Ketika terjadi Perang Diponegoro (1825-1830), pihak Belanda jadi kewalahan. Bukan saja perang yang dikobarkan seorang pangeran keraton Yogyakarta ini menelan banyak korban, tetapi kerugian keuangan yang amat besar di pihak Belanda. Kerugian diperkirakan 20 juta gulden, jumlah yang amat besar kala itu. Untuk itu Belanda meminjam ke sana-ke mari, termasuk utang dari luar negeri.
Untuk itu diperlukan lembaga perbankan. Dan dibangunnya De Javasche Bank pada 21 Januari 1828 di kota tua Batavia. Tepatnya di Jalan Pintu Besar Selatan, berhadapan dengan stasiun kereta api Beos (Jakarta Kota). Gedung yang hingga saat ini masih berdiri megah pada 1913 diperluas dan direnovasi. Lantainya dari granit yang didatangkan dari Bavaria (Jerman), kaca-kaca jendela aneka warna dari Delft dan gentengnya dari Belanda. Sebelumnya, tempat ini merupakan rumah sakit militer, ketika sebagian besar warga Eropa masih tinggal di kota lama (Sunda Kelapa-Pasar Ikan).
Tanpa dukungan cadangan emas, De Javasche Bank mengeluarkan uang kertas dan meminta masyarakat menukarkan uang emasnya. Kala itu, masyarakat umumnya tidak percaya pada bank. Mereka lebih suka menyimpan uang di bantal. Kini, masyarakat sudah bank minded dan bank beroperasi sampai ke desa-desa terpencil. Tidak terhitung banyaknya ATM merebak di berbagai tempat, sebagai bagian dari persaingan antar bank. Tapi, sejarah juga mencatat banyaknya kasus perbankan, terutama sejak deregulasi perbankan 1990-an. Dan kini, makin diperparah dengan kredit macet yang jumlahnya triliunan perak.
Pada tahun 1953, De Javasche Bank dinasionalisasi oleh Bank Indonesia. Karena sebagai negara merdeka harus memiliki bank sentral sendiri. Sampai 1980-an, kantor pusat BI masih di bekas gedung De Javasche Bank, untuk kemudian pindah ke Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Sedangkan gedung lama dijadikan sebagai kegiatan Litbang BI. Ketika Sjafruddin Prawiranegara menjabat Menteri Keuangan, pada 1950 di bebarapa daerah masih beredar uang ORI dengan sebutan 'uang putih', bersama uang NICA yang disebut 'uang merah'. Ia pun memerintahkan agar seluruh 'uang merah' dan uang De Javasche Bank yang bernilai lima rupiah ke atas digunting jadi dua bagian. Potongan bagian kanan tidak berlaku, sedang bagian kiri dengan nilai setengah (50 persen). Upaya yang dilakukan Syafruddin waktu itu terkenal dengan nama ''gunting Sjafruddin''.
Peristiwa lebih setengah abad lalu itu, dampaknuya sangat luas bagi masyarakat saat itu. Sanering ini baru diketahui secara luas pada sore hari setelah sebelumnya diumumkan melalui radio -- waktu masih sedikit pemilik radio -- Mereka yang mendengar siaran radio dan dari mulut ke mulut berbondong-bondong menyerbu toko dan pedagang. Membeli apa saja tanpa tawar menawar. Di Pasar Senen banyak pemilik toko terkecoh ketika dagangannya hampir ludes baru mengetahui nilai uang tinggal separuh. Banyak orang yang stress. Apalagi mereka yang baru saja menjual barang berharga. Banyak transaksi yang menjadi gagal dan batal. Tapi, dengan cara itu Sjafruddin mengurangi jumlah uang beredar, dan mengendalikan inflasi.
(Alwi Shahab, wartawan Republika )
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment