Fotografer Woodbury & Page mengabadikan Molenvliet yang terdiri dari dua jalan, yaitu Molenvliet West (Jl Gajah Mada) dan Molenvliet Oost (Jl Hayam Wuruk) pada 1872, saat awal-awal ditemukannya teknologi fotografi. Seperti terlihat dalam foto 134 tahun lalu, kedua jalan yang diapit dan dipisahkan oleh kanal Ciliwung di sepanjang kedua jalan raya tampak sepi dan lengang.
Jalan Gajah Mada dan Jl Hayam Wuruk yang kini sudah menjadi hutan beton, kala itu dipenuhi pepohonan rindang, sehingga suasana kedua jalan yang kini ramai dan macet, kehijau-hijauan menjadikan suasana teduh.
Generasi sekarang, dipastikan sudah tidak banyak lagi yang mengenal nama Molenvliet yang dalam Belanda berarti molen (kincir) dan vliet (angin). Karena dulunya disini terdapat kincir angin, meniru sistem pengairan Belanda. Sungai Ciliwung yang dulunya berbelok-belok dari Harmoni hingga ke Pelabuhan Sunda Kelapa, di Pasar Ikan sepanjang 3 km, telah diluruskan oleh Phoa Bing Ham pada 1648. Dia adalah kapiten kedua dari komunitas Cina di Batavia, yang karena karyanya ini telah mendapat gelar kehormatan: 'ahli pengairan'.
Pada pertengahan abad ke-18 ketika daerah Pasar Ikan dinyatakan sebagai 'sarang penyakit' dan banyaknya warga Eropa yang meninggal dunia, mereka kemudian banyak meninggalkan 'kota tua' dan berpindah ke daerah yang lebih sejuk: Molenvliet. Pada awal abad ke-20, di kiri-kanan kawasan Molenvliet merupakan daerah bisnis yang bertahan hingga sekarang. Mereka juga membangun rumah-rumah dan sejumlah tempat peristirahatan (landhuis), karena hawanya yang sejuk. Sekitar 150 tahun lalu di Molenvliet West (Jl Gajah Mada) terdapat sebuah hotel mewah "Des Indes', yang dibongkar pada tahun 1970-an dan dijadikan sebagai pertokoan 'Duta Merlin". Ketika itu tamu-tamu negara ditempatkan di hotel yang memiliki pekarangan luas, dan di bagian depannya dijadikan sebagai tempat dansa-dansi kalangan atas.
Trem listrik yang merupakan angkutan utama di Jakarta sampai 1960, menggantikan sado dan dokar, juga melewati kedua jalan tersebut dari Meester Cornelis (Jatinegara) ke Kota Inten (Pasar Ikan). Demikian juga dari berbagai jurusan di Jakarta seperti Tanah Abang-Pasar Ikan dan Kramat-Pasar Baru-Pasar Ikan.
Dulu di bagian ujung hanya beberapa puluh meter dari pusat pertokoan elektronika, terdapat perusahaan Lindeteves. Nama salah satu perusahaan raksasa milik Belanda yang mensuplai keperluan ekspor-impor ke Hindia Belanda. Perusahaan raksasa ini dinasionalisasikan 1957 setelah putusnya hubungan RI-Belanda akibat masalah Irian Barat (Papua). Bersama empat perusahaan raksasa Belanda: Geo Wehry, Internatio, Borsumij, dan Jacobson van den Berg. Sekarang ini, untuk mengingatkan kejayaan masa lalu, dibangun Pusat Pertokoan Lindeteves. Di depan Lindeteves di Jalan Gajah Mada dulu terdapat beberapa gedung antik. Di antaranya milik Mayor Cina Khouw Kim An yang dahulu merupakan gedung paling indah di Jakarta Kota.
Gedung yang kini tersisa bagian mukanya saja karena tengah dibangun pertokoan dan perhotelan oleh group Modern, konon memiliki ratusan kamar. Kenapa begitu banyak? Karena ia memiliki 14 istri dan 24 orang anak. Belum lagi puluhan budak belian. Tapi kita harus mengacungkan jempol pada mayor Cina ini. Karena istri-istrinya hidup rukun, meskipun kita tidak tahu bagaimana cara ia menggilir para istrinya itu.
(Alwi Shahab)
Saturday, October 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment