Hanya beberapa saat setelah Bung Karno dan Bung Hatta mengumandangkan proklamasi kemerdekaan Indonesia, suasana di Tanah Air, khususnya di Jakarta, terjadi berbagai pergolakan. Apalagi tidak lama kemudian, pasukan Belanda dengan mendompleng sekutu turut mendarat ke Jakarta.
Rakyat yang tidak ingin lagi melihat negerinya dijajah, melakukan perlawanan. Di Jakarta, di antara para ulama dan mualim yang menghimpun para pemuda untuk siap mati membela negara, ada nama Haji Mohammad Arif. Ia lebih dikenal dengan sebutan Haji Darip. Nama itulah yang kini diabadikan sebagai nama jalan di daerah Klender menuju arah Bekasi.
Haji Darip adalah putra asli Betawi yang lahir pada tahun 1886. Ia adalah sosok yang sangat disegani di wilayah Klender, Bekasi, dan sekitarnya. Selain dikenal sebagai mubaligh, ia juga seorang yang memiliki ilmu main pukulan (ilmu silat) yang lihai. Begitu sekutu mendarat, ia memutuskan untuk turut angkat senjata mempertahankan kemerdekaan. Dengan prinsip "mencintai Tanah Air merupakan bagian dari iman", ia membakar semangat ratusan pemuda dari Klender dan sekitarnya. Namanya yang sudah dikenal membuatnya dalam waktu singkat mengumpulkan banyak pengikut.
Mereka lalu menghimpun diri dalam Bara (Barisan Rakyat) dipimpin Haji Darip sendiri. Mereka terlibat dalam pertempuran di beberapa front di kota Jakarta. Haji Darip sendiri saat itu dijuluki "Panglima Perang dari Klender".Sebuah brosur dari Angkatan 45 Daerah Khusus Ibukota tanggal 17 Agustus 1985 -- empat tahun setelah Haji Darip meninggal dunia -- menyebutkan, almarhum pada zaman penjajahan Belanda (sebelum perang dunia kedua), berjuang bersama Bung Karno bergerak di bawah tanah, terutama di Cilincing, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ketika pendudukan Jepang, menyaksikan kekejaman pasukan Dai Nippon ini, Haji Darip memimpin masyarakat di Klender dan menghimpun para narapidana dan napi Rutan Cipinang untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang.
Untuk menghimpun cerita tentang Haji Darip, Republika mendatangi kediaman H Uung, putra tertuanya. Keluarga ini tampak sangat bersahaya. Rumahnya berdekatan dengan stasiun kereta api Klender, setelah melewati Jl Pisangan Lama, Jakarta Timur. Menurut H Uung, ayahnya benar-benar berjuang lillahi ta'ala, sama seperti para ulama Betawi lainnya yang turut terlibat dalam perang kemerdekaan. Begitu tawaduknya, mereka tak mau menonjolkan diri usai perang dan namanya hilang dalam catatan sejarah. Semangatnya yang tidak pernah henti untuk mengusir penjajah, didasarkan pada ajaran agama bahwa penjajahan yang mengeksploitasi manusia tidak dibenarkan dalam Islam.
Sebelum menjadi ulama di Jakarta, Haji Darip selama bertahun-tahun menjadi mukimin di Tanah Suci Mekkah dan Madinah. Selama di sana, dia banyak bergaul dengan tokoh-tokoh Islam dari berbagai negara. Inilah yang mengilhaminya untuk turut terlibat dalam pergerakan kemerdekaan sekembalinya ke Tanah Air. Ia mengawali perjuangan dengan berdakwah di sebuah musala kecil -- kini berubah menjadi Masjid Al-Makmur yang cukup megah -- di Klender. Di sini bergabung juga sejumlah ulama dari Klender yang juga pejuang seperti KH Mursidi dan KH Hasbiallah.
Ketika Jakarta dikuasai serdadu NICA Belanda yang mendompleng tentara sekutu, Haji Darip dan kawan-kawannya itu hijrah ke pedalaman Cikarang - Karawang - Purwakarta dan membentuk BPRI (Barisan Pejuang Rakyat Indonesia). Dari tempat persembunyiannya, dengan pangkat Letnan Kolonel Tituler -- ia bermarkas di Purwakarta dan menyususn strategi melawan NICA. Tahun 1948, setelah selama tiga tahun tidak henti-hentinya melawan pasukan Belanda, ia pun tertangkap. Kemudian dibawa ke Jakarta dan dipenjara di rumah tahanan Glodok (kini merupakan bagian dari pertokoan Harco). Lebih dari setahun ia mendekam di penjara Glodok, sebelum akhirnya dibebaskan setelah penyerahan kedaulatan akhir Desember 1949.
Sewaktu dia masih memimpin pergerakan dari Klender, banyak para pemimpin yang datang kekediamannya, seperti Sukarni dan Pandu Kartawiguna. Kedua tokoh Partai Murba menjelang 17 Agustus 1945 menyatakan kepadanya bahwa sebentar lagi Indonesia akan merdeka, dan mereka membicarakan pengusiran orang Jepang. Sejumlah tokoh masyarakat mengetahui bahwa Jepang sudah menyerah setelah di bom sekutu pada 6 Agustus 1945. "Kemudian saya panggil buaye-buaye sini. Dari mana-mana dari hutan-hutan juga (60 tahun lalu Klender masih merupakan perkampungan dan perkebunan-Red), Mereka datang atas panggilan saya. Saya bicarakan soal pengusiran orang-orng Jepang," ujar Haji Darif seperti dikutip sebuah harian yang terbit tahun 1950.
Konon, isu-isu saat itu menyatakan bahwa Haji Darif orang kebal, tidak mempan dibacok. Setelah mengumpulkan warga Klender dan sekitarnya menjelang proklamasi, mereka diperintah untuk mengusir orang Jepang yang ada di Pangkalan Jati, Pondok Gede, dan Cipinang Cempedak. Menurut sumber di Angkatan 45 Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sepeninggal pejuang yang tidak mengenal pamrih itu, pensiunan dan tunjangannya dicabut. Sedangkan rumahnya terkena proyek pelebaran jalan dan tergusur. Hanya makamnya saja yang kini tersisa di dekat bekas kediamannya.
(alwi shahab)
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment