Tuesday, March 21, 2006

Barisan Bambu Runcing

Hanya dengan bersenjatakan bambu runcing para pemuda patriot bangsa siap mempertahankan kemerdekaan. Dengan semangat meluap-luap untuk mengusir penjajah dengan tekad: 'Merdeka atau Mati'. Mereka berbaris di salah satu jalan raya di Jakarta. Di barisan paling depan dari 'pasukan bambu runcing' ini tiga orang pemuda membawa bendera merah putih.

Peristiwa ini terjadi hanya beberapa waktu setelah proklamasi kemerdekaan. Hanya pemimpin pasukan (paling kanan) dan beberapa orang saja yang mengenakan celana panjang dan bersepatu. Selebihnya bercelana pendek dan tanpa alas kaki. Berita proklamasi kemerdekaan RI segera tersebar secara luas terutama oleh para pemuda. Mereka dengan menyebarkan berita itu melalui selebaran-selebaran setelah mencetaknya secara kilat di mesin roneo. Kemudian secara beranting disebarluaskan ke seluruh Indonesia. Bahkan pada hari itu juga (17 Agustus 45), disiarkan melalui pemancar radio ke seluruh dunia.

Telegrafis kantor berita 'Domei' (nama KB Antara pada masa Jepang), Syahruddin secara diam-diam menyiarkan berita proklamasi pukul 16.00 hari itu juga. Saat personil Jepang tengah istirahat. Setelah proklamasi disusul aksi-aksi dan kegiatan-kegiatan yang mendukungnya. Jika para pemimpin bangsa -- termasuk kabinet yang baru dibentuk --, berpacu dengan waktu untuk melengkapi Negara RI, maka para pemuda pejuang dengan semangat bergelora dan tanpa gentar menghadapi tentara Jepang yang terkenal kejam.

Dalam sekejap kota Jakarta menjadi memanas. Para pemuda mencetuskan dan melampiaskan gelora perasaan melalui tulisan dan corat-coret di trem, bus, gerbong kereta api, tembok-tembok berupa pernyataan siap mati mempertahankan kemerdekaan. Maka dalam waktu cepat kota Jakarta yang sebelumnya tenang, masyarakatnya kini dilanda revolusi. Para pemuda patriot merebut dan menduduki gedung dan perusahaan penting. Banyak yang merebut senjata Jepang, untuk mengganti senjata bambu runcing.

Situasi makin gawat, ketika pasukan sekutu (diwakili pasukan Inggris), mendarat di Tanjung Piok (29 September 1945). Ikut membonceng tentara Belanda NICA (Neterhelands Indies Civil Administration). Mereka menduduki bagian wilayah Jakarta, sehingga mengakibatkan berbagai kekacauan. NICA yang diperkuat para tawanan perang Belanda selama pendudukan Jepang, menembaki tiap orang yang kelihatan mencurigakan. Teman saya (lupa namanya) yang berusia belasan tahun ketika sedang menjual koran 'Merdeka' di Kramat, Jakarta Pusat, karena ia meneriakkan kata 'merdeka' tewas ditembak NICA. Kekejaman NICA juga di daerah lain.

Presiden Sukarno yang masih tinggal di Jl Pegangsaan Timur (kini Jl Proklamasi) 56 terpaksa mengumumkan supaya rakyat menghindar dari jalan raya setelah jam delapan malam. Tapi patroli Belanda masih terus mengacau. Mereka menggedor rumah-rumah, merampok dan menyeret seorang atau seluruh isi rumah. Apabila rakyat membalas, Belanda membakar habis rumah-rumah rakyat (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia- oleh Cindy Adams). Layaknya tentara Israel di Palestina, NICA menculik para pemuda dan mereka diangkut ke kamp-kamp yang diduduki Belanda. Kemudian tidak terdengar lagi nasib mereka. Di Jakarta saja 8.000 rakyat dibunuh NICA antara September-Desember 1945.

Menlu Belanda Bernard Bot, Selasa (16/8-2005) mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Sebelumnya Belanda, hanya mengakui saat penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949. Menlu Belanda yang dilahirkan di Indonesia itu juga menyatakan penyesalan atas pengerahan militer Belanda secara besar-besaran pada masa revolusi fisik. Konon, sebelumnya, ketika Ratu Juliana pada tahun 1970'an akan berkunjung ke Indonesia, di negaranya ada suara-suara yang meminta agar ratu meminta maaf atas kekejaman Belanda selama menjajah Indonesia. Tapi Ratu hanya mengatakan agar kedua bangsa melupakan masa lalu.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

No comments: