Ada tradisi yang sudah berlangsung puluhan bahkan lebih dari satu abad di masjid-masjid tua Jakarta dan Bogor, yakni khatam Alquran di bulan Ramadhan. Masjid-masjid tua itu dikelola oleh para ulama yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Memang tradisi itu berasal dari Hadramaut. Di Indonesia, khususnya Jakarta, tradisi itu diikuti masyarakat luas. Bahkan, lebih 80 persen yang hadir bukan keturunan Arab, yang sekitar 90 persen berasal dari Hadramaut.
Besarnya minat masyarakat terlihat dari membludaknya jamaah. Acara biasanya dimulai dengan berbuka puasa bersama, dilanjutkan dengan shalat Magrib, Isya dan kemudian tarawih. Yang hadir hingga memenuhi pekarangan dan pelataran masjid. Meskipun sudah berlangsung ratusan tahun, ternyata yang hadir jumlahnya makin banyak. Mereka datang bukan hanya dari Jakarta, tapi sekitar Jabotabek, Bogor dan sekitarnya. Yang unik, mereka datang tanpa diundang, karena masjid-masjid yang menyelenggarakan acara itu dari tahun ke tahun waktunya tidak pernah berbeda.
Acara khatam Alquran dimulai dengan buka puasa bersama. Hampir seluruh yang datang ke masjid-masjid mendapat makanan berupa nasi kebuli. Satu nampan nasi kebuli beserta lauk pauknya berupa potongan-potongan daging kambing yang ditabur di atas nampan, biasanya untuk empat atau lima orang. Hidangan lainnya adalah gulai atau semur kambing. Agar tidak takut terkena kolesterol, hidangan dilengkapi acar bawang, ketimun, nenas dan paceri, untuk menetralisir lemak.
Di Masjid Kampung Bandan, acara berlangsung pada malam ke-13 (Jumat malam pekan lalu). Menurut Habib Ali Shatri -- pengurus masjid yang telah berusia lebih 200 tahun itu -- tidak menyebarkan undangan. Tapi, masyarakat sudah tahu bahwa tiap tahun di sini tiap malam ke-13 Ramadhan selalu diadakan acara khatam Quran. Masjid Kampung Bandan terletak antara pelabuhan Sunda Kelapa dan pusat rekreasi Ancol, Jakarta Utara. Di sini dimakamkan Habib Muhammad bin Umar Alqudsi (117 H atau 1705 Masehi), sekitar 300 tahun lalu.
Memang acara ini berlangsung pada malam ganjil, karena dipercaya pada saat demikianlah konon turunnya malam Lailatul Qadar, yang pahalanya melebihi 1000 bulan. Juga sudah menjadi tradisi bahwa pada malam ke-17 kegiatan semacam ini berlangsung di Masjid Kramat Luar Batang, Jakarta Utara. Bahkan jumlah jamaah yang hadir lebih besar. Masjid Luar Batang, Jakarta Utara, yang telah direnovasi atas prakarsa Wagub DKI Jakarta Fauzi Bowo, memang tiap hari banyak diziarahi orang, yang datang bukan hanya dari Jakarta tapi juga dari berbagai tempat di Nusantara. Di dekat masjid di makamkan Habib Husein bin Abdullah Alaydrus. Ia meninggal pada 27 puasa 1169 Hijriah atau 24 Juni 1756. Dia dan Habib Alqudsi (Kampung Bandan) merupakan imigran Hadramaut terdahulu.
Pada malam ke-21 Ramadhan, acara berlangsung di Masjid An-Nur di Empang Bogor. Acara ini juga sudah berlangsung lebih satu abad tanpa henti. Di belakang masjid terdapat makam Habib Abdullah bin Muchsin Alatas, pendiri Masjid Taklim di Bogor. Ia membangun masjid ini pada 1318 H -- bertepatan dengan 1900 M. Ia wafat pada 26 April 1933 dan dimakamkan di sebelah barat masjidnya.
Seperti dikemukakan salah seorang kerabatnya, Habib Abdullah Alatas, ribuan jamaah yang hadir seluruhnya dapat berbuka puasa bersama, tanpa ada yang telantar. Begitu banyaknya jamaah, hingga meluber sampai ke pekarangan dan pelataran masjid. Seperti juga di masjid-masjid lain mereka tanpa diundang. Beberapa rumah di dekat masjid Empang, juga membuka pintu lebar-lebar tanpa pandang bulu menyediakan makanan untuk berbuka. Kecuali di 'rumah besar' makanannya adalah kebuli, di rumah-rumah sekitarnya bervariasi. Ada sayur asem, gado-gado, tahu, tempe, di samping tentunya daging kambing dan ikan.
Dua malam kemudian acara serupa berlangsung di Masjid Al-Hawi, majelis taklim dan masjid yang dirintis oleh Habib Muhammad bin Ahmad Alhadad. Kegiatan yang didatangi ribuan jamaah ini juga sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Sejumlah penduduk disekitar tempat ini juga membuka pintu lebar-lebar bagi mereka yang ingin berbuka puasa bersama. Nama Al-Hawi di ambil dari sebuah tempat di Hadramaut, dimana tinggal pencipta ratib Alhadad, seorang sufi ternama Habib Abdullah Alhadad yang hidup 400 tahun lalu.
Tradisi khatam Quran di masjid-masjid tua masih terus berlangsung. Setelah Al-Hawi, pada malam ke-25 bulan Ramadhan acara serupa berlangsung di Masjid Kwitang, Jakarta Pusat. Acara ini juga sudah berlangsung sejak sekitar satu abad lalu, bila diingat pendiri majelis taklim Kwitang itu meninggal pada tahun 1968 dalam usia 100 tahun. Habib kelahiran Kwitang ini telah berdakwah sejak usia 20 tahun. Kini majelis taklim Kwitang sudah generasi ketiga. Setelah Habib Ali wafat diteruskan oleh puteranya, Habib Muhammad, dan kini cucunya, Habib Abdurahman (65 tahun).
Pada acara khatam Quran para jamaah sudah mulai berdatangan pukul lima sore. Dalam menanti saat berbuka mereka melantunkan ayat-ayat suci Alquran, membaca shalawat, dan berbagai bacaan menjelang magrib. Saat azan magrib berkumandang, mereka minum kopi jahe dan kurma. Dilanjutkan makan nasi untuk kemudian shalat Magrib berjamaah. Diteruskan shalat Isya dan Tarawih. Biasanya ada tokoh ulama setempat yang berkhotbah, mengingatkan agar mereka yang berpuasa juga mengeluarkan zakat untuk membantu manusia yang tidak berpunya.
(Alwi Shahab )
Saturday, October 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment