Saturday, October 21, 2006

Pasar Ikan - Harmoni - Kampung Melayu

Pasar Ikan, Jakarta Utara 1950-an. Kala itu, bekas markas kompeni (VOC) ini banyak pengunjungnya. Terutama di hari-hari Ahad dan libur. Karena Pasar Ikan memiliki akuarium tempat para muda-mudi saling melempar senyum. Kalau ada kecocokan bisa berlanjut ke pelaminan. Pulangnya orang membeli oleh-oleh biji congklak dari kerang. Main congklok kala itu merupakan kegemaran para gadis dan ibu-ibu untuk meluangkan waktu. Maklum televisi belum ada. Di sini juga dijual akar bahar untuk dijadikan gelang. Konon dapat menyembuhkan penyakit rematik.

Di Pasar Ikan banyak pendatang berziarah ke Masjid Luar Batang, tempat Habib Husein Alaydrus yang datang ke Indonesia dari Hadramaut pada abad ke-18 dimakamkan. Sayangnya, masjid yang sudah berusia lebih dari dua abad itu telah diperbaharui, hingga hilang kekunoannya. Untuk masuk ke Luar Batang, kita harus menaiki jembatan bambu di muara Ciliwung. Berdekatan dengan Luar Batang, di dekat terminal Kota Inten, Jakarta, terdapat meriam si jagur. Inilah meriam besar yang dibawa VOC ketika menaklukkan Portugis di Malaka (1641). Dinamakan demikian, karena bila disundut bunyinya 'jlegar-jlegur'. Di pantat meriam yang panjangnya lebih dua meter itu ada ukiran tangan yang orang sekarang bilang kode senggama. Tapi, aslinya lambang gagah perkasa.

Karena itulah 'si jagur' banyak diziarahi orang. Terutama ibu-ibu yang belum mendapat keturunan. Di samping meriam yang terbuat dari besi baja itu terdapat juru kuncen, yang mulutnya selalu kemak-kemik membacakan doa-doa. Setelah terlebih dulu si peziarah menyelipkan 'doku'. Peziah juga harus membeli 'kembang payung' yang dibuat dari kertas minyak warna-warni. Setelah pulang, payung itu ditaruh di atas kelambu tempat tidur suami istri.

Trem lijn I jurusan Pasar Ikan - Kampung Melayu masih menunggu penumpang di halte Kota Inten. Masinisnya memakai kacamata Ray Band, meniru gaya Tony Curtis, aktor Hollywood paling tampan ketika itu. Sedang kondekturnya tengah menghitung uang talenen ( 25 sen) dan picisan (10 sen), hasil perjalanan Kampung Melayu - Pasar Ikan -- ketika itu disebut uang rece.

Neng - neng - neng - neng. Trempun meninggalkan Pasar Ikan. Lalu berhenti di Faktori -- kantor Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) -- pengganti VOC yang bangkrut akibat hampir seluruh pejabatnya korupsi. Tiba-tiba sang masinis sambil menongolkan kepala dekat jendela memarahi tukang becak yang tidak mau minggir meski kelenangan sudah dibunyikan berkali-kali, "He beca ! Apa lu kagak bisa minggir?"

Tukang becak yang berambut gondrong dan bermuka sangar nyeletuk, "Apaan? Kagak bisa minggir? Gue sih bisa. Lu yang kagak!"

Neng-neng-neng-neng. Trem melewati Markas Polisi Glodok (kini pertokoan Harco). Dulu di sini terdapat penjara. Konon, Bung Hatta pernah dipenjarakan di sini oleh pemerintah kolonial Belanda. Dari Glodok trem melaju ke Lindeteves, nama sebuah perusahaan ekspor impor Belanda di Jalan Hayam Wuruk. Bersama empat perusahaan raksasa Belanda lainnya seperti Geo Wehry, Borsumij, dan Internatio, Lindeteves memiliki ratusan armada termasuk ke mancanegara, sehingga distribusi bahan pangan ke pelosok nusantara berjaloan lancar.

Neng - neng - neng - neng. Trem berhenti di Harmoni, nama sebuah gedung yang kini sudah almarhum. Harmoni Club, yang pada awal 1980-an dibongkar dan jadi gedung Sekretariat Negara di tempo doeloe merupakan tempat pertemuan masyarakat Belanda tingkat atas. Di sini mereka sering berdansa di lantai pualam diterangi oleh lampu-lampu kristal yang gemerlapan. Mereka menikmati makan tengah malam sambil meminum anggur impor dari Eropa di bawah sinar bulan purnama yang ditanami bunga warna-warni.

Di kanal Rijswijk dibatasi jalan Juanda (Noordwijk) dan Risjwijk (Jl Veteran) terdapat patung kecil Hermes bersayap. Menurut mitologi Yunani, Hermes adalah dewa perniagaan. Sementara kedua jalan tersebut pada masa Belanda merupakan pusat perniagaan. Lalu trem setelah melewati Istana Negara, berhenti di depan kantor pos Pasar Baru. Pasar Baru kala itu bersaing keras dengan Glodok. Kalau Anda berpakaian sedikit bagus, akan ditawari dolar, yang harganya di 'bllack market' itu jauh lebih tinggi dari kurs yang ditetapkan BI.

Neng - neng - neng. Dari Pasar Baru trem berbelok ke arah Lapangan Banteng. Pada 1950-an sudah ada niat pemerintah untuk membangun Masjid Istiqlal, yang menurut Bung Karno akan merupakan masjid termegah di Asia, kecuali Masjidil Haram. Masjid ini berdcampingan dengan gereja Kathedral, Menurut Bung Karno dan juga Pak Harto itu sebagai lambang kerukunan beragama di Indonesia.

Setelah menyusuri Pasar Senen yang ramai orang berbelanja, trem berhenti di depan Bioskop Grand yang tengah memutar film Giant, dengan bintang Elizabeth Taylor, Rock Hudson dan James Dean. Ketika berhenti di depan bioskop Rivoli, banyak penumpang turun untuk menonton film Awara yang dibintangi Raj Kapoor dan Nargis. Kemudian trem memasuki Matraman, Sejumlah ibu turun untuk bezoek ke CBZ (kini RSCM).

Sebelum sampai ke terminal Kampung Melayu, trem melewati Pasar Jatinegara dan Bukitduri. Sampai tahun 1970-an di Bukitduri terdapat penjara khusus wanita. Dulu di Bukitduri diuhuni warga keturunan Bali. Mereka adalah para penebang hutan. Untuk melindungi dari perampokan disekitar kediaman mereka yang sedikit berada di bukit diberi pagar berduri. Dari kata pagar berduri inilah lahir nama Kampung Bukit Duri hingga sekarang.


(Alwi Shahab)

No comments: