di selatan Setiabudi terdapat kampung Karet Belakang, yang oleh warga setempat disingkat Karbela, seperti Bendungan Hilir jadi Benhil, dan Jl Otto Iskandaridinata jadi Otista. Sedangkan Menara Imperium Kuningan yang megah dulu letaknya di Kawi Sawah, karena memang daerah persawahan. Sedangkan Pasar Festival dan Stadion Kuningan sebelum 1970-an merupakan kuburan. Demikian pula sejumlah kantor dan perhotelan yang terletak di dekatnya, termasuk RS MMC. Pekuburan yang luasnya berhektar-hektar itu merupakan wakaf seorang Betawi yang dermawan, dan tergusur ketika dibangun Kuningan.
Seperti dituturkan H Irwan Sjafi'ie, Kali Krukut dekat Pasar Benhil dan RSAL Mintaharjo, dulu banyak buayanya. ''Ketika saya sekolah rakyat, pulangnya saya suka nimpukan buaya yang naik ke darat,'' ujarnya.
Buaya-buaya itu akhirnya menyingkir akibat terpolusi oleh bahan-bahan kimia dari industri batik. Puluhan industri batik sampai 1960-an banyak terdapat di Karet Pasar Baru, Karet Tengsin, Setiabudi, bahkan hingga ke Senayan. Sebagian besar para pengusahanya warga Tionghoa, sedangkan para perajinnya ibu-ibu Betawi, yang membatik di kediaman masing-masing.
Lokasi Gedung Wanita, Departemen Kehakiman, dan puluhan gedung serta kantor pencakar langit, dulu Kampung Karet Pedurenan, yang berbatasan dengan kali dan taman pemakaman umum (TPU) Menteng Pulo, yang hingga kini masih berfungsi. Dulu di belakang RS Mata Aini (Karbela) ada mata air bening yang tidak pernah kering. Mata air tersebut berada di tengah-tengah empang berukuran sekitar 15 X 10 meter.
Masyarakat setempat menggunakan empang tersebut untuk mencuci, mandi dan masak. Di dekatnya terdapat pohon bambu dan beringin hingga oleh penduduk dianggap angker. Kalau sudah magrib, hampir tak ada orang yang berani lewat. ''Banyak hantu dan kuntilanaknya,'' kata H Irwan.
Penduduk di sekitar segitiga emas -- Kuningan, Sudirman dan Gatat Subroto -- disamping sebagian menjadi perajin batik, banyak pula yang berprofesi sebagai tukang sepatu dan konveksi. Sepatu Kampung Pedurenan cukup terkenal, dan menjadi langganan beberapa toko sepatu di Pasar Baru, termasuk toko Sien Lie Seng. Yang terbanyak adalah para pengusaha sapi, yang rata-rata memiliki 4-5 ekor.
Setiap pagi dan sore, ratusan warga Karet Kuningan, Kuningan Timur, Karet Pedurenan, dan Setiabudi (Kampung Duku) dengan mengendari sepeda, membawa susu yang dikemas dalam botol kepada pelanggan di berbagai tempat di Jakarta, serta dijualbelikan.
Industri tahu juga berkembang di tempat-tempat tersebut. Banyak pula yang jadi anemer (pemborong rumah). Kini rumah-rumah mereka sudah hampir tidak tersisa. Digantikan hotel berbintang, mal, apartemen, rumah sakit, wisma dan imperium.
(Alwi Shahab )
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment