Tuesday, March 21, 2006

Maria van Engels

Noordwijk (Jl Juanda) dan Rijswijk (Jl Veteran), diapit Ciliwung, merupakan kawasan elit Eropa. Di sini terdapat istana, toko-toko penjual produk dan busana Eropa. Ada sejumlah hotel, teater, klab malam, dan tempat hiburan lainnya. Semua dengan ciri-ciri Eropa modern. Lebih-lebih saat Raffles (1811-1816), letnan jenderal Inggris, menjadikannya kawasan warga Eropa. Berdekatan dengan Noordwijk terletak Jl Pecenongan, Jakarta Pusat, yang juga banyak dihuni warga Eropa. Diantaranya, keluarga Engels, warga Belanda.

Van Engels beristri gadis Wonosobo, Jawa Tengah, saat dia bekerja di onderneming teh di kaki Gunung Dieng. Mungkin untuk mencari peruntungan yang lebih baik, keluarga van Engels penganut Katolik kemudian hijrah ke Batavia. Ia pun dapat tugas turut membangun jalan kereta api Batavia ke Jawa Timur. Dia punya dua orang gadis, Maria dan Lies van Engels.
Sebagai gadis Indo-Belanda, Maria berkulit putih, cantik dan tinggi semampai. Dia bekerja di toko penjahit di Noordwijk. Di dekat Pecenongan, terletak Gang Abu, yang banyak dihuni keturunan Arab, saat Belanda membolehkan mereka tinggal di luar kampung Arab, Pekojan, Jakarta Kota.

Seorang habib, Abdurahman Alhabsyi, putra sulung Habib Ali pendiri majelis taklim Kwitang, Jakarta Pusat, sering mendatangi kawan-kawannya di Gang Abu, melewati tempat Maria van Engels bekerja. Habib Ali lahir 1867, meninggal 1968 dalam usia 102 tahun.

Diperkirakan, saat pertemuan antara pemuda keturunan Arab dengan gadis Indo itu terjadi sekitar akhir 1880-an. Hampir tiap hari Habib Ali menyambangi tempat Maria bekerja. Mula-mula memang dicuekin. Tapi berkat kegigihan sang habib, akhirnya kedua remaja berlainan agama itu saling terpikat.

Maria pun terlebih dulu menyatakan setuju menjadi Muslimah dan mengganti nama jadi Mariam. Bahkan, ibunya yang biasa disebut 'Encang', ikut bersama anak gadisnya. Konon, menjelang pernikahan mereka di kediaman Habib Ali Kwitang (kini jadi majelis taklim), tersiar isu serombongan tentara Belanda siap mendatangi kampung Kwitang untuk menggagalkannya.
Namun, rupanya jamaah Kwitang tak kalah gesitnya. Sejumlah jagoan dan jawaranya, seperti Haji Sairin, Haji Saleh, dan banyak lagi, bersiap menyambut kedatangan mereka. Mereka nongkrong di Warung Andil, perempatan Jalan Kramat II (dulu Gang Adjudant) dan Kembang I. Bersenjatakan golok sambil berkerodong kain sarung, mereka siap menyambut kedatangan soldadoe Belanda yang akhirnya urung datang.

Setelah pernikahan secara Islam, Mariam jadi menantu kesayangan Habib Ali dan tinggal disamping rumah mertuanya. Ia cepat dapat bergaul dan berpartisipasi dengan masyarakat sekitar. Orang-orang kampung Kwitang menyebutnya 'Wan Enon' atau 'Ibu Enon'. Sedang cucu-cucunya memanggil 'Jidah Non'. Jidah adalah sebutan nenek dalam bahasa Arab.
Setelah berkeluarga, Jidah Non oleh suaminya diminta kesediannya untuk tidak keluar rumah selama dua tahun. Dengan maksud melatih dan mendidik sang mualaf ajaran Islam. Sejak saat itu dia tidak pernah melepaskan busana Muslim. Memakai kain dan kebaya, serta berkerudung, dan hampir tidak pernah melepaskan tasbih. Sampai akhir hayatnya dia pun berusaha untuk tidak menemui orang yang bukan muhrim. Sedang ibunya yang juga tinggal bersama menantunya, menjadi seorang ibu saleha. Bahkan ia diberangkatkan ke tanah suci.

Setelah Habib Abdurahman wafat 1940, Jidah Non tetap menjalankan kehidupannya dengan penuh takwa. Untuk membantu keluarga -- yang sebagian sudah menikah -- dia berdagang jamu. Mulai jamu beranak sampai jamu nafsu makan. Dia memiliki keahlian dalam pengobatan herbal. Memiliki sebuah buku tentang pengobatan dan obat-obatan tradisional dalam bahasa Belanda. Sayangnya setelah almarhum wafat awal 1961, buku yang sangat berharga itu raib begitu saja. Dia juga berjiwa sosial. Sering memberikan pertolongan bila yang sakit orang tidak berpunya, dan memberikan jamu secara gratis.

Sekalipun berbeda agama, tapi hubungan dengan adiknya, Lies van Engels, tetap mesra. Kalau mereka bertemu saling mencium pipi. Kala itu, tanta Lies, demikian kami memanggilnya, sudah tinggal di Eijkmanlaan (kini Jl Kimia), bersebelahan dengan RSUP Ciptomangunkusumo. Kala itu RSUP bernama CBZ (Central Bergelijk Ziekenin Rachting), berdiri 1919. Pada 1957, hubungan Indonesia-Belanda putus akibat soal Irian Barat (Papua). Sementara Bung Karno menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda, sambil menyerukan pada pekerjanya untuk mengambil alih.

Tanta Lies pun pulang ke Nederland bersama puterinya dan tinggal di Wesp, dekat Amsterdam. Salah seorang cucunya kawin dengan pemain sepakbola Belanda, Ayax Amsterdam. Selang beberapa tahun, satu dari keponakannya beserta suami dan keluarganya, berimigran ke Houston, AS.

Ketika salah satu misan saya pada 1990 berkunjung ke AS, keluarga mereka menanyakan putera dan puteri Jidah Non. Tapi sudah tidak bisa lagi berbahasa Indonesia. Dia menyatakan seorang puterinya kawin dengan pemuda Mesir dan masuk Islam.

Pada suatu malam tahun 1961, Jidah Non yang sedang sakit menginginkan semua keluarga berada di dekatnya. Dan ketika meninggal dunia, kami kirimkan kawat pada adiknya di Holland. Jenazahnya dibaringkan di dekat kamar mertuanya, Habib Ali. Sejumlah ulama terkemuka Jakarta, seperti KH Abdullah Syafie, KH Tohir Rohili, KH Nur Ali, hadir diantara ribuan pelayat.

(Alwi Shahab )

No comments: