Saturday, October 21, 2006

Molenvliet (Jl Hayam Wuruk dan Jl Gajah Mada)

Pasti banyak yang tidak mengira bahwa jalan yang tampak begitu lengang, sepi dan asri seperti terlihat dalam foto ini, kini merupakan pusat kemacetan di Ibukota. Photografer Walter Woodbury mengabadikan kawasan Molenvliet pada tahun 1861-2. Molenvliet artinya molen (kincir) dan vliet (aliran). Karena dulunya di sini terdapat kincir angin meniru sistem pengairan di Belanda. Sampai tahun 1942, kawasan ini Molenvliet terdiri dari dua jalur: Molenvliet Oost (kini Jl Hayam Wuruk) dan Molenvliet West (Jl Gajah Mada). Kedua jalan ini dipisahkan oleh kanal dari Kali Ciliwung, yang dibuat oleh Phoa Beng Gan, kapten Cina kedua. Tembok pembatasnya terlihat di sebelah kanan foto. Begitu padatnya kedua jalan tersebut saat ini, sehingga kendaraan dari Senen menuju Jakarta Kota atau sebaliknya pada saat jam sibuk perlu waktu lebih dua jam.

Gambar ini diambil dari ujung Jalan Majapahit ke arah Harmoni. Rupanya jalan raya kala itu belum diberi aspal, hanya diperkeras. Seperti terlihat keberadaan rumah dan gedung yang cukup besar dan baik, kala itu Molenvliet merupakan kawasan elite orang Eropa dan Tionghoa kaya raya.

Terutama di abad ke-18 dan 19. Warga Belanda dan Eropa umumnya bekerja di sekitar kawasan Kalibesar yang merupakan pusat pertokoan, perkantoran, dan bisnis di Jakarta Kota. Mereka ke kantor pulang pergi naik trem. Ketika foto ini diabadikan trem belum nongol. Baru pada tahun 1869 trem merupakan angkutan yang paling banyak digandrungi, di samping bendi (delman). Tapi pada awalnya trem ditarik beberapa ekor kuda, yang dinamakan trem kuda. Baru pada 1822 muncul trem uap. Untuk kemudian digantikan trem listrik (1900). Trem listrik yang yang mengitari kota Jakarta saat itu, digusur pada tahun 1960. Karena biaya membongkar relnya cukup mahal, maka ditindih dengan aspal.

Banyak yang tidak tahu bahwa sungai di kedua jalan utama Jakarta ini, merupakan sungai buatan. Kapiten Phoa melakukannya dengan 'menyobek' Kali Ciliwung yang dialirkan kesana. Seperti diketahui Jan Piedterzoon Coen mendirikan Batavia di atas rawa-rawa. Hingga bila musim hujan daerah ini terendam dan airnya susah kering. Dan kota pun menjadi sarang nyamuk malaria. Dalam keadaan demikian, kapiten Cina ini merasa terpanggil. Apalagi korbannya banyak etnis Cina. Tidak terhitung banyaknya di antara mereka yang mati. Sementara VOC tidak bisa berbuat apa-apa, karena tidak memiliki uang.

Phoa mulai melakukan penggalian pada 1624 dari ujung Molenvliet, di depan Harmoni sekarang. Akibatnya adanya kanal buatan ini, daerah rawa di sekitarnya menjadi kering, sehingga nyamuk-nyamuk anopheles makin berkurang. Sedangkan hasil buminya dapat diangkut dengan perahu-perahu melalui kanal tersebut.

Di samping membangun kanal, kapiten Phoa juga membangun rumah sakit Cina dengan obat-obatan serba lengkap. Lokasinya sekarang di Jl Pejagalan, Jakarta Kota. Rumah sakit ini 'merana' akibat tersaingi oleh CBZ (kini RS Ciptgo Mangunkusumo). RS Cina kemudian dibongkar gemeenter (dewan kota) karena punya utang verponding selama puluhan tahun. Kemudian masayrakat Cina mendirikan rumah sakit 'Yang Sen Ie' yang kini bernama RS Husada di Mangga Besar. Di Kali Molenvliet sampai tahun 1950'an sering digelar berbagai atraksi. Seperti pesta perahu (pehcun) di malam hari, diiringi tanjidor dan tarian cokek. Di mana para siocia dan kongcu (nona dan pemuda) Cina saling ngibing atau joget istilah sekarang.


(Alwi Shahab)

No comments: