Untuk mengenang Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen, pemerintah kolonial Belanda telah mendirikan sebuah monumen dan patung pendiri Kota Batavia itu. Gubernur Jenderal VOC (1619-1623 dan 1627-1629) ini, dibuat patungnya pada 1869, bertepatan dengan 250 tahun usia kota Batavia oleh gubernur jenderal Pieter Mijer (1866-1872). Patung Coen yang berdiri dengan angkuh sambil menunjuk jari telunjuknya dengan mottonya yang terkenal: Despereet Niet (jangan putus asa).
Setelah berdiri selama 74 tahun di depan White House (Gedung Putih) yang kini jadi Departemen Keuangan di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, patung dari tembaga ini pun digusur dan dihancurkan pada 7 Maret 1943 selama pendudukan Jepang. Dimasa kolonial, ulang tahun Jakarta selalu diperingati pada 30 Mei, ketika di tanggal tersebut tahun 1619, Coen menghancurkan Jayakarta. Kemudian di atas puing dan reruntuhan kota yang diberi nama oleh pejuang Islam, Falatehan, ia membangun Batavia.
Coen yang meninggal 20 September 1629, hanya tiga hari setelah balatentara Islam Mataram untuk kedua kalinya menyerbu Batavia. Menurut pihak Belanda, Coden meninggal karena kolera yang kini lebih dikenal dengan muntaber (muntah berak). Dia kemudian dimakamkan di Balai Kota (kini Museum Sejarah Jakarta), kemudian setelah balaikota diperbarui jenazahnya dipindahkan di de Oude Hollandsch Kedrk (Gereja Tua Belanda) yang kini menjadi Museum Wayang, Jl Pintu Besar Utara, Jakarta Barat. Di sini dapat ditemui prasastinya, bersama sejumlah gubernur jenderal lainnya, yang meninggal di Batavia.
Sejarawan Sugiman, meyakini bahwa kematian Coen akibat serangan balatentara Mataram. Menurut dia, yang ditunjuk sebagai makam Coen sebenarnya bukan tempat jenazahnya dikebumikan, tapi jenazah orang lain. Sedangkan menurut Chandrian Attahiyat, dari Dinas Kebudayaan dan Permusiuman DKI Jakarta, pada 1939 telah dilakukan penggalian di makam Coen, untuk mencari jenazahnya. Tapi tidak diketemukan apa-apa. Meskipun pakar arkeologi itu lebih mempercayai versi Babat Jawa, ia berpendapat untuk mencari kebenaran perlu dilakukan penggalian jenazah Coen berupa kepalanya di Imogiri (pemakaman raja-raja Jawa). Konon, kepala Coen diletakkan ditangga paling bawah Imogiri, sehingga mereka yang hendak ke tempat pemakaman ini terlebih dulu menginjak kepalanya, sebagai penghinaan.
''Memang sejauh ini belum pernah ada penelitian arkeologi kebenaran 'Babad Jawa' tentang pembunuhan Coen,'' ujar Chandrian. Seorang petugas di Museum Wayang, tempat prasasti Coen berada, membenarkan adanya dua versi tentang kematiannya. Pesta peringatan 250 tahun kota Batavia dilangsungkan waktu perang Aceh memasuki tahun ketiga. Di saat-saat rakyat Aceh dan tentara Belanda banyak yang cedera. Sementara tuan-tuan besar di Jakarta berpesta pora dengan penuh kagumbiraan.
Dengan dihancurkannya patung Coen oleh Jepang, kaum nasionalis tidak perlu bersusah payah melenyapkan lambang kolonial yang tidak diinginkan itu. Setelah Indonesia merdeka, tidak satu pun yang menjunjung Coen, di kota yang dibangunnya di bekas puing-puing kota Jayakarta lama. Dan, Bung Karno sendiri tampaknya ingin menjadikan Jakarta, sebagai kota yang berlainan dengan Batavia. Pada tahun 1960-an Bung Karno membangun Hotel Banteng di Lapangan Banteng. Kini jadi Hotel Borobudur. Dia juga membangun Masjid Istiqlal yang megah, di bekas benteng kolonial Wilhelmina Park. Untuk itu di dinamit monumen Michiels, guna memperingati Mayor Jenderal Andreas Victor Michiels, komandan militer Belanda yang memimpin peperangan di Sumatera Barat dan meninggal ketika berhadapan dengan pejuang Bali (1849).
(Alwi Shahab, wartawan Republika)
Tuesday, March 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment