Pasar Asem Reges terletak di kawasan Sawah Besar atau Sao Besar kata orang Betawi. Untuk mencapai pasar yang telah berusia lebih satu abad ini, dari Jl Pecenongan kita menuju Jl Taman Sari (Jakarta Barat). Asem Reges kini terkenal sebagai salah satu pusat perdagangan suku cadang kendaraan bermotor di Ibukota.
Dulu pasar itu merupakan pusat perdagangan sepeda. Maklum sampai 1950-an sepeda merupakan salah satu alat transportasi utama di Jakarta. Para pegawai, dan terutama para murid dan mahasiswa, saat sekolah dan kuliah memakai sepeda. Termasuk nonton bioskop dan pergi ke tempat hiburan dengan pacar. Di tempat-tempat ini terdapat tempat penitipan sepeda.
Jl Asem Reges ketika saya datangi awal minggu ini sudah berubah jadi Jl Taman Sari Raya. Dulu Asem Reges jadi nama jalan tersendiri, untuk kemudian menyambung dengan Jl Taman Sari. Ini merupakan peggantian yang kedua kali. Karena pada masa Belanda Jl Asem Reges bernama Droossaerweg. Seperti juga Sawah Besar -- jalan utama di sebelahnya -- kini jadi Jl Sukarjo Wiryopranoto dan KH Samanhudi. Sekalipun demikian nama Sawah Besar tetap lebih populer sampai saat ini.
Dulu, di Asem Reges terdapat pabrik limun terkenal 'Lourdes'. Kala itu, Coca Cola, Pepsi, dan Fanta, belum ada. Pabrik ini memproduksi air Belanda yang kemudian terkenal dengan air soda.
Di belakang pasar Asem Reges terdapat jalan yang hanya bisa dilewati satu mobil. Yakni, Gang Wedana (kini Jl Taman Sari II), Gang Arab (Jl Taman Sari IC), Gang Alfu (Taman Sari III), dan Gang Maphar (Jl Taman Sari IV). Sampai tahun 1960-an, banyak sekali keturunan Arab yang tinggal di kawasan ini.
Nama Jl Wedana menunjukkan bahwa di jalan itu pernah tinggal seorang wedana. Dan, sang wedana itu tidak lain Thamrin Moehammad Thabri, ayah pahlawan nasional asal Betawi, Mohammad Hoesni Thamrin. Thamrin Moehamad Thabri, seperti diuraikan cucunya H Nuh Thamrin dan keponakan Hoesni Thamrin, tinggal dibagian ujung Gang Wedana. Di rumah inilah, keluarga Thabri tinggal termasuk Hoesni Thamrin dan adiknya, Abdillah Thamrin.
Rumah tempat Thamrin dibesarkan itu kemudian menjadi Rumah Bersalin Sawah Besar, dan kini menjadi pertokoan. Ia diangkat jadi wedana tahun 1908 -- jabatan paling tinggi nomor dua untuk golongan bumiputera. Karena itulah, putera-puteranya dapat menikmati sekolah Belanda. Termasuk sekolah di Broeder dan KW Drie (kini Gedung Arsip Nasional di Salemba). KW Drie merupakan sekolah bergengsi pada masa itu, tidak sembarang bumiputera boleh sekolah di sana.
Di Gang Wedana, pada 1917, Thamrin Moehammad Thabri sebagai seorang yang telah menunaikan rukum Islam kelima, dan dididik dari keluarga taat beragama, mendirikan sebuah masjid yang diberi nama An-Nur. Masjid ini dibangun setelah ia pensiun pada 1911.
Kini masjid yang dulunya mushola itu sudah menyatu di antara Gang Arab dan Gang Wedana. Masjid berlantai dua ini dapat menampung 1500 jamaah. Sementara adik M Hoesni Thamrin, Abdillah Thamrin, setelah bermukim selama selama 11 tahun di Mekah, diminta oleh ayahnya untuk mendampinginya mengelola masjid. Kini, masjid cukup besar yang letaknya berdekatan dengan warga Betawi yang masih tersisa itu ditangani oleh H Nuh Thamrin, putra Abdillah Thamrin. Luasnya 1200 meter persegi.
Banyak sekali kegiatan di masjid yang dibangun dan dikelola keluarga pahlawan nasional Hoesni Thamrin itu. Hoesni Thamrin selama masa remaja telah ditempa semangat nasionalis. Ia sering melihat ayahnya menerima tokoh Sayarikat Islam (SI) HOS Tjokroaminoto. Pahhlawan Nasional Mohammad Hoesni Thamrin dilahirkan 16 Pebruari 1894 atau tiga tahun lebih tua dari Bung Karno, kawan seperjuangannya. Tempat kelahirannya di kawasan Sawah Besar, yang kini hiruk pikuk selama 24 jam, kala itu masih terletak di pinggiran kota Batavia.
Pada masa itu, selama seperempat abad, Batavia telah ikut menjalin perkembangan teknologi dunia. Pada 1869 Terusan Suez dibuka hingga mempercepat hubungan dari Eropa ke Asia, termasuk Indonesia. Telepon kabel telah diperkenalkan di Betawi yang menghubungkan dengan daerah-daerah lain, di samping beroperasinya kapal-kapal uap menggantikan kapal layar. Demikian pula jaringan listrik dan gas dengan dibukanya pabrik gas di Jl Ketapang, dekat Sawah Besar. Jl Ketapang, yang kini diubah jadi Jl KH Zainul Arifin -- yang merupakan kampung kelahiran ibu Hoesni Thamrin, Nurhamah -- terletak di sebelah selatan pabrik gas.
Sementara pelabuhan Tanjung Priok yang menggantikan Sunda Kelapa telah mampu melayani kapal-kapal samudera 8 tahun sebelum kelahiran Husni Thamrin. Akibat mudah dan singkatnya pelayaran dari Eropa ke Batavia, tidak heran pada saat itu mulai banyak berdatangan warga Belanda totok. Penduduk Eropa di Batavia pada 1860-1870 meningkat dari 5.000 menjadi 49.000. Sepuluh tahun kemudian menjadi 60 ribu (Bob Hering dalam buku Mohammad Hoesni Thamrin).
Di Jalan Sawah Besar No 32, tempat tinggal Hoesni Thamrin setelah berkeluarga, ia menghembuskan napas terakhirnuya, setelah beberapa hari sebelumnya kediamannya diperiksa oleh reserse PID. Kediamannya itu kini menjadi ruko yang menjual suku cabang bernama Sumatek. Meninggalnya Thamrin dengan cepat menyebar ke seantero kota. Saat pemakaman Ahad (12/1-1941) keesokan harinya, puluhan ribu warga Betawi berbondong-bondong memberikan penghormatan terakhir kepada pahlawan Betawi yang selalu membela rakyat kecil itu.
Menurut Hering, yang menyaksikan prosesi pemakaman tidak kurang 20 ribu sampai 30 ribu rakyat. Mereka memberikan penghormatan ketika kereta jenazah melewati Sawah Besar, Harmoni hinngga TPU Karet. Di antara para ulama yang mengantar termasuk Habib Ali Kwitang, yang membacakan talkin. Tempat pahlawan nasional ini menghembuskan nafas terakhir, sebelum jadi ruko dan pertokoan, pernah menjadi Percetakan Siliwangi, milik Pak Kartasasmita, ayah mantan menteri pertambangan Ginanjar Kartasasmita.
(Alwi Shahab )
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment