Saturday, October 21, 2006

Senen 1956 yang Semrawut

Inilah Prapatan Senen 1956. Kala itu belum muncul lampu lalu lintas seperti sekarang ini. Lihatlah polisi lalu lintas (polantas) yang harus rela berjampjam menggerakkan kedua tangannya untuk mengatur kendaraan. Anggota Polantas ini berdiri di tempat yang ditinggikan dan iberi semen.

Rupanya sejak 50 tahun lalu, disiplin orang Jakarta berlalu lintas sangat parah. Seperti juga sekarang yang tanpa mengenal malu melakukan pelanggaran lalu lintas, hal yang sama juga terjadi pada masa itu. Lihatlah bagaimana becak seenaknya menyerobot kendaraan di jalan protokol. Di hadapan polantas masih tampak gedung-gedung atau toko-toko tua yang sebagian besar milik warga Tionghoa. Sekarang ini sudah dibongkar dan menjadi Atrium Senen, yang merupakan pusat perdagangan modern. Sedangkan diseberang kiri merupakan Pasar Senen, yang kini menjadi pertokoan.

Setelah penyerahan kedaulatan tahun 1950, penduduk Jakarta melonjak dengan tajam. Soalnya ketika Bung Karno, Bung Hatta dan para pemerintahan dipindahkan ke Yogyakarta (Januari 1946), penduduk Kota Gudek yang kini tengah mengalami musibah gempa, melonjak dari 170 ribu jiwa menjadi 600 ribu jiwa. Setelah penyerahan kedaulatan, mereka kembali ke Jakarta. Di samping mereka yang 'hijrah' ke Yogya, berbagai masyarakat di daerah-daerah juga ngendon ke Jakarta. Apalagi dengan dibangunnya banyak departemen.

Tampak beberapa mobil buatan Amerika dan Eropa, seperti merk Chevrolet, Buick, Oplet, Austin, Morris dan Fiat. Nama Oplet dari kata Opel sampai tahun 1970-an merupakan angkutan penumpang utama di Jakarta. Seperti juga mikrolet, para penumpang duduk saling berhadapan.

Kendaraan Oplet kemudian digantikan dengan Austin juga buatan Eropa. Sekalipun sudah digantikan Austin, tapi nama Oplet lebih populer. "Naik Oplet, bukan naik ostin sebutan orang-orang ketika itu," Kini baik nama Oplet maupun ostin sudah tidak terdengar lagi sejak beroperasinya mikrolet awal 1970-an. Salah satu toko paling terkenal di Pasar Senen ketika itu adalah toko Baba Gemuk. Dinamakan demikian karena si 'baba' berperawakan gemuk.

Di Pasar Senen (dalam foto terlihat di arah kanan), kala itu ada Rumah Makan Padang 'Merapi'. Kita perlu mengangkat rumah makan ini, sekarang jadi jalan arteri, karena di sinilah tempat para seniman Senen ngumpul di malam hari. Rumah makan padang ini letaknya di Kramat Bunder berdekatan dengan bioskop Grand (kini Kramat).

Dewasa ini, Seniman Senen yang biasanya nongkrong sambil membicarakan sandiwara dan film tinggal SM Ardan, Misbach Yusa Biran, Ayip Rosidi dan Harmoko. Di antara yang telah meninggal adalah Wahyu Sihombing, Soekarno M Noer dan adiknya Ismed M Noer, Syuman Jaya, dan Wahid Chan yang digelari 'camar' seniman Senen. Acara diskusi dan omong-omong dimulai sekitar pukul 22.00 WIB dan makin malam makin ramai hingga jelang shubuh.

Seperti dikemukakan SM Ardan, ketika itu hampir tidak ada membicarakan masalah politik. Karena antara kelompok kiri dan kanan tidak ada masalah kala itu. Karena tidak ada yang mempertentangkan ideologi. Baru pada 1960-an, para seniman PKI dengan Lekranya mulai mempengaruhi para seniman, termasuk seniman Senen untuk masuk dalam kelompok mereka.

(Alwi Shahab, wartawan Republika)

No comments: