Saturday, October 21, 2006

Mandi Merang Nyambut Puasa

Jakarta tahun 1950-an masih penuh pepohonan. Tidak gersang seperti sekarang. Air sungai Ciliwung yang membelah kota Jakarta masih bersih. Demikian pula sejumlah sungai lainnya. Sungai-sungai itu masih dapat digunakan untuk mandi, mencuci, dan mengambil wudhu. Untuk itu dibangun banyak getek di kiri kanan sungai.

Ada sesuatu yang unik yang kini sudah tidak terdapat lagi di Jakarta. Ketika itu, sehari menjelang bulan suci Ramadhan, di sekitar getek-getek itu, para ibu, termasuk gadis-gadis, dengan berkemben melakukan siraman (mandi keramas) untuk membersihkan seluruh tubuhnya.

Acara siraman itu dengan menggunakan merang, yakni batang padi yang dibakar. Merang itu direndam kemudian dioleskan ke seluuruh tubuh, mulai dari tambut sampai mata kaki. Maklum, kala itu yang disebut shampo belum ada dan belum dikenal. Meskipun banyak juga yang rambutnya berketombe dan kutuan. Tapi nama ketombe juga belum menjadi perbendaharaan bahasa Indonesia.

Siraman dengan air merang bukan hanya dimaksudkan untuk membersihkamn badan, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah membersihkan hati. Kala itu, untuk mandi, sebagian masyarakat masih menggunakan sabun cuci. Sabun yang terkenal kala itu adalah sabun 'cap tangan'.

Kecuali Lifebouy, sabun-sabun mandi seperti Lux dan Camay, harus dibeli dari inang-inang yang berbelanja di Singapura. Waktu itu, untuk membeli barang-barang impor kita mendapatkannya dari para inang yang banyak berbelanja di Singapura. Atau, membeliunya di black market, seperti di Pasar Ular Tanjung Priok.

Kala itu, di bulan puasa (untuk menghormati yang sedang berpuasa), rakyat tidak berbuat sesuatu yang menyolok. Misalnya merokok atau makan minum di luar rumah, yang kini tanpa mengenal malu banyak dilakukan justru oleh mereka yang beragama Islam. Maklum, ketika itu -- khususnya di kampung-kampung warga Betawi -- tak ada warung makanan yang buka selama Ramadhan.

Kini, paling satu dua hari saja warung-warung makanan dan minuman tutup. Kalaupun ingin menghormati bulan puasa, paling-paling diberi semacam krei sebagai kamuflase seolah-olah tutup. Padahal, di dalamnya terjadi kegiatan, tanpa mengindahkan bulan Ramadhan.

Meskipun rakyat Jakarta, khususnya warga Betawi, menyigrakan untuk menyuguh tamu dengan makanan dan minuman. Tetapi bila orang datang bertamu di bulan Ramadhan, pada siang hari, tidak satu tetes air pun suguhan yang akan keluar. Meski air teh sekalipun. Begitu kentalnya rasa keagamaan rakyat Betawi, hingga sejak usia enam tahun mereka dianjurkan untuk berpuasa, sekalipun hanya setengah hari.

Kembali kutika rakyat Betawi menyambut puasa, sehari sebelumnya orang telah mulai bergumbira dengan memukul bedug sepanjang hari hingga magrib. Hanya berhenti sebentar dekat waktu dzuhur dan ashar. Para ibu memasak lebih enak dari hari-hari biasa.

Perkataan ''mencari dalam 11 bulan untuk satu bulan'' masih ada juga yang ditrapkan di Condet hingga kini, tulis Ran Ramelan dalam Condet Cagar Budaya Betawi. Artinya, sebelas bulan lalu orang berusaha sekuat tenaga, dan dalam bulan puasa ini orang bersenang-senang dengan hasil tadi.

Tapi, bagai orang-orang tua kata-kata di atas diartikan, ''Mencari 11 bulan buat satu bulan''. Bagi orang tua-tua, seperti saya alami sendiri ketika tahun 1950-an tinggal di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat. Setelah shalat tarawih, biasanya kami terus tadarusan membaca kitab suci Alquran hingga banyak yang tamat tiga kali dalam bulan itu. Mereka tinggal di masjid -- yang sekarang dikenal dengan istilah ihtikaf -- untuk beribadah, tahajud, dan berbagai amalan lainnya hingga subuh. Siangnya mereka tidur.

Kala itu, pada siang dan malam hari, dari rumah-rumah warga terdengar ayat-ayat suci Alquran dibacakan. Seperti H Muasim, seorang alim di Kwitang, benar-benar ingin memanfaatkan ibadahnya. Dia tidak mau menceritakan hal-hal yang buruk, misalnya menggunjing kejelekan orang lain, agar tidak mengurangi pahala puasa, seperti yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW.

Sementara, sebulan sebelum puasa, telah dibentuk suatu panitia 'andilan' atau 'arisan' sapi. Seperti yang terjadi di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, untuk mendapatkan satu kg daging sapi, tiap peserta membayar Rp 1.500 per minggu, selama 40 minggu. Ada yang ikut andilan untuk mendapatkan daging -- yang akan dibagikan 2 hari jelang lebaran -- 3-10 kg. Daging sapi diberikan pada saat-saat orang lagi memasak ketupat.

Ketika itu, harga sapi sekitar Rp 65 ribu per kg. "Kalau kemudian harga daging sapi naik, itu sudah resiko," ujar seorang pimpinan arisan. Hari memotong sapi itu sangat sibuk. Mereka menyebutnya, harian motong kerbo/sapi. Semuya daging dan kepalanya dibagi rata, disaksikan para anggota andilan. Hanya kulitnya tidak dibagikan untuk 'surat merah' -- surat izin memotong hewan. Tradisi ini masih berlangsung, terutama di daerah-daerah pinggiran Jakarta.

Kurang afdhol kalau kita tidak menceritakan kegiatan ibu-ibu memasak untuk keperluan buka dan sahur. Mereka biasanya membuat pacar cina< I> atau kolak, dan kolang kaling untuk tanda berbuka. Selesai shalat magrib dilanjutkan dengan makan nasi beserta lauk pauknya seperti sayur asem, sayur lodeh, kari, semur telor atau daging.


(Alwi Shahab )

No comments: