Friday, July 11, 2008

Jakarta 50 Tahun Lalu

Pada tahun 1950-an, sekitar 50 tahun lalu, Jakarta sudah mulai padat penduduk. Kota yang sebelum perang dunia ke-II (1942) hanya berpenduduk setengah juta jiwa, tidak sampai satu dasawarsa kemudian penduduknya telah naik dua kali lipat menjadi lebih satu juta jiwa, dengan fasilitas yang sangat rusak.

Ketika gubernur DKI Ali Sadikin bertemu dengan walikota Amsterdam awal 1970-n, sang walikota mengatakan tidak habis pikir soal laju penduduk Jakarta yang demikian pesat. Waktu itu (1942), penduduk Amsterdam berjumlah 800 ribu jiwa, jauh lebih banyak dari penduduk Batavia. Dia sangat heran ketika mendapat keterangan bahwa penduduk Jakarta telah mencapai 3,5 juta jiwa (awal 1970-an). Sementara penduduk Amsterdam tidak beranjak jauh dari angka tahun 1942, sekitar 800 ribu jiwa.

Kini, Jakarta yang tiap tahun kebanjiran dan macet, ditambah dengan jalan yang rusak di mana-mana, sudah berpenduduk sekitar 10 juta jiwa. Sementara, pada hari kerja jutaan orang dari berbagai daerah Jabodetabek berbondong-bondong memasuki kota ini untuk meraih rezeki.

Pada tahun 1950-an, trem listrik menjadi alat angkutan utama yang menggelinding ke semua jurusan di ibukota. Sementara, banyak penumpang yang merasa negaranya sudah merdeka tidak mau membeli karcis. Mereka seenaknya menjawab 'numpang' atau berusaha menghindar dari kondektor -- sekarang juga masih dilakukan oleh banyak penumpang KRL.

Tidak heran, setelah angkutan umum diambil alih oleh PPD (Perusahaan Pengangkutan Djakarta), perusahaan daerah ini rugi terus. Hal serupa tidak terjadi pada zaman Batavia, di bawah Belanda.

Kebayoran Baru, yang merupakan kota satelit di bagian selatan Jakarta, baru saja dibangun dan pada tahun 1950-an sebagian masih dalam tahap penyelesaian. Pembangunan Kebayoran Baru dilakukan oleh perusahaan Belanda, CSW, yang berkantor di dekat gedung Kejaksaan Agung. Sampai kini sebagian kondektur bus masih hafat kalau kita minta berhenti di CSW.

Pembangunan kota satelit itu dimaksudkan untuk perluasan kota ke arah selatan. Pada awal 1950-an masih banyak ditempati oleh para pegawai negeri, yang berdatangan dari Yogyakarta setelah penyerahan kedaulatan RI (Desember 1949).

Senayan, yang berdekatan dengan Kebayoran Baru, mulai dibangun awal 1960-an, tidak lama setelah Indonesia terpilih menjadi penyelenggara Asian Games IV di Jakarta (Agustus 1962). Di Senayan Bung Karno membangun kompleks olahraga yang saat itu merupakan stadion utama terbesar di dunia.

Ribuan KK penduduk asli Betawi dipindahkan ke Tebet, saat dibangun Senayan. Sebagian penduduknya saat itu berjualan ketupat sayur keliling kota. Ketuapat sayur Senayan kala itu terkenal dengan semur tahu dan sayur godok dari pepaya dan kacang panjang. Sebagian lagi menjadi perajin batik rumahan. Sampai kini masih kita dapati gedung Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) dan Patal Senayan.

Dalam Asian Games IV rakyat Indonesia merasa sukses karena tim Indonesia menduduki urutan kedua setelah Jepang dengan meraih belasan medali emas. Tapi, pesta olahraga se-Asia itu diprotes oleh Komite Olimpiade Internasional, karena tidak mengundang Israel dan Taiwan. Bahkan, Asian Games IV tidak diakui oleh Komite Olimpiade Internasional.

Protes itu dinyatakan oleh Sondhi -- seorang India yang menjadi pengurus Komite Olimpiade Internasional. Bagi Bung Karno, olahraga tidak dapat dipisahkan dari politik. Akibat pernyataan Sondhi, toko-toko milik India di Pasar Baru dirusak massa. Padahal, toko-toko itu sudah mengunci pintu rapat-rapat.

Untuk tamu-tamu yang menghadiri pesta Asian Games IV, Bung Karno membangun Hotel Indonesia (HI) di Jalan Thamrin -- sebelumnya sebagian masih jalan tanah. Termasuk, tugu Selamat Datang untuk menyambut para atlet dan official yang menghadiri Asian Games.

Di belakang HI sebelumnya terdapat kebun sayur yang mensuplai para penduduk elit di Menteng. Ada yang menarik dari hotel bertaraf internasional pertama di Indonesia ini. Tingkat ke-13 diganti dengan tingkat 14, karena 13 dianggap angka sial. Untuk membangun HI dan sejumlah hotel di belakangnya, kembali ratusan KK orang Betawi harus rela digusur.

Hal yang sama dialami para juragan susu perah di Kuningan. Kuningan mulai dibangun oleh Bang Ali tahun 1974, yang menghubungkan kawasan Menteng ke Gatot Subroto. Warga Betawi, yang sebagian besar beternak sapi, juga harus mengalah minggir ke arah selatan Pasar Minggu dan Depok.

Saat itu, para pemilik sapi tiap pagi dan sore mengelilingi kota Jakarta, mengantarkan susu kepada para pelanggannya di Menteng, Kebon Sirih dan Kebon Binatang. ''Susu, Mevrouw,'' kata pengantar susu kepada nyonya Belanda.

Kini kawasan Kuningan sudah dipenuhi gedung-gedung pencakar langit, dan sudah sulit mendapatkan kapling di sana. Konon, harga tanah di Kuningan termahal di Jakarta. Lebih-lebih di kawasan Mega Kuningan yang baru mulai dibangun tahun 1990-an.

Pada tahun 1950-an, saat demokrasi parlementer dan kabinet sering jatuh bangun (kadang-kadang hanya berusia beberapa bulan), pertikaian antar-parpol makin menjadi-jadi. Presiden yang merasa dirinya hanya sebagai simbol dan kekuasaan berada di tangan parpol, pada 7 Juli 1959 membubarkan konstituante hasil Pemilu 1955 dan kembali ke UUD 1945.

Bung Karno, sebagai pemimpin yang kharismatik, mempergunakan slogan-slogan, simbol-simbol dan semboyan-semboyan, untuk mengajak rakyat anti-Nekolim. Setelah terjadi G30S, dengan cepat rakyat berubah sikap dan banyak yang berbalik menghujatnya.

(Alwi Shahab)

1 comment:

Unknown said...

bang,
seneng deh baca artikel tentang Betawi. Biar aku pendatang dari daerah lain, tapi aku cinta banget ama Jakarta.
Ku kepingin banget menjadikan Jakarta sebagai kampungku sehingga selalu ingin membaca sejarah Jakarta dan kebudayaannya, kebiasaannya.
Menurutku kuliner di Jakarta paling lengkap soale banyak pendatang yg bawa hidangan khasnya. Banyak hidangan khas betawi yg enak banget kaya soto betawi.
Pokoknya I love Jakarta