Tuesday, March 21, 2006

Kali Besar atau De Groote Rivier

Foto ini memperlihatkan kawasan Kali Besar saat masih ramai dilayari. Daerah ini dibagi dua oleh Sungai Ciliwung, Kali Besar Timur, dan Kali Besar Barat, Jakarta Kota. Dahulu, muara Ciliwung memungkinkan 10 buah kapal dagang berkapasitas 100 ton, perahu-perahu Melayu, Jepang, Cina dan berbagai ragam kapal dari sebelah timur masuk dan berlabuh dengan aman.

Air sungai waktu itu mengalir bebas, tidak berlumpur dan penuh endapan seperti sekarang. Kapal-kapal yang singgah di Kali Besar mengambil air yang cukup baik, untuk mengisi botol dan guci mereka sebagai persediaan untuk pelayaran. Sedang pedagang pribumi menyiapkan untuk mereka ikan-ikan segar dan ikan asin dalam jumlah besar dengan harga relatif murah. Sementara tumbuhan pohon kelapa dan ladang tebu serta persawahan yang dekat dengan pelabuhan menjamin persediaan makanan bagi pengunjung maupun penetap, di samping arak yang melimpah.

Orang Tionghoa di sini menjadikan pabrik arak sebagai usaha utama dan arak dari Batavia ini sangat digemari para awak kapal mancanegara. Master Rodges, kapten kapal Portugis saat hendak berlabuh di Batavia pada 1700 menulis: ''Awak kapal kami saling berpelukan dan mengucapkan rasa syukur mereka karena telah tiba di tempat pesta minum-minuman yang gembira sekali.''

Di sebelah kanan foto, terlihat menara balai kota yang kini jadi Museum Sejarah DKI Jakarta. Kali Besar sama tuanya dengan Ciliwung. Sejak masa Sunda Kelapa ia telah jadi pelabuhan utama Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Bogor. Kawasan seputar Kali Ciliwung ini telah ramai, mengingat sungai ini saat itu merupakan urat nadi pelayaran. Perahu-perahu yang membawa barang-barang antara Bogor - Kali Besar hampir tidak pernah mengalami hambatan. Pada era Jayakarta (1527-1619) kawasan Kali Besar tambah ramai. Lebih-lebih setelah JP Coen mendirikan Batavia setelah membumihanguskan kota Jayakarta.

Pada 1631 aliran Ciliwung yang semula berbelok-belok diluruskan, membentuk sebuah kanal besar yang membujur lurus dari selatan (mulai dari Harmoni) ke utara (Kali Besar) yang oleh Belanda dinamakan /De Groote Rivier. Kali Besar pernah merupakan pusat bisnis dan industri di Batavia. Bahkan, setelah Pelabuhan Tanjung Priok dibuka menggantikan Sunda Kelapa akhir abad ke-19, Kali Besar tetap jadi tempat perkantoran, yang sisa-sisanya masih kita jumpai sekarang ini.

Sebelumnya, tahun 1700-an dibagian selatan Kali Besar Barat dibangun sederatan hunian orang-orang Belanda. Di antaranya Toko Merah yang pernah jadi rumah kediaman Gubernur Jenderal Van Imhoff (1750-an). Di samping rumah-rumah warga Belanda lainnya. Di muara Ciliwung yang kini menjadi solokan besar dan berbau, dulunya tempat hiburan warga Belanda, termasuk muda-mudi yang tengah kasmaran menyanyi dan bermain gitar di perahu-perahu. Sekitar abad ke-19 dan 20 sejak dibuka perkebunan-perkebunan swasta fungsi Kali Besar sebagai daerah hunian mulai menghilang, berganti jadi kawasan perdagangan. Di ujung muara Ciliwung hingga kini berdiri jembatan Kota Intan, yang dulu saat kapal keluar masuk bisa dinaik dan turunkan.

Pemda DKI kini berupaya untuk menjadi kawasan kota tua ini sebagai salah satu tujuan wisata. Tapi sejauh ini Kali Besar belum berhasil meraih banyak dolar dari para wisatawan mancanegara. Karena untuk mendatanginya mereka dihadang oleh kemacetan lalu lintas, sementara banyak gedung tua yang tidak terawat. Padahal di sini berdiri hotel berbintang lima Omni Batavia. Tampaknya tamu-tamu hotel tidak tahan duduk berlama-lama ditepi Ciliwung meskipun sudah diberi tenda dan lampu taman. Karena airnya butek, hitam, dan berbau. Apakah tidak sebaiknya Pemda DKI Jakarta perlu menggiatkan lagi Prokasih (Program Kali Bersih) guna membersihkan lumpur dan sampah yang sudah hampir menutupi Ciliwung.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

No comments: