Saturday, October 21, 2006

Pelabuhan Tanjung Priok 1890

Aktiivitas di Pelabuhan Tanjung Priok dan tiga pelabuhan lainnya awal pekan lalu lumpuh total akibat aksi mogok Organda. Mereka menolak kutipan PPN sebesar 10 persen pada jasa angkutan pelabuhan. Di Priok saja potensi kerugian mencapai Rp 50 miliar. Sejak bulan lalu, Organda juga mengancam untuk mogok karena sudah kagak tahan lagi, terhadap pungli di pelabuhan yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pungli yang dilakukan secara berjamaah ini mengakibatkan kerugian negara miliaran rupiah per tahun. Tapi yang terjadi bukan hanya pungli dan pemerasan terhadap para sopir angkutan yang beroperasi di pelabuhan. Tapi kagak keitung banyaknya penyelewengan lain, yang dilakukan baik secara transparan maupun bisik-bisik. TST (tahu sama tahu) istilah yang dikenal sejak tahun 1950-an bukan rahasia lagi di pelabuhan yang mulai berfungsi 1885. Seperti ekspor dan impor fiktif serta penyelundupan, yang konon mengakibatkan kerugian negara trilyunan rupiah. Yang menyedihkan hampir semua oknum berbagai instansi ikut terlibat.

Baiklah kita simak keberadaan Pelabuhan Tanjung Priok, yang dibangun untuk menggantikan Pelabuhan Sunda Kelapa. Sejak awal dibangunnya Batavia (1619), keberadaan pelabuhan yang terletak di Muara Ciliwung ini menimbulkan banyak masalah. Situasi makin gawat setelah teerjadinya gempa bumi bulan Januari 1699. Hingga mulut pelabuhan terendam pasir dan lumpur. Pada 1827 kapal yang bersandar di Sunda Kelapa semakin jauh dari daratan. Hingga diperlukan perahu-perahu untuk bongkar muat. Akibat biaya bongkar muat yang mahal, pada 1860-an diambil keputusan untuk membangun pelabuhan baru.

Pada waktu hampir bersamaan, mulai banyak berdatangan kapal uap dari Eropa menggantikan kapal layar. Setelah dilakukan survei yang cukup lama, maka dipilihlah Tanjung Priok, 9 km sebelah timur Pelabuhan Sunda Kelapa sebagai pelabuhan baru. Pembangunan dimulai Mei tahun 1877 dan baru usai keseluruhan tahun 1885 atau 7 1/2 tahun setelah dibukanya Terusan Suez, yang menyebabkan jarak tempuh pelayaran dapat diperpendek.

Ketika pelabuhan Sunda Kelapa hendak dipindahkan ke Priok, banyak kantor dagang dan niaga yang berpusat di Jalan Kalibesar yang memprotes. Karena kala itu, jarak dari Jakarta Kota ke Tanjung Priok dianggap cukup jauh. Di samping itu, ketakutan para pengusaha karena Tanjung Priok merupakan pusat malaria, penyakit mematikan kala itu, hingga mengancam para pekerjanya. Karenanya kantor dagang mereka tetap berada di kawasan Kalibesar yang hingga kini masih kita dapati dan dilestarikan sebagai gedung tua.

Yang terlihat di foto adalah kapal SS Swaerdecroon milik perusahaan pelayaran KPM (Koninklijke Pakeetvaard Maatchappij) yang tengah berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok pada tahun 1890. Kapal uap yang tengah sandar di Pelabuhan Tanjung Priok ini beratnya 641 gross tons. Nama kapal ini untuk mengabadikan Hendrik Zwaardecroon, gubernur jenderal VOC (1718-1725).,

Pada 1906 kapal ini dijual pada perusahaan pelayran Jepang, dan namanya dirubah 'Kimigayo Mayo'. Kapal berbendera Jepang ini kemudian melakukan pelayaran dari Batavia ke Shanghai pulang pergi.

KPM sejak 1891 melakukan rute pelayaran di 30 pelabuhan di Indonesia, enam di antaranya melalui Priok. Pokoknya selama ditangani oleh KPM, hampir tidak pernah terjadi kesulitan pelayaran di berbagai kepulauan di tanah air. Pada 1927, KPM memiliki armada sebanyak 136 buah kapal.

KPM dinasionalisasi pada tahun 1957, saat memburuknya hubungan antara RI - Nederland akibat persoalan Irian Barat (Papua). Sejak saat itu bernama Pelni. Bukan hanya KPM, semua perusahaan Belanda di waktu bersamaan juga dinasionalisasi. Para buruhnya memenuhi anjuran Presiden Sukarno untuk mengambil alih semua perusahaan Belanda, yang disiarkan secara luas melalui RRI.

Bung Karno pernah marah, ketika seorang wartawan foto Antara mengambil foto rakyat tengah rebutan 'menyapu' beras yang tercecer dari pelabuhan Tanjung Priok. Bagi Bung Karno foto yang memperlihatkan rakyat tengah rebutan mengambil beras yang tercecer, mencoreng nama baik pemerintah.

(Alwi Shahab)

No comments: