Di Jakarta sejak masa Batavia banyak nama kampung, jalan dan gedung berdasarkan nama tokoh masyarakat setempat. Atau setidak-tidaknya punya kaitan dengan peristiwa yang pernah terjadi di tempat itu. Baiklah kita mulai dari kota tua yang kini disebut Jakarta Kota. Di sebelah utara Kantor Pos Jakarta Kota kini terdapat Jalan Cengkeh. Padahal di masa awal kolonial jalan ini bernama Princenstraat. Rupanya untuk menghormati pangeran dari Belanda.
Di tempat itu dulu Belanda membangun parit, terusan atau kanal yang diberi nama Tijgergrach atau 'Parit Macan'. Bersebelahan dengan Kalibesar Timur yang kala itu disebut Groenestraad, dan merupakan kawasan paling elite di Batavia, hingga pernah dinamakan Ratu dari Timur.
Tetapi akibat sering munculnya wabah penyakit karena banyaknya kanal atau parit tertimbun dan sarang nyamuk, gubernur jenderal Daendels diperintahkan untuk memindahkan ibukota dari Batavia ke Surabaya atau Semarang. Tapi dia memilih ke Weltevreden (sekitar Gambir dan Lapangan Banteng) yang lebih sejuk.
Pada tahun 1726 Valentijn melukiskan keindahan Tijgergracht dan Princenstraat yang dikatakan, "Punya gedung-gedung indah yang serupa bagian kota yang paling indah. Keindahan parit lurus berpagar tanaman rapi melebihi segala-galanya yang pernah saya saksikan di Holland. Meskipun di sepanjang Hederrengrac ht di Amsterdam atau di tempat-tempat lain bisa dijumpai istana-istana yang lebih indah dan parit-parit yang lebih lebar, tetapi semuanya tidak menyamai kenikmatan, kepuasan dan keindahan pemandangan yang dihamparkan di depan mata oleh parit dan lain-lain di Batavia."
Sebelumnya, ketika gubernur jenderal membangunan Batavia (1619) dia banyak mendatangkan etnis Tionghoa yang dianggapnya rajin dan gigih dalam bekerja. Kemudian etnis ini, yang jumlahnya makin bertambah besar menyebar ke mana-mana, terutama setelah peristiwa pemberontakan 1740.
Karena itu, kawasan Pasar Senen -- yang dibangun 30 Agustus 1735 oleh Yustinus Vinck -- sampai 1960-an banyak tempat dan toko yang menggunakan nama Cina. Di Senen Raya III terdapat sebuah toko bernama Lauw Tjin. Dulu toko tersebut menjual barang-barang kelontong dari kulit yang kualitasnya tidak kalah denganb barang impor.
Di pasar yang dibangun bersamaan dengan pasar Tanah Abang itu dulu juga terdapat Gang Tjap Go Keng karena di sini terdapat rumah dengan 15 buah pintu. Penghuninya orang-orang Cina perantauan. Di dekatnya terdapat Gang Topekong, karena ditempat ini terdapat biara. Topekong biasanya diarak keliling diikuti ribuan orang saat Capgomeh atawa malam ke-15 tahun baru Cina. Juga terdapat Gang Wang Seng, untuk mengabadikan nama seorang letnan Cina. Di Jl Senen Raya 166 dulu terdapat Hotel Tien Euw yang kini jadi Kantor Pembangunan Sarana Jaya.
Di depan Pasar Senen terdapat Jalan Kwitang. Konon, nama ini berasal nama orang Cina kaya raya: Kwik Tang Kiam. Ia merupakan tuan tanah yang kaya raya, dan hampir semua tanah di sini merupakan miliknya. Kwik Tang memiliki seorang anak tunggal yang suka berjudi dan mabuk-mabukan. Karena sifat anaknya ini Kwik Tang meninggal dunia, sementara tanah yang luasnya bejibun dibeli saudagar Arab dari marga Alkaff. Dia adalah warga negara Singapura.
Saat Melayu (kini Malaysia) berdiri, di kediaman Alkaff, Jl Kwitang Raya, diadakan upacara yang dihadiri para pejabat tiggi Indonesia. Ketika terjadi konfrontasi RI - Malaysia, rumah-rumah yang menjadi milik Alkaff diambil alih. Kini generasi ketiga keluarga Alkaff tinggal di Singapura dan membangun sebuah masjid dan kegiatan keagamaan.
Ada beberapa adat dan kebiasaan warga Betawi. Seperti saat wanita hamil pertama adalah masa yang paling mendebarkan bagi seorang perempuan karena pengalaman dalam melahirkan baru akan terjadi pertama kali. Apa saja yang dianjurkan oleh orang lain harus dilaksanakan meskipun anjuran itu tidak rasional. Seperti, menggantung gunting kecil serta ramuan seperti bumbu dapur yang di simpan di dada.
Ada juga pantangan-pantangan yang memang menimbulkan akibat kalau tidak dilaksanakan. Seperti, dilarang membunuh binatang, mencela orang cacat dan berbagai pantangan lainnya. Maksudnya agar si bayi lahir dalam keadaan selamat tanpa cacat.
Yang sampai kini masih dilaksanakan secara luas adalah bagi calon ibu yang pertamakali hamil diselenggarakan upacara nuju bulan. Biasanya dihidangkan rujak yang terdiri dari berbagai macam buah-buahan. Sebelumnya didahului upacara mandi air kembang tujuh rupa. Di sini yang sangat berperan adalah dukun.
Pada waktu sang ibu melahirkan, biasanya ari-ari bayi sebelum dikuburkan oleh ayahnya terlebih dulu diberi ramuan kembang tujuh rupa. Si bayi yang lahir diadzani di telinga kanan dan diqomati di telinga kiri. Satu minggu kemudian diadakan sedekahan puputan, dan pemberian nama. Kalau mampu mereka melaksanakan akikah: untuk bayi laki-laki harus memotong dua ekor dan bayi perempuan seekor kambing.
Setelah bayi berusia 40 hari diadakan selamatan yang disebut upacara "bebersih". Selamatan bebersih ini dimaksudkan untuk saling memaafkan dari pihak keluarga yang melahirkan -- terutama wanita yang melahirkan -- kepada dukun beranak (peraji) yang telah menolong waktu melahirkan dan merawatnya selama 40 hari. Sebagai penghormatan, peraji disuruh memberikan nama kepada bayi tersebut. Sesudah itu ada upacara 'nginjak tanah'.
(Alwi Shahab)
Saturday, October 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment