Saturday, October 21, 2006

Menjelajahi Kampung Arab di Negeri 'Singa'

Tidak hanya di Indonesia terdapat kampung Arab seperti Pekojan, Krukut dan Tanah Abang. Singapura juga memiliki Kampung Arab. Seperti Arab Street di Kampung Glam, tempat Masjid Sultan yang dapat menampung lima ribu jamaah. Tapi seperti juga di Krukut (Jakarta Pusat) dan Pekojan (Jakarta Barat), di Arab Street dan sekitarnya kini sudah tidak banyak lagi kita jumpai keturunan Arab. "Hanya tinggal namanya saja Arab Street," kata seorang pria setengah baya keturunan Arab kepada penulis.

Pemerintah Singapura, dalam upaya harmonisasi penduduknya, mengharuskan mereka tinggal bersama antar beragam etnis dan agama di flat-flat. Padahal Singapura yang dibangun Raffles 1819 pernah menjadi pusat persinggahan para imigran Arab sebelum mereka tiba di Indonesia. Ini terjadi sejak 1870 ketika pelayaran dengan kapal uap antara Timur Jauh dan Arab mengalami perkembangan pesat. Sejak itulah perpindahan penduduk dari Hadramaut ke Nusantara menjadi lebih mudah.

Selain tempat persinggahan, Singapura juga jadi tempat menetap para imigran dari Hadramaut. Kalau di Indonesia, Belanda mengangkat kapiten Arab sebagai kepala koloni masyarakatnya, di Singapura dan juga Malaysia tidak memiliki kepala koloni. Mereka berada langsung di bawah kekuasaan Inggris (LWC van den Berg).

Salah seorang keturunan Arab di Singapura mengatakan jumlah mereka saat ini tidak lebih dari 10 ribu orang. Di Indonesia, menurut Edrus Almashur, yang banyak mengikuti dan menulis perkembangan masyarakat Arab Indonesia, jumlah mereka kurang lebih lima juta orang. Di Singapura keturunan Arab jumlahnya sekitar dua persen dari jumlah umat Islam yang berjumlah sekitar 500 ribu jiwa. Atau 14 persen dari empat juta penduduk Singapura.

Sekalipun jumlahnya kecil sekali, tapi pengaruh mereka di kalangan umat Islam Singapura cukup besar. Setidak-tidaknya ada sejumlah masjid yang dibangun pendahulu-pendahulu mereka, seperti Masjid Alkaff, Masjid Baalawi, Masjid Alsagoff dan Aljunaid School. Yang terakhir ini adalah madrasah modern. Para siswa, selain harus menguasai bahasa Arab, juga Inggris. Bahasa Inggris kini merupakan bahasa utama di Negeri Singa itu, termasuk dalam pergaulan antaretnis Arab. Kalau generasi di atas mereka umumnya pedagang, generasi muda etnis Arab di Singapura kini adalah para pekerja, dengan gaji yang jauh lebih menggiurkan dari pada di Indonesia.

Konon, pada masa kejayaannya, sekitar 2/3 tanah di Singapura milik tuan tanah Aljunaid, Alsagoff, Alkaff, dan Bin Thalib bin Yamani. Sekarang yang tinggal hanya tanah milik bin Yamani. Tentu jauh berkurang dibanding masa lalu. Di Kwitang, Jakarta Pusat, sampai pertengahan 1950-an, Alkaff memiliki banyak rumah yang disewakan. Keluarga besar Alkaff yang juga memiliki tanah di Hadramaut, selain di Singapura, mereka juga tinggal di Kwitang. Di kampung ini mereka memiliki banyak rumah sewa. Ketika pada 31 Agustus 1957, Negara Melayu memperoleh kemerdekaan dari Inggris, di Jakarta perayaan diadakan di kediaman Alkaff di Kwitang. Karena, ia warganegara Singapura yang kala itu merupakan bagian dari Kerajaan Melayu.

Karena hampir tidak terdapat lagi di Arab Street, sementara mereka sibuk mencari uang, umumnya masyarakat keturunan Arab di Singapura bisa ditemui saat ada kematian, pernikahan, dan di masjid saat shalat Jumat. Di antara 69 masjid di negeri singa itu, paling banyak jamaah keturunan Arab di Masjid Baalawi dan Masjid Sultan. Di Masjid Baalawi tiap Kamis malam diadakan pembacaan Ratib Al-Atas, diikuti sekitar seribu jamaah.

Masjid yang dipimpin Habib Hasan Alatas itu terletak di Bukit Timah, dibangun oleh ayahnya, Habib Muhammad Alatas. Masjid itu diresmikan oleh Habib Ali Alhabsji dari Kwitang, Jakarta Pusat, pada 9 September 1952. Habib Hasan (52 tahun) memimpin masjid tersebut sejak ayahnya meninggal pada 26 April 1976 dalam usia 74 tahun.

Masjid Baalawi merupakan salah satu pusat kegiatan dakwah di Singapura. Habib Muhammad telah mengajar ratib dengan hanya 15 murid, dan kemudian berkembang pesat menjadi lebih 10 ribu pelajar saat ini. Ratib yang dikarang oleh Habib Abdurahman Alatas dari Singapura itu kini telah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Prof Syed Mohammad Naquib Alatas, seorang ilmuwan dari Malaysia kelahiran Sukabumi.

Naquib Alatas, bersama kakaknya, Prof Dr Husain Alatas, yang buku karangannya tentang korupsi menjadi rujukan di banyak negara, adalah cucu almarhum Habib Abdullah Alatas, Bogor. Masjid Baalawi sering didatangi tokoh dari Malaysia seperti Mahathir Mohammad dan Abdullah Badawi.

Kembali ke Arab Street di Kampung Glam, para wisatawan manca negara seolah-olah diingatkan kembali kekhasan Islam di Singapura. Seperti Masjid Sultan yang dibangun tidak lama setelah Raffles mendirikan Singapura, yang sebelumnya hanya kampung Nelayan bernama Temasek. Di sekitar masjid dan istana Sultan, terdapat sejumlah kafe, rumah makan, dan tempat hiburan. Antaranya tempat para muda-mudi untuk ber-zafin -- tarian diiringi gambus yang berasal dari Hadramaut.

Para jamaah (warga Arab) Singapura, seperti juga di Indonesia, masih memelihara kesenian dan budaya asal leluhur mereka dari Hadramaut. Untuk mengiringi zafin di tikar permadani, kafe ini memutar kaset-kaset gambus dari Indonesia.

Ketika saya menghadiri pesta perkawinan putri Habib Hasan Alatas di gedung megah, pihak tuan rumah mendatangkan rombongan gambus dari Jakarta pimpinan Husein Alatas. Sementara, para jamaah Singapura meliuk-liukkan badan dan berlompat-lompat mengikuti irama padang pasir. Menlu Malaysia, Syed Hamid Albar, pun turut menikmatinya.


(Alwi Shahab)

No comments: