Saturday, October 21, 2006

106 Tahun Gambar Idoep

Bioskop pertama di dunia dibuka di Paris, ibukota Prancis, pada 28 Desember 1895. Pada waktu Indonesia masih bernama Hindia Belanda, pada 5 Desember 1900, diputar gambar idoep pertama di Batavia -- kini Jakarta -- yang diadakan oleh penjajah Belanda.

Saya sengaja menyebut bioskop dengan istilah gambar idoep. Soalnya, sampai 1950-an orang Betawi menyebut bioskop dengan gambar idoep. Dinamakan demikian, karena gambarnya bisa bergerak-gerak. Bioskop pertama di Jakarta terletak di Tanah Abang, Jakarta. Karena pergaulan yang belum bebas kala itu, tempat duduk laki-laki dan perempuan di pisah. Hingga bila pertunjukan usai, penonton saling berteriak memanggil pasangannya.

Pada tahun 1926, Indonesia sudah memproduksi film pertama. Judulnya Loetoeng Kasaroeng, sebuah legenda Jawa Barat. Film ini diproduksi oleh Java Film Co, milik seorang Belanda (L Heuveldrop). Ikut membintanginya, putra-putra Wiranatakusumah (bupati Bandung). Film Indonesia pertama ini diputar selama satu minggu di Bandung, dari 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927. Lutung Kasarungjuga diproduksi pada 1952 dan 1983.

Masih di masa kolonial, pada 1937 diproduksi film Terang Boelan, kisah romantis di pulau 'impian'. Film ini melahirkan pasangan romantis pertama, Roekiah (1917-1945) dan Rd Mochtar, yang amat laris pada 1938. Roekiah, bintang paling tenar pada 1940-an adalah ibu almarhum penyanyi dan aktor Rachmat Kartolo.

Seperti dituturkan pakar perfilman dan staf Sinematek Indonesia, SM Ardan, setelah proklamasi kemerdekaan, banyak seniman yang hijrah ke kota perjuangan Yogyakarta, mengikuti jejak Bung Karno dan Bung Hatta. Termasuk, Usmar Ismail (1921-1971) dan kawan-kawannya -- D Djajakusuma (1918-1987), Soerjosoemanto (1918-1971), Hamidy T Djamil (1919-1986), serta sejumlah aktor dan artis lainnya. Mereka adalah anggota rombongan sandiwara Seniman Merdeka yang melakukan pentas keliling dalam mengobarkan semangat untuk mempertahankan kemerdekaan.

Pada Desember 1949 pendudukan Belanda berakhir. Jakarta kembali jadi Ibukota RI. Sampai waktu itu belum satupun perusahaan film milik nasional yang muncul. Hampir seluruhnya produksi perusahaan film milik Belanda dan Cina. Usmar Ismail, seniman yang sejak muda berkecimpung di bidang seni teater, pada usia 29 tahun mendirikan Perfini, perusahaan film berlambang banteng. Syuting pertama produksi pertama Perfini, Darah dan Doa, sebuah film perjuangan, dilakukan pada 30 Maret 1950. Hari itulah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional, yang kini sudah berlangtsung 56 tahun.

Hari Film Nasional itu tidak pernah diakui oleh kelompok kiri/Lekra. Usmar, kelahiran Bukittinggi, 20 Maret 1921, pada tahun 1950-an memang telah menghasilkan film-film box-office. Bahkan, ia salah satu tokoh yang berhasil memasukkan film-film nasional di kelas satu, seperti Metgropole (Megaria), Menteng dan Garden Hall (keduanya sudah jadi pertokoan). Usmar menjadi sutradara, penulis dan produser, dengan film-filmnya, seperti Krisis (1953) diputar selama lima minggu di bioskop Metropole. Kemudian disusul dengan Tiga Dara, yang tidak kalah sukses.

Hampir bersamaan dengan Perfini, seorang tokoh perfilman mendirikan perusahaan film Persari (Persatuan Artis Indonesia) yang kini dilanjutkan oleh putrinya, Camelia Malik. Sebagai pengusaha yang lihay, Djamaluddin Malik lebih berjaya katimbang rekannya, Usmar. Tahun 1952, Persari sudah memiliki studio terbesar di Asia Tenggara, dan sudah melakukan produksi bersama dengan Filipina, film berjudul Rodrigo de Villa dan Leilana.

Bersama Usmar Ismail, Djamaluddin Malik dikenal sebagai dwitunggal perfilman nasional. Dari kedua orang inilah lahir gagasan besar untuk bidang perfilman. Sayang sekali Djamal pada 1957 menjadi tahanan politik sampai 1959. Dia ikut dalam Liga Demokrasi yang menentang upaya Presiden Soekarno untuk membubarkan DPR dan Konstituante hasil Pemilu 1955.

Selepas dari tahanan, Djamal terjun ke Partai NU. Bahkan menduduki salah seorang Ketua PB-NU. Masuknya Djamal menjadi tokoh penting di NU sebagai kekuatan agama dari poros Nasakom, tidak melenyapkan sentimen pihak kiri PKI dengan Lekra-nya untuk menyerang tokoh perfilman nasional ini. Dan, serangan kelompok kiri secara bertubi-tubi ditujukan kepada Usmar, tanpa memperdulikan prestasinya di dunia internasional. Filmnya, Pejoang (1960) berhasil meraih penghargaan dari Festrival Film Internasional Moskow (1961) untuk peran utama (Bambang Hermanto). Bambang Hermanto, sekembalinya, dari Moskow dielu-elukan ribuan kelompok kiri yang menyambutnya di Bandara Kemayoran.

Sementara, sang produser dan sutradaranya, Usman Ismail, justru tambah dikecam. Dengan begitu Usmar semakin dekat dengan Djamal, yang tokoh NU. Ketika serangan menjadi tambah berbahaya, ia bersama Asrul Sani membidani lahirnya Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dalam tubuh NU. Dan, ketika PKI dan golongan kiri membentuk Aksi Pemboikotan Film-film Imperialis AS (Papfias) mereka tidak mengakui 30 Juni 1950 sebagai Hari Film Nasional. Tapi menuntut 30 April 1964 sebagai Hari Film Nasional, saat berdirinya Papfias.

(Alwi Shahab)

No comments: