"Tuh, itu die tuh rumenye," kata Ibu Amsiah, 80 tahun, sambil menunjuk sebuah rumah petak tua di Jalan Kembang IV/97, Kwitang, Jakarta Pusat. Rumah tua yang ditunjuknya itu tampak sederhana, sebagian dindingnya terbuat dari papan. "Ditempat inilah Bang Maing main musik," kata nenek kelahiran Kwitang itu.
Bu Amsiah adalah misan komponis legendaris kelahiran Kwitang, Ismail Marzuki. Karena orang tua Bu Amsiah saudara kandung Pak Marzuki, ayah Ismail Marzuki. Dulu di depan rumah yang berdekatan dengan Majelis Taklim Habib Ali Kwitang itu terdapat teras. "Di teras inilah Ismail Marzuki memainkan musik dan mencipta lagu," kata Haji Amir (60), keponakan Ibu Amsiah.
Tahun-tahun lalu tiap 25 Mei, hari wafatnya komponis yang telah mencipta lebih dari 200 lagu itu, selalu diperingati. Tapi tahun ini tidak ada upacara-upacara untuk memperingati kematiannnya yang telah 48 tahun.
Ismail Marzuki, yang lagu-lagunya hingga kini tetap lestari, lahir di Kwitang, 11 Mei 1914, dan wafat di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat, 25 Mei 1958.
Tidak diragukan lagi, pahlawan nasional ini, melalui lagu-lagunya, telah menggelorakan semangat perjuangan saat bangsa Indonesia tengah mempertahankan kemerdekaannya pada revolusi fisik (1945-1949). Seperti lagu-lagu Halo-halo Bandung, Rayuan Pulau Kelapa, Sepasang Mata Boladan Bandung Selatan, yang menceritakan semangat patriotisme bangsa saat menghadapi penjajah Belanda.
Dan, Ismail menunjukkan satunya kata dengan perbuatan. Dalam suasana yang begitu sulit, dia menolak kerjasama di NIROM radio Belanda yang setelah kemerdekaan jadi RRI. Meskipun untuk itu, istrinya, Eulis Zuraidah, yang juga seorang seniman dan penyanyi, harus berjualan gado-gado. Mojang Priangan ini, yang pada masa mudanya berwajah jelita ini, di usia tua harus hidup dan mati dalam keadaan merana di rumah kontrakannya di Sawangan, Bogor.
Bangsa Indonesia memang kurang menghargai pahlawannya. Padahal, Bung Karno pernah mengatakan, "Hanya bangsa yang besar yang menghargai pahlawannya."
Ismail Marzuki adalah seniman yang memiliki reputasi internasinal. Tapi belum ada satu pun nama jalan yang mengabadikan namanya. Pernah ada usulan agar Jalan Cikini atau Jl Parapatan diubah jadi Jl Ismail Marzuki.
Tapi usul yang dapat dukungan dari Bamus Betawi yang dipimpin Wagub Fauzi Bowo itu tidak terdengar lagi gaungnya. Demikian pula belum ada patung besar Ismail Marzuki yang rencananya akan di tempatkan di depan TIM. Untungnya gubernur Ali Sadikin membangun Taman Ismail Marzuki (TIM). Tapi bila kita naik taksi atau bajaj, lebih dikenal dengan sebutan kependekatannya TIM, katimbang Taman Ismail Marzuki.
Tokoh lain, Usmar Ismail, dikenal sebagai tokoh perfilman nasional. Dengan produksi film melalui Perfini yang berlogo banteng, Usmar menjadi tokoh perfilman yang berhasil mengangkat film-film produksi nasional ke bioskop-bioskop kelas satu, yang kala itu dikuasai oleh AMPAI (Asosiasi Pengusaha Film Amerika Serikat).
Dengan keberanian, dan juga karena mutu filmnya, Usmar Ismail berhasil merebut hati penonton ketika film produksinya, Krisis, diputar selama lima minggu di Metropole (Megaria). Padahal bioskop kelas satu di Cikini, Jakarta Pusat, ini sebelumnya hanya memutar film-film produksi Metro Goldwyn Mayer (MGM).
Film Krisismenggambarkan kesulitan perumahan di Jakarta pada tahun 1950-an. Ketika satu rumah ditempati tiga atau lebih keluarga, yang biasa ketika itu. Ini terjadi setelah pada revolusi fisik (1945-1950) penduduk Jakarta hijrah ke kota perjuangan Yogyakarta. Setelah penyerahan kedaulatan RI kembali, ditambah dengan banyaknya pendatang baru, Jakarta jadi padat. Sementara departemen-departemen menerima tenaga kerja dalam jumlah. Maka terjadilah 'krisis perumahan' -- saling rebutan untuk mandi, mencuci dan buang air besar.
SM Ardan, anggota Sinematek Indonesia, mengusulkan agar di depan Pusat Perfilman Usmar Ismail di Kuningan, Jakarta Pusat, dibangun patung almarhum. Maksudnya supaya generasi mendatang tidak melupakan tokoh yang syuting film perdananya, Darah dan Doa, 30 Maret 1950, ditetapkan sebagai Hari Film Nasional. Kalau Benyamin dan Ismail Marzuki sudah memiliki buku biografi, tidak demikian halnya dengan Usmar. Sampai saat ini tidak ada satu penulispun yang menyusun biografinya. Tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional pun baru ditetapkan pada masa pemerintahan Habibie, tahun 1999, setelah lama diperjuangkan.
Dalam memberikan penghargaan kepada senimannya, kita boleh mengacungkan jempol kepada pemerintah Malaysia. Negeri jiran ini memberikan penghargaan yang tinggi pada aktor legendarisnya, P Ramlee. Antara lain dengan memberikan gelar bangsawan Tan Sri, pada aktor kelahiran Pulau Penang pada 22 Maret 1929 itu.
P Ramlee meninggal mendadak pada 29 Mei 1973 dalam usia 45 tahun di Kuala Lumpur. Rumah tempat dia dilahirkan setelah dilestarikan diberi nama rumah P Ramlee. Kita memang juga masih dapat menjumpai rumah almarhum Ismail Marzuki di Kwitang, tapi kini terbengkalai.
Nama P Ramlee juga diabadikan untuk nama jalan, dan barang-barang peninggalannya masih kita dapati di Pustaka Peringatan P Ramlee. Juga terdapat sebuah mobil merek Datsun miliknya, dan rokok Lucky Strike kegemarannya. Agaknya dalam memberikan penghargaan kepada para seniman kita perlu meniru Malaysia.
(Alwi Shahab)
Saturday, October 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment