Jakarta sudah berkembang menjadi kota megapolitan, tapi kesenian rebana masih tetap mendapat tempat di hati masyarakatnya. Di tiap kampung yang ada pesantren, madrasah, majelis taklim, dan masjid dapat kita jumpai kesenian rebana, yang sering meraikan suasana acara Maulid Nabi atau khitanan.
Menurut seniman Betawi, Yahya Andi Saputra, rebana sampai ke Betawi dibawa oleh balatentara Kerajaan Islam Mataram pimpinan Sultan Agung ketika dua kali menyerang kota Batavia (1628 dan 1629). Lepas dari kegagalan untuk menaklukkan VOC, tapi banyak punggawa Mataram yang kemudian menetap di Jakarta. Di antaranya menjadi mubaligh yang handal dan mewariskan sejumlah masjid tua.
Rebana biang
Kata rebana, konon berasal dari kata ''Robbana'', yang berarti ''Tuhan kami''. Lama kelamaan alat musiknya disebut rebana, atau mengucapkannya dengan lafal robana, seperti di Ciganjur, Kebayoran Lama, dan Pondok Pinang. Di Jakarta, terdapat ratusan grup rebana dan kasidahan. Di samping manggung pada acara keagamaan, mereka juga menerima panggilan main pada acara-acara hiburan. Setiap grup rebana punya lagu yang berbeda. Bahkan kini, di samping menyanyikan lagu-lagu berirama padang pasir (Timur Tengah), juga lagu Melayu dan dangdut. Terutama dimainkan oleh grup ''rebana biang''--karena rebananya besar.
Rebana hadroh
Juga terdapat rebana hadroh. Kekhasannya adalah terdapat Adu Zikir. Di sini tampil dua grup yang silih berganti membawakan syair Diwan Hadroh. Grup yang kalah umumnya karena kurang hafal ketika membawakan syair. Dahulu, dalam grup ini turut serta Mudehir yang sejak kecil tunanetra. Dia tinggal di sebuah rumah sederhana di Kampung Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Tetangganya seorang Betawi kaya dan punya pabrik batik. Tiap hari Mudehir mendengar kesibukan buruh yang kerja di pabrik batik cap itu. Suara hentakan bertalu-talu para buruh membangkitkan inspirasi dan imajinasi pada Mudehir. Semakin didengarkan, suara-suara itu kian memperkaya batinnya.
Suatu hari dia diajak bermain rebana oleh grup hadroh, yang bagi dia iramanya terdengar tidak asing. Mirip dengan suara-suara yang tiap hari didengarnya di pabrik batik cap. Rebana ini pernah ada di kampung Grogol, Kebayoran Lama, Kalibata, Duren Tiga, Utan Kayu, Kramat Sentiong, dan Paseban. Medehir, aktif mengembangkannya. Namun, setelah dia meninggal pada 1960, pamornya meredup.
Rebana burdah
Jenis lainnya adalah Rebana Burdah. Dikembangkan keluarga Ba'mar. Mereka berasal dari Hadramaut. Keluarga ini tinggal di Kampung Kuningan Barat, Mampang Parapatan, Jakarta Selatan. Sesepuh keluarga Ba'mar yang melahirkan kesenian rebana burdah adalah Sayid Abdullah Ba'mar, seorang kaya raya. Di masa jayanya, dia adalah pemilik sebagian besar tanah di kawasan segi tiga emas, Kuningan, dan Jl Gatot Subroto, Jakarta.
Tuan tanah dan peternak ratusan sapi itu menganjurkan semua anak cucunya belajar rebana burdah. Lagu-lagu yang dinyanyikan diambil dari syair Al-Busyiri, berupa puji-pujian kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Sementara di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, muncul kesenian rebana maukhid. Yang mengembangkan adalah Habib Husein Alhadad, juga dari Hadramaut. Profesinya sehari-hari mubaligh. Untuk memeriahkan tablighnya, Habib bershalawat diiringi rebana. Syairnya diambil dari karya Habib Abdullah Alhadad, seorang sufi besar dari Hadramaut, yang karya-karyanya dijadikan rujukan di pesantren-pesantren dan majelis taklim. n
( alwi shahab )
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment