Hadramaut dikenal luar oleh masyarakat keturunan Arab di Indonesia. Hampir seluruh masyarakat keturunan Arab di Indonesia nenek moyang mereka berasal dari Hadramaut. Sebelum Perang Dunia ke-II banyak orang mengirimkan anaknya untuk belajar ke Hadramaut, sebuah daerah di propinsi Yaman Bagian Selatan. Sayangnya setelah merdeka dari Inggris, Yaman Selatan (masih belum bersatu dengan Yaman Utara) dikuasai oleh komunis. Selama 26 tahun pemerintahan komunis, hubungan antara Hadramaut dengan Indonesia seolah-olah terputus.
Setelah ideologi komunis ditolak rakyat Hadramaut, sejak pertengahan 1990-an, seperti meneruskan tradisi di masa lalu, semakin banyak warga Indonesia yang mengiirimkan anak-anaknya untuk menempuh pendidikan di kota itu.Adalah Habib Umar bin Muhammad Al-Hafidz Syekh Abubakar yang memepolori pembukaan kembali langkah itu. Ia menerima siswa dari Indonesia untuk belajar di Hadramaut, yang telah terputus selama hampir 30 tahun. Dia membuka pesantren Daarul Mustafa di kota Tarim, 30 km timur laut kota Seiwun. Sampai sekarang Daarul Mustafa mempunyai 37 cabang yang tersebar di berbagai belahan dunia. Dan tentu saja yang terbanyak dari Indonesia.
Di Indonesia terdapat 20 cabang, papar Habib Jindan Bin Novel, alumnus pertama pesantren itu. Ia membangun pesantren di Larangan Ciledug, Tangerang, dengan nama Yayasan Al-Fachriyah. Selain Habib Jindan, alumnus pertama Darul Mustafa lainnya adalah Habib Munzir Musawa, pimpinan Majelis Taklim Rasulullah di Jakarta, Habib Quraish Baharun dari Jawa Timur, Jafar bin Muhammad Kadir, dan Habib Saleh Aljufri, pimpinan Pondok Pesantren Darul Mustafa Solo.
Di Hadramaut yang terletak 3.070 kaki diatas permukaan laut terdapat dua pesantren ternama. Selain Darul Mustafa, ada juga Darul Zahrah. Bila yang pertama ditujukan untuk santri putra, maka Darul Zahrah merupakan pesantren khusus putri. Meskipun tidak sebanyak santri pria, banyak orang tua yang mengiirimkan putrinya untuk belajar ke Hadramaut. Biayanya juga tidak mahal. Cukup 20 dolar AS per bulan. Uang sebesar itu sudah dimasukkan biaya makan tiga kali sehari selama sebulan. Mereka tingga di asrama yang masing-masing ruang tidurnya ber-AC.
Tapi biaya bukan satu-satunya syarat. Selain calon santri punya kemauan kuat untuk menuntut ilmu agama, ia juga dimestikan menguasai pelajaran agama Islam bidang fikih, nahu, dan hadis. Syarat yang tidak kalah pentingnya adalah ia sudah harus hafal Alquran dari surah Adh-Duha hingga An-Nas. Dan ini yang paling penting, usia tidak boleh lebih dari 19 tahun, menguasai serta bisa menulis dalam bahasa Arab. Di samping itu, santri harus dapat izin dari orang tua atau walinya. Dan selama di pesantren, para santri diwajibkan berbahasa Arab.
Khusus calon santri dari negara-negara Barat, harus melampirkan riwayat hidup dan ijazah pendidikan sekolah formal maupun nonformal. Ia juga harus punya pengalaman dalam kajian Islam dan mendapoatkan rekomendasi dari guru yang mencantumkan kemampuan akademik dan perilakunya. Untuk calon santri perempuan, syarat-syaratnya tidak jauh berbeda dengan calon santri laki-laki.
Pesantren ini merupakan sistem gabungan antara sistem modern dan tradisional. Lama belajar 18 jam per hari, hingga para santrinya boleh dikata sejak bangun sebelum subuh ditempa dengan pwendidikan yang berat. Tetapi jangan dikira di pesantren ini tidak ada permainan menyenangkan. Tiap hari Jumat (hari libur-red), mereka boleh memilih aneka kegiatan olah raga. Menurut Ubaidillah, mantan santri Darul Mustafa asal Surabaya, fasilitas olah raga seperti sepak bola, bulu tangkis, bola basket, bahkan renang disediakan pengelola pesantren. Tentu saja antara perempuan dan laki-laki dipisah, karena memang tempatnya terpisah.
Pesantren yang lama pendidikan rata-rata empat tahun tidak mengenal sistem pendidikan kelas, seperti juga di pesantren Indonesia. Setiap siswa hanya belajar memahami dan mengkaji beberapa kitab. Tentu saja dengan bimbingan seorang ustadz. Setelah itu baru diuji. Bila lulus, santri melanjutkan belajar kitab yang lebih tinggi. Dalam hal makan, para santri mendapat jatah makan 3 X sehari ditambah dengan makanan ringan. Seperti yang dikaktakan oleh Ubaidillah, aib bagi siswa untuk makan di restoran. Ini bertentangan dengan prinsip belajar yang diterapkan di Darul Mustafa.
Dalam ruang belajar yang dipimpin seoroang ustadz, paling banyak terdiri dari 12 orang santri. Tidak heran bila di pesantren ini ada sekitar 150 ustadz pilihan yang mampuni. Disiplin yang diberlakukan di pesantren ini sangat ketat. Jauh sebelum shubuh yakni pukul 03.45, para santri sudah harus bangun. Setelah mandi dan bersuci melaksanakan shalat tahajud, dilanjutkan membaca berbagai macam zikir. Pada sekitar pukul 05.00 shalat Shubuh, dilanjutkan membaca atau menghadapal Alquran. Baru pada pukul 06.00 para santri mendapat pelajaran formal. Setelah itu diteruskan dengan pelajaran formal kembali hingga pukul 09.00. Setelah sarapan dilanjutkan dengan menelaah hadis, tauhid, dan tafsir.
Pukul 10.40 mereka baru diperkenankan istirahat kembali. Setelah shalat zhuhur mereka membaca atau menghafal Alquran kembali. Pukul 13.45 makan siang dan istirahat atau melakukan kegiatan ekstrakurikuler. Setelah shalat ashar, pada pukul 18.45 para siswa mendapat pelajaran kebersihan dan tasawuf. Menjelang magrib istirahat sejenak dan dilanjutkan pelajaran formal (ilmu fikih) hingga pukul 20.15. ''Pokoknya sangat padat jadwalnya,'' tutur Ubaidillah lagi. ( as )
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment