Foto ini diabadikan tahun 1950-an, hanya beberapa bulan setelah penyerahan kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Lihatlah kawasan Pancoran Jakarta Kota ketika itu.
Seluruh gedung dan toko dengan gaya di negeri leluhur mereka. Kala itu, becak sudah menggantikan sado atau delman, yang jumlahnya sudah tidak banyak lagi. Mobil hanya terlihat beberapa buah, di kiri dan kanan jalan yang di tengah-tengahnya diapit oleh Kali Krukut (Toko Tiga).
Terlihat seorang bocah yang hanya menggunakan celana pendek tanpa baju, dan bertelanjang kaki. Kala itu murid-murid sekolah khususnya sekolah rakyat (kini sekolah dasar), masih bertelanjang kaki. Kala itu belum ada pakaian seragam seperti sekarang.
Seorang kuli yang tengah menenteng air hanya memakai sepatu terbuat dari bagian luar ban mobil. Kala itu, bakiak merupakan alas kaki yang digunakan sehari-hari, terutama saat ke tempat-tempat ibadah. Sungai Krukut dan sungai-sungai lainnya di Jakarta saat itu juga mulai tercemar dan warnanya kecoklatan karena bercampur lumpur.
Konon, pada abad ke-19 seorang putera kapitan Tionghoa, Oey Tambah Sia, seorang playboy yang tinggal di Jalan Toko Tiga, sering membuang hajat di sungai ini. Tiap pagi saat si playboy berwajah tampan ini buang hajat banyak orang dengan sabar menunggunya. Karena saat ia cebok (membersihkan duburnya setelah buang air besar), ia menggunakan uang kertas yang kemudian dibuangnya ke sungai. Si pemuda kaya raya akibat warisan orang tuanya ini amat senang hatinya, saat melihat belasan orang saling rebutan untuk mendapatkan uang kertas bekas membersihkan kotorannya.
Dikisahkan sampai sering ada yang luka parah akibat rebutan rezeki nomplok ini. Di Jakarta ada dua tempat bernama Pancoran. Satu di Kota seperti terlihat di foto, satu lagi di dekat Kalibata. Kedua tempat tersebut punya riwayat berbeda. Pancoran yang di Jakarta Kota berkaitan dengan pelabuhan Sunda Kelapa. Di lapangan Glodok tempat Pancoran berada dulu ada sumber air. Penduduk menyebutnya pancoran. Air ini disuling agar bersih. Sarana penyulingan itu disebut penyaringan. Dari situlah muncul nama tempat Pancoran dan Penyaringan. Karena kekeliruan ejaan maka Penyaringan kini menjadi Penjaringan.
Ketika Kota Batavia selesai didirikan, gubernur jenderal Jan Pieterzon Coen mengisi kota ini dengan penduduk Cina. Mereka umumnya didatangkan dari Cina Selatan (Hokkian), di samping mendatangkan orang Belanda. Tapi JP Coen lebih menyenangi orang Tionghoa yang dianggap rajin dan sangat gigih dalam mencari uang.
Sedangkan orang Belanda dianggap pemalas dan suka berfoya-foya. Untuk itu dia banyak mendatangkan para budak. Terbanyak dari Bali. Di samping dari Asia Selatan. Pernah budak menjadi penduduk paling banyak di Batavia. Nasib mereka sangat menyedihkan dan tidak mendapat perlindungan hukum samasekali. Perbudakan baru dihapuskan pada 1860.
(Alwi Shahab)
Saturday, October 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment