Bagi warga Betawi, bulan suci Ramadhan sangat mereka nantikan. Sehari menjelang Ramadhan terlihat kesibukan luar biasa di rumah-rumah. Ibu-ibu belanja lebih banyak katimbang hari biasa untuk menyiapkan makan sahur. Sedang pasar-pasar diserbu para pembeli.
Pada tempo doeloe, ada suatu keistimewaan dalam menyambut Ramadhan yang kini sudah hampir tidak terdapat lagi. Saat itu, pada sore hari, di getek-getek di tepi sungai-sungai terlihat para ibu, khususnya gadis-gadis tengah keramas. Dengan bekemben kain batik mereka mandi dan menyiram seluruh tubuh.
Kalau sekarang digunakan shampo untuk mencuci rambut, hingga tiap jam kita disuguhkan puluhan iklannya di televisi, dulu untuk keramas digunakan merang. Yakni, kulit gabah yang dibakar kemudian dicampur dengan buah rek-rek. Buah berbusa yang umumnya digunakan untuk menyepuh perhiasan, emas dan perak, agar mengkilat kembali. Istilah ketombe baru muncul akhir-akhir ini, yang di iklan membuat wanita dan pria dijauhi lawan jenisnya.
Di samping merang, untuk keperluan keramas ada kalanya digunakan lidah buaya. Sedang untuk memperindah dan mencegah kerontokan rambut digunakan minyak kemiri. Baunya harum dan dipakai juga oleh pria. Minyak kemiri yang terkenal kala itu cap Dua Anak, keluaran Thio Tek Tjoe, seorang sinshe yang buka praktek di depan bioskop Kramat (Grand). Sampai awal 1950-an, sinshe ini tiap hari didatangi ratusan pasien, terutama anak-anak untuk berobat. Maklum kala itu dokter belum banyak.
Mandi dan keramas punya motif pembersihan lahir dan batin dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Begitu telitinya mereka keramas hingga di gosok-gosokkan ke ubun-ubun supaya air meresap sampai ke pori-pori.
Ada lagi tradisi yang hingga kini masih terus dilakukan, yakni tradisi ziarah kubur menjelang puasa. Di masyarakat Betawi, seperti dikemukakan tokohnya H Irwan Sjafi'i, tidak dikenal apa yang disebut nyekar. Yang dikenal hanya ziarah kubur. Kala itu, yang berziarah khusus kaum pria. Wanita dilarang karena khawatir ada diantara mereka yang mendapat haid.
Ziarah kubur dilakukan sebagai penghormatan dan mendoakan arawah orang tua dan keramat. Banyak yang membaca surat Yasin atau membaca tahlil, sambil membersihkan makam kerabat.
Yang kagak boleh dilupakan menjelang Ramadhan adalah mengantar penganan kepada orang tua. Bukan saja anak dan cucu. Calon mantu juga ngantar penganan pada calon mertoku. Penganan kala itu umumnya roti, sirop dan korma. Calon mantu yang datang membawa barang antaran ke rumah calon mertua, mendapat nilai lebih. Ia dapat pujian sebagai calon menantu yang baik dan bikin senang hati mertua.
Sebaliknya, calon mantu yang tidak bawa anteran apalagi tidak nongol jelang Ramadhan, urusannya bisa runyam. Calon mantu semacam ini tidak ada ia punya rasa hormat pada mertua. Bisa-bisa lamarannya bakal ditolak. Karena itu, sekalipun kantong kempes atau lagi bokek, ngantar pada mertua kudu dilakukan.
Konon, sampai sekarang masih ada hal semacam itu. Tapi zaman sudah berobah. Calon mertua lebih senang dikasih mentah-nya saja. Seperti juga undangan perkawinan, tertulis kalimat: Tidak terima bingkisan/kado dan karangan bunga. Tentu saja yang dimaksudkan adalah hanya menerima pemberian dalam bentuk uang.
Di depan tiap rumah diterangi puluhan lampu minyak tanah -- dulu minyak tidak bermasalah -- sejak magrib hingga subuh. Ini dilakukan hingga akhir bulan Ramadhan. Dan akan lebih meriah lagi pada saat-saat malam takbiran. Maklum kala itu belum banyak perkampungan tersentuh listrik.
Sekarang banyak orang yang tidak mengindahkan kesucian Ramadhan. Kala itu para tukang dagang baru membuka dagangannya pukul lima sore. Mereka menjual gado-gado, asinan, keredok, kolak pisang, ubi dan tales. Di siang hari hampir tidak ada tukang dagang. Hampir tidak ditemukan orang yang makan/minum di jalan. Bahkan para tamu -- sekalipun tidak puasa -- jangan harap dapat suguhan makan dan minum.
Anak-anak sejak usia tujuh tahun sudah dididik untuk jalankan ibadah puasa. Meskipun hanya setengah hari dan berbuka saat Dhuhur. Malamnya mereka diajak orang tuanya shalat tarawih. Kala itu, kegiatan lebih banyak terkonsentrasi di langgar (surau) dan masjid. Bapak-bapak banyak yang menghabiskan malam di rumah Allah ini.
Yang disebut mal, pusat pertokoan, belum nongol. Kecuali pasar-pasar tradisional. Tadarus yang dipimpin seorang guru ngaji -- mualim atau ustadz -- banyak diikuti masyarakat. Ada yang selama satu bulan bisa tiga kali khatam Alquran. Mereka memelihara telinga, mata dan bicara agar mendapatkan nilai puasa seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Bagi mereka yang bertempat tinggal di perkampungan masyarakat Betawi jangan khawatir terlambat sahur. Apalagi sampai ketinggalan makan sahur. Karena untuk menyiapkan makan sahur para ibu sudah bangun antara pukul 02.00 hingga 03.00 dinihari. Pada jam-jam tersebut, para pemuda akan mengitari rumah-rumah di kampung-kampung. Dengan membawa kencengan atau memukul tiang listrik mereka berseru, ''Saur ... saur ... saur!''
Sekarang suara itu sudah digantikan musik dangdut. Cara ini dianggap masih lebih sopan katimbang petasan. Maklum suaranya bisa bikin kaget, apalagi bagi mereka yang berpenyakit jantung. Untungnya petasan kini sudah dilarang.
(Alwi Shahab )
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment