Inilah Jl Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, di masa kolonial Belanda. Terletak di pinggiran kawasan elite Menteng, Jalan Latuharhari merupakan salah satu jalan utama yang menghubungkan Menteng dengan Manggarai, dan Menteng, Jalan Thamrin - Kuningan. Tidak heran kalau kemacetan lalu lintas di sini tidak ketolongan lagi. Padahal sampai awal 1970-an kendaraan dapat leluasa melewatinya. Kini jalan ini dilewati kereta api api KRL yang menghubungkan Bogor-Depok-Tanah Abang.
Dalam masa perkembangan Kota Jakarta sebelum tahun 1945, daerah Menteng dapat disebut daerah muda karena baru dibangun sekitar tahun 1930-an. Ketika banyaknya modal asing yang masuk ke Indonesia, khususnya dari Belanda dan negara-negara barat. Untuk itu perlu dibangun perumahan di Menteng, yang ketika itu penduduknya warga asli Betawi. Tanah untuk pembangunan Menteng dibebaskan pada 1920. Sedangkan pembangunan fisik 10 tahun kemudian dilaksanakan oleh NV de Bouwploeg yang kini menjadi Masjid Cut Mutiah. Sayangnya nama Bouwploeg yang dulu menjadi nama jalan di sini diganti menjadi Jl RP Soeroso. Untungnya nama Boplo diabadikan untuk nama stasiun kereta api di Menteng.
Di seberang Jl Latuharhari terdapat Jl Halimun. Di sini, sampai tahun 1960-an merupakan daerah pelacuran kelas menengah ke bawah. Ratusan pelacur bermukim di sini mencari mangsa. Untuk itu dibangun ratusan rumah dari papan berderet-deret, di tengah-tengah hiburan dangdut hingga jauh malam. Sementara pedagang-pedagang menjajakan dagangannya di meja-meja kecil, dengan penerangan lampu semprong yang di ujungnya diberi warna merah. Sementara di pinggir rel kereta api yang merupakan sebuah taman, kini terdapat rumah-rumah gubuk, yang juga melakukan kegiatan prostitusi.
Pihak aparat keamanan yang dipusingkan oleh penghuni liar yang mengotori dan merusak pemandangan kawasan elite Menteng, kadang-kadang merazia mereka. Sekalipun keberadaan mereka sulit disingkirkan. Padahal di zaman kolonial Belanda ada ketentuan, 30 meter kiri kanan jalan kereta api merupakan milik perusahaan kereta api. Kala itu tidak ada yang berani membangun rumah, bahkan perkampungan seperti terjadi sekarang ini. Nasib yang sama juga dialami oleh bantaran sungai, yang berakibat seringkali terjadi banjir. Para keluarga yang tinggal di dekat Jl Latuharhari mengeluhkan juga keberadaan waria, yang banyak mangkal di sekitarnya. Dalam mencari mangsanya ini, pihak waria rupanya tidak mengenal waktu. Mereka beroperasi tidak tanggung-tanggung. Dari malam hingga beduk subuh baru bubaran.
Banyaknya waria yang beroperasi di sekitar Jl Latuharhari dan daerah Menteng lainnya cukup meresahkan penghuni rumah sekitarnya. Soalnya, seringkali para waria yang berdandan medok dengan seenaknya mengganggu para tamu yang berkunjung ke kediaman mereka. Yang paling menyakitkan, warga yang tinggal di sini tidak luput dari gangguan waria. "Masa kami kalau hendak masuk dan keluar rumah pada malam hari tidak lupa dari colekan waria," kata seorang penghuni. Ketika diadakan operasi terhadap mereka sekitar 1980-an, banyak para wanita yang lari tunggang-langgang. Ada yang sampai nyebur ke kali Malang untuk menghindar tangkapan aparat. Ada di antara mereka, mungkin karena tidak bisa berenang kemudian mati tenggelam.
(Alwi Shahab)
Saturday, October 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment