Ada yang berpendapat penduduk Betawi itu majemuk. Artinya, mereka berasal dari percampuran darah pelbagai suku bangsa dan bangsa-bangsa asing. Pendapat ini tidak seluruhnya benar. Seperti dikemukakan sejarawan Sagiman MD, penduduk Betawi telah mendiami Jakarta dan sekitarnya sejak zaman batu baru atau pada zaman Neoliticum, yaitu 1500 SM.
Yang pasti penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa sebagaimana orang Sunda, Jawa, dan Madura. Tidak dipungkiri memang ada percampuran darah di zaman kekuasaan Hindia Belanda. Mengingat pada masa itu, khususnya pada abad ke-17, 18, dan 19, terjadi percampuran darah ketika warga Cina, Arab, dan Eropa (Belanda), yang umumnya datang di Batavia tanpa istri, mengawini penduduk setempat.
Sementara itu, Yahya Andi Saputra, jebolan Fakultas Sejarah UI, berpendapat bahwa penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa. Menurutnya, dahulu kala penduduk di Nusa Jawa merupakan satu kesatuan budaya. Bahasa, kesenian, dan adat kepercayaan mereka sama. Dia menyebutkan berbagai sebab yang kemudian menjadikan mereka sebagai suku bangsa sendiri-sendiri.
Pertama, munculnya kerajaan-kerajaan di zaman sejarah. Kedua, kedatangan penduduk dari luar Nusa Jawa. Terakhir, perkembangan kemajuan ekonomi daerah masing-masing. Penduduk asli Betawi berbahasa Kawi (Jawa kuno). Di antara penduduk juga mengenal huruf hanakacara (abjad bahasa Jawa dan Sunda).
Jadi, penduduk asli Betawi telah berdiam di Jakarta dan sekitarnya sejak zaman dahulu. Pada abad ke-2, Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara atau Holoan yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor. Penduduk asli Betawi adalah rakyat kerajaan Salakanagara. Pada zaman itu perdagangan dengan Cina telah maju. Bahkan, pada tahun 432 Salakanagara telah mengirim utusan dagang ke Cina.
Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum. Menurut Yahya, ada yang menganggap Tarumanagara merupakan kelanjutan kerajaan Salakanagara. Hanya saja ibukota kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi kali Citarum. Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara. Tepatnya letak ibukota kerajaan di tepi sungai Candrabagha, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi.
Candra berarti bulan atau sasi, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara yang termashur itu. Raja Hindu ini ternyata seorang ahli pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu rakyat Tarumanagara mengenal persawahan menetap.
Pada zaman Tarumagara kesenian mulai berkembang. Petani Betawi membuat orang-orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan ini diberi baju dan bertopi, yang hingga kini masih dapat kita saksikan di sawah-sawah menjelang panen. Petani Betawi menyanyikan lagu sambil menggerak-gerakkan tangan orang-orangan sawah itu.
Jika panen tiba petani bergembira. Sawah subur, karena diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran. Penduduk mengarak barongan yang dinamakan ondel-ondel untuk menyatakan merdeka punya kagoembiraan. Ondel-ondel pun diarak dengan membunyikan gamelan.
Nelayan juga bergembira menyambut panen laut. Ikan segar merupakan rezeki yang mereka dapatkan dari laut. Karenanya mereka mengadakan upacara nyadran. Ratusan perahu nelayan melaut mengarak kepala kerbau yang dilarungkan ke laut.
Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-7 ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha. Di zaman kekuasaan Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera. Mereka mendirikan pemukiman di pesisir Jakarta.
Kemudian bahasa Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan. Ini disebabkan terjadinya perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang Melayu. Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di daerah pesisir saja. Kemudian meluas sehingga ke daerah kaki Gunung Salak dan Gunung Gede.
Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting. Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi martabat keluarga. Dalam keluarga Betawi ayah disebut babe. Tetapi ada juga yang menyebutnya baba, mba, abi atau abah -- pengaruh para pendatang dari Hadramaut. Ibu disebut mak. Tetapi tidak kurang banyaknya yang menyebut nyak atau umih. Anak pertama dinamakan anak bongsor dan anak bungsu dinamakan anak bontot.
Sejak dahulu kala Jakarta menarik perhatian orang asing. Pada tahun 414 berkunjung ke Jakarta seorang kelana Tiongkok bernama Fa Hiiiien. Ia melihat banyak rumah di pesisir. Banyak penduduk Jakarta yang menangkap ikan di laut. Jakarta banyak disukai orang asing karena air minumnya yang jernih. Juga di sini dihasilkan tuak yang diambil dari pohon nira.
Pada abad ke-12 pelabuhan Sunda Kelapa ramai dikunjungi pelaut-pelaut asing. Kemudian hari sebagian dari mereka menjadi penduduk Jakarta. Ketika Jan Pieterzoon Coen mendirikan Batavia (Mei 1619), penduduk Jayakarta menyingkir sambil mendirikan markas gerilya di Jatinegara Kaum (Jakarta Timur). Untuk mengisi kekosongan kota, Coen mendatangkan banyak budak dari Asia Selatan dan Bali.
Keberadaan budak yang baru dihapuskan 1860 membuat sejumlah sejarawan asing terkecoh. Mereka menulis bahwa orang Betawi keturunan budak. Padahal sejak 1.500 tahun SM di Jakarta dan sekitarnya sudah bermukim orang Betawi.
(Alwi Shahab)
Saturday, October 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment