Jakarta yang telah berusia lima abad memiliki ratusan nama tempat dan kampung. Berdasarkan kajian arsip, wawancara dengan tokoh masyarakat dan narasumber ternyata penyebutan nama tempat dan kampung itu tidak hanya sekedar nama. Tapi punya riwayat sendiri-sendiri, yang usianya juga sudah ratusan tahun. Seperti nama tempat yang memakai kata 'bukit'. Misalnya Bukit Duri, Bukit Duri Tanjakan, dan Tanah Abang Bukit. Namun, sekarang bekas bukit-bukit itu sudah tak terlihat lagi. Hanya saja, kalau kita bersepeda terasa jalannya menanjak.
Di Jakarta yang berpenduduk lebih 10 juta jiwa juga banyak tempat yang berawal dari kata bulak. Misalnya saja Bulak Rante di Jakarta Timur. Di Jatiwaringin ada Bulak Cabe dan Bulak Sempir. Bulak Temu di Teluk Pucung, Bekasi. Lalu apa arti bulak? Bulak adalah tanah kebun yang dikelilingi sumber air. Maklum di zaman baheula Jakarta juga banyak memiliki resapan air. Kini sumber-sumber air itu sudah 'almarhum'. Bahkan puluhan situ atau rawa juga hilang akibat 'kejahilan'manusia. Banyak sekali nama yang dimulai kata rawa.
Sekarang ini Kebayoran Baru merupakan kawasan elit. Kemacetan terjadi hampir di semua jalan. Mungkin banyak yang tidak tahu, bahwa Kebayoran berasal dari kata kabayuran. Artinya tempat penimbunan kayu bayur, yang sangat baik dijadikan kayu bangunan karena kekuatannya serta tahan terhadap serangan rayap. Bukan hanya kayu bayur yang biasa ditimbun di kawasan itu pada jaman dulu. Tapi juga berbagai jenis kayu lainnya. Kayu-kaayu gelondongan yang dihasilkan kawasan tersebut dan sekitarnya dianbgkut ke Batavia melalui Kali Krukut dan Kali Grogol, dengan cara dihanyutkan. Maklum kedua sungai itu di masa lalu cukup lebar dan dalam.
Sekitar tahun 1938 di kawasan Kebayoran sempat direncanakan akan dibangun sebuah lapangan terbang internasional, namun batal karena pecah perang dunia kedua (1942-1945). Dan di tempat yang akan dibangun bandara internasional itu lantas dibangun kota satelit Kebayoran Baru (1949). Kala itu arealnya hanya seluas 730 ha yang menurut rencana hanya akan dihuni 100 ribu jiwa. Sekarang ini, dari sekitar 10 juta penduduk Jakarta, beberapa juta tinggal di Kebayoran. Hanya setahun setelah kota satelit dibangun, HAMKA, ulama yang dekat dengan rakyat kecil, membangun Masjid Al-Azhar. Masjid terbesar di Jakarta kala itu sebelum dibangun Istiqlal (Kemerdekaan).
Pengarang FDJ Pangemanann di bukunya menyebutkan bahwa pada abad ke-19 Kebayoran masih berupa hutan belukar. Belum terdapat desa-desa. Hingga Kebayoran dijadikan sebagai tempat pelarian para perampok dan penjahat dari kejaran Kompeni. Menurut Pangemanann, suatu tempat yang bernama Bukit Kebayoran, dijadikan tempat pelarian para penjahat.
Dari Kebayoran kalau kita menuju Tanah Abang melewati Karet Tengsin. Kampung ini sekarang sudah hilang akibat modernisasi kota megapolitan. Nama ini berasal dari nama seorang Cina, Tan Teng Sien. Karena baik hati dan banyak memberi bantuan pada masyarakat, maka Ten Sien cepat dikenal. Di daerahnya ketika itu banyak tumbuh pohon karet. Dan, dinamakan Kampung Karet Tengsin.
Di Karet Tengsin sampai 1960-an banyak berdiri industri batik. Ribuan orang yang terlibat di sekitarnya mendapat tambahan penghasilan sebagai pembatik. Terutama, warga dari daerah Senayan, sebelum dijadikan Gelanggang Olahraga Bung Karno (1962).
Dari Karet Tengsin kita melompat agak jauh ke Kebon Sirih, Jakarta Pusat, yang dibangun awal abad ke-19 sebagai garis pertahanan Van den Bosch. Dari namanya sudah dapat diperkirakan, kawasan itu dahulu merupakan kebun sirih. Sampai awal 1960-an, sirih sangat digemari banyak orang untuk dikunyah-kunyah. Istilahnya makan sirih. Kelengkapannya antara lain adalah kapur (sirih), pinang dan gambir.
Dulu, para nyonya kelas atas umumnya menggemari makan sirih. Karena itu, kalau mereka bepergian disertai empat atau lima orang budaknya yang khusus menyediakan tempat sirih, tempolong (tempat meludah sirih), dan budak yang memayunginya.
Karena kesejukannya, pada pertengahan abad ke-19, Kebon Sirih oleh Belanda dijuluki de nieuwe weg achter het Koningspllein. Atau alam baru di belakang Istana Raja (kini Istana Merdeka). Kemudian, karena di sana tinggal seorang hartawan yang dermawan bernama KF Holle, maka di dekat Kebon Sirih yang kini bernama Jl Sabang disebut Laan Holle.
Sekarang kita makin melompat ke kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Sampai 1950-an, kami dari Jakarta Pusat menyebutnya sebagai tempat 'jin buang anak' karena saking terpencilnya. Nama kawasan tersebut diambil dari kontur tanah dan fauna. Lebak berarti 'lembah', dan bulus adalah 'kura-kura yang hidup di darat dan air tawar'. Jadi dapat disamakan dengan 'lembah kura-kura'.
Dari Lebak Bulus kita menuju ke Petamburan, Jakarta Pusat. Pada masa lalu, ketika rumah penduduk masih jarang, banyak ditumbuhi pohon jati. Suatu waktu terjadi peristiwa yang menjadi cikal bakal nama tempat ini. Yakni, meninggalnya seorang penaruh tambur daerah ini dan dimakamkan di bawah pohon jati, sehingga jadilah Jati Petambutan.
Pada awal abad ke-20 perusahaan pelayanan KPM yang memiliki ratusan armada kapal untuk domestik dan mancanegara membangun sebuah rumah sakit di sini. Karena pada 1950-an KPM dinasionalisasi menjadi Pelni, kini rumah sakit itu terkenal dengan RS Pelni.
(Alwi Shahab )
Saturday, October 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment