Friday, July 06, 2007

Menghapus Berbagai Pajak Judi

Tjokropranolo (1924-2001) menjabat gubernur DKI Jakarta 1977-1982. Mantan Aspri (Asisten Pribadi) Presiden Soeharto dan pada masa revolusi fisik pernah menjadi ajudan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Setelah Bang Ali mengakhiri jabatan sebagai gubernur DKI, Tjokropranolo oleh Pak Harto ditunjuk sebagai penggantinya.

Sebelas tahun Bang Ali menjadi gubernur, Jakarta telah berubah sangat dahsyat. Putra kelahiran Sumedang, Jawa Barat ini, telah mengubah wajah Jakarta dari julukan sebuah 'kampung besar' menjadi 'Kota Metropolitan'. Tidak heran kalau segala gerak geriknya selalu dibandingkan dengan Bang Ali.

Falsafah kepemimpinan Bang Nolly, julukan Tjokropranolo ''small is beautiful' (kecil itu indah). Kalimat ini membawa makna bahwa, pedagang kecil itu harus diutamakan. Mengingat saat itu, non-pribumi merupakan satu-satunya kelompok yang sangat dominan dalam perekonomian. Salah satu jalan pemberian tempat-tempat strategis bagi golongan pribumi dalam kehidupan ekonomi kota.

Sementara para pedagang kaki lima (PKL) dijadikan sebagai salah satu jalur yang cukup penting untuk memasakan hasil-hasil industri kecil yang dibina pemerintah. Pendekatan yang lebih manusia yang dilakukan pemda telah menimbulkan partisipasi pedagang untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Selama lima tahun sebagai gubernur, Bang Nolly telah melakukan pembinaan terhadap 88.497 pedagang PKL tersebar di 12 lokasi. Dia juga berhasil menyalurkan sekitar 14 ribu PKL ke pasar-pasar Inpres. Melalui program pembinaannya, antara lain pemberian bantuan permodalan dalam bentuk kredit. Dan mengenalkan sistem perbankan kepada mereka. Sayangnya, maksud baik ini menimbulkan berbagai masalah. Seperti pengembalian pinjaman yang tidak dapat ditepati pada waktunya sehingga terjadi berbagai tunggakan.

Bang Nolly menyadari bahwa sekalipun kehidupan masyarakat di Kota Metropolitan Jakarta penuh kesibukan untuk mempersiapkan hidup, tapi masih cukup kuat untuk memegang agama. Menunjukkan identitas sebagai bangsa yang relijius ternyata tidak luntur di kota yang besar. Hingga pembentukan masyarakat relijius sosialistis di perkotaanpun, yang dihangatkan 1977 akan dapat dilaksanakan dengan baik.

Bang Nolly juga mencanangkan Program Dokter Kecil dengan melibatkan murid-murid sekolah dalam Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Dengan adanya 'dokter-dokter kecil', di sekolah-sekolah dimaksudkan untuk mempercepat tercapainya perikehidupan masyarakat sekolah yang sehat, rohaniah dan jasmaniah. 'Dokter kecil' ini adalah anak didik yang dipilih oleh guru ikut melaksanakan usaha pendidikan dan kesehatan terhadap diri sendiri, keluarga, teman murid pada khususnya dan dari sekolah pada umumnya.

Pajak judi yang diberlakukan sejak 1977, dirasakan merupakan ganjalan bagi Pemda DKI. Meskipun merupakan pendapatan yang cukup potensial daerah (mencakup porsi 22%), secara bertahap pajak judi dihapuskan. Seperti judi balap anjing karena saat itu judi ini sangat meluas sampai ke pelosok-pelosok kampung. Dengan penghapusan ini Pemda kehilangan pajak Rp 3 miliar.

Judi jackpot suatu permainan dengan alat elektronik dengan memasukkan uang ke dalamnya, juga dihapuskan. Apalagi judi ini banyak melibatkan anak-anak sekolah. Usaha Bang Nolly ini mendapat tanggapan dari Presiden yang pada 1 April 1980 menghapus segala bentuk penjudian. Sekalipun perjudian sekarang ini makin marak. Tidak mempedulikan segala bentuk larangan.


(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Jakarta 1950-an

Tahun 1950-an, beberapa tahun setelah penyerahan kedaulatan (29 Desember 1949), penduduk Jakarta sudah sangat padat. Namun, tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan jumlah penduduk sekarang ini. Sebelum Perang Dunia II (Perang Asia Pasifik) tahun 1942-1945 Jakarta hanya berpenduduk kurang dari setengah juta jiwa, tapi tahun 1950-an melonjak lebih dari dua kali lipat.

Jumlah itu terus membengkak akibat situasi tidak aman di daerah-daerah, sehingga banyak penduduk yang hijrah ke Jakarta. Di Jawa Barat, misalnya, terjadi pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwirjo. Mobil jarang yang berani melakukan perjalanan dari Jakarta ke Bandung, karena tidak aman. Pemberontakan juga terjadi di berbagai daerah, antara lain menuntut didirikannya negara Islam.

Ketika gubernur Ali Sadikin berkunjung ke Belanda, walikota Amsterdam menggeleng-gelangkan kepala ketika mendengar Jakarta sudah berpenduduk di atas empat juta jiwa. Padahal sebelum Perang Dunia II, Jakarta hanya berpenduduk kurang setengah juta jiwa -- jauh lebih rendah dari penduduk Amsterdam yang berjumlah 800.000 jiwa. Jumlah ini hampir tidak meningkat lagi ketika Bang Ali berkunjung ke sana.

Kala itu pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang 70 juta jiwa, hanya sekitar 90 dolar AS. Sekarang lebih 10 kali lipat, sekitar 1000 dolar AS. Waktu itu, murid-murid Sekolah Rakyat (kini SD), lebih banyak pergi ke sekolah dengan telanjang kaki. Makan sehari hanya dua kali. Sarapan cukup dengan ubi dan singkong. Murid-murid sekolah yang tidak berseragam, masih banyak yang memakai baju tambalan. Saya, misalnya, mendapatkan uang jajan sekolah hanya ceta' atau setalen (25 sen).

Bung Karno yang menyadari kesulitan yang dihadapi rakyat Indonesia, dalam pidato 17 Agustus 1950 yang berjudul Dari Sabang sampai Merauke, berkata, ''Janganlah mengira kita semua sudah berjasa dengan turunnya tiga warna (bendera Belanda). Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk, belumlah pekerjaan kita selesai.''

Jakarta pada awal 1950-an memang jauh berbeda dari satu dekade sebelumnya. Kalau kita berjalan di tengah malam, kita akan menyaksikan orang-orang yang tidur di emperan toko. Di pusat keramaian Senen, di malam hari, saat kita makan, banyak pengemis, diantaranya anak-anak, siap menunggu. Mereka akan menyerbu sisa-sisa makanan kita.

Wartawan Muchtar Lubis yang menginjak kakinya pertama kali di Jakarta pada tahun 1940, menulis, ''Sungguh nyaman kota Jakarta di masa itu. Pinggir jalan penuh dengan pohon-pohon asam, johar dan berbagai pepohonan lainnya, memberi naungan dan perlindungan di waktu panas terik.''

Walaupun hidup sangat sederhana, mandi di kali (ngebak) saat saya kecil sangat nikmat. Airnya jernih dan dalam. Sungai-sungai masih lebar dan belum tercemar seperti sekarang. Kendaraan umum kala itu didominasi trem yang menggelinding di hampir segenap penjuru Jakarta. Bayarnya juga murah, hanya 10 sen. Untuk anak sekolah, bila berlangganan, cukup bayar setengah harga. Sayangnya, merasa negaranya sudah merdeka banyak orang yang naik trem tidak mau membayar. Kalau ditanya, jawabnya, ''numpang''. Seperti juga sekarang, banyak yang tidak membeli karcis ketika naik KRL.

Jangan dikata suasana politik kala itu. Dalam demokrasi parlementer yang oleh Bung Karno dicemooh sebagai free fight liberation, partai-partai saling cakar dan jegal-jegalan. Krisis kabinet, kata Bung Karno, seperti dagangan kue, dagangan kacang goreng. Antara 1950-1959 Indonesia mengalami 17 kali krisis kabinet yang rata-rata sekali tiap 8 bulan.

Polemik dan caci maki terjadi di surat-surat kabar yang kala itu rata-rata terbit tidak lebih dari empat halaman. Yang perlu diacungi jempol adalah kesetian orang untuk membaca koran dari partai yang mereka minati, seperti Abadi (Masyumi), Harian Rakyat (PKI), Suluh Indonesia (PNI), Duta Masyarakat (NU), Pedoman dan Keng Po (PSI), serta Bintang Timur (berhaluan kiri). Bahkan, partai-partai kecil pun kala itu juga memiliki media sendiri, seperti Berita Indonesia (Partai Murba) dan Sin Po (Baperki).

Meskipun zaman susah, bagi orang-orang berkantong tebal terdapat sejumlah tempat hiburan. Seperti, di Princen Park (kini Lokasari di Mangga Besar) terdapat tempat untuk mereka berdansa-dansi. Demikian pula Hotel des Indes (kini pertokoan Duta Merlin) banyak didatangi korps diplomatik yang juga membuka kantor di sini. Di samping bioskop Capitol (kini jadi pertokoan) depan Masjid Istiqlal, juga terdapat restaurant dan tempat hiburan. Di Citadel Weg (kini Jl Veteran I), terdapat tempat hiburan Black Cat yang pada masa Belanda khusus untuk mereka.

Di Restoran Airport Kemayoran, grup musik Koes Plus kala itu sering manggung. Tapi, rupanya Bung Karno kurang menyukai musik ngak ngak ngok ini. Dia bukan saja melarang, bahkan pernah memenjarakan mereka. Sementara, pertokoan yang paling bergengsi kala itu adalah Pasar Baru dan Glodok. Kedua kawasan pertokoan itu pernah menjadi black market penjualan uang dolar dan mata uang asing lainnya.

Kala itu belum dikenal istilah dangdut dengan goyangannya yang erotis. Sementara, para penyanyinya saling rebutan untuk tampil seksi. Maklum, artis yang tidak berani buka-bukaan sulit bisa laku. Saat itu para wanita berpakaian sangat sopan, termasuk penyanyi-penyanyi orkes Melayu. Mereka memakai konde dua yang disebut konde berunding. Sedangkan gadis-gadis rambutnya dikepang dan belum ada yang nglayap ke mal-mala yang kala itu belum nongol.


(Alwi Shahab )

Lebih Memilih Sebagai Punakawan

Wong Solo kelahiran 12 Agustus 1924 ini, menjadi gubernur DKI Jakarta (1982-1987) menggantikan H Tjokropranolo. R Soeprapto ketika itu menjabat sekjen Departemen Dalam Negeri. Saat Soeprapto menjabat gubernur DKI Jakarta, penataran P-4 tengah digalakkan oleh Pemerintah Orde Baru.

Maksudnya supaya rakyat benar-benar menjiwai Pancasila dan UUD-45 dan memiliki kesetiaan tanpa reserve kepada pemerintah. Bukan saja pegawai negeri sipil (PNS), juga swasta, wartawan, dan pengusaha diwajibkan mengikuti penataran. Termasuk juga para pelajar SMP/SMA, narapidana yang mendekam di penjara-penjara, bahkan tidak mau kalah, tukang becak juga ikut penataran.

Olahragawan yang menyenangi tennis, dengan prinsip 'lebih memilih sebagai punakawan, dan bersikap merakyat. Karenanya, gubernur yang menjadi komandan kompi Peta, pada masa crash akibat agresi Belanda itu, dan memimpin pertempuran di Semarang, tidak segan-segan mendatangi pelosok-pelosok kampung. Sebagai pejabat yang senang makan sayur bening, botok teri, dan sesekali sate selalu berpedoman pada tokoh pewayangan Semar. ''Kendati punya kekuasaan seperti dewa, Semar tidak menonjolkan diri. Lebih memilih sebagai punakawan, dan bersikap merakyat,'' kata-kata yang pernah dikemukakannya.

Ketika Soeprapto menjabat sebagai gubernur, pembangunan Jakarta tengah berlangsung besar-besaran. Maklum ketika itu keadaan ekonomi cukup baik. Maka beberapa kawasan yang sebelumnya merupakan daerah pinggiran seperti Kemang, Bintaro, Cinere, Pondok Indah, awal dimulainya pembangunan perumahan elite. Tapi di masa gubernur Soeprapto, terjadi beberapa peristiwa besar. Sedperti terjadinya kebakaran yang menghanugskan hampir seluruh gedung Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta di Jalan Medan Merdeka Barat, tahun 1985.

Sebelumnya, gudang peluru milik Marinir di Cilandak, Jakarta Selatan, meledak. Peluru berhamburan hingga belasan kilometer. Meskipun jarak antara Cilandak dan Depok sekitar 20-an km, tapi nyala api akibat peledakan tengah malam ini terlihat jelas di Depok. Di kompleks marinir ini terdapat enam gudang peluru. Dalam jarak 2 km dari gudang yang meledak, kaca-kaca rumah habis rontok. Terjadi beberapa korban jiwa. 13 meninggal dan puluhan korban luka.

Tak sampai sebulan setelah terjadinya ledakan beruntun di Ibu Kota, terjadi peledakan di kantor BCA Jalan Gajah Mada, dan di pertokoan jembatan Metro, Glodok, Jakarta Kota. Sementara kebakaran seperti di RRI juga melanda Sarinah di Jalan Thamrin, toko serba ada pertama di Jakarta. Gubernur Suprapto, bukan saja sering 'turun ke bawah', berkesenian juga merupakan kesenian yang tidak dapat dia hindari. Bahkan berlanjut terus sepanjang karirnya baik sebagai militer maupun gubernur DKI. Ibu Suprapti, istrinya juga pecinbta musik dan lagu.

Seperti pada malam ulang tahun Jakarta, di depan ribuan massa di panggung Pasar Baru, Jakarta Pusat, dia tidak saja berjoget tetapi meminjam ketimpring, yang dinyanyikan sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Tentu saja diikuti oleh massa yang menghadiri acara tersebut. ''Jelek-jelek begini, saya bekas pemain band, lho''. katanya pada pers saat itu. Dia bercerita, ketika bersekolah di MULO (sekolah menengah zaman kolonial) di Solo, tahun 1940-an, ia mendirikan band bersama Sudharnoto. ''Saya memegang bas gitar.''

Bukan hanya di panggung saat HUT Jakarta, tapi kalau ada acara silaturahmi di Balai Kota, juga dulu ketika ia masih di Depdagri, sering memperdengarkan kemerduan suaranya. Juga ketika dia bertugas di Sinai memimpin kontingen Garuda I, ayah tujuh anak ini suka mendendangkan lagu 'Unchained Melody'. Sebagai resep menghilangkan rindu kepada anak istri di tanah air.


(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Era Demokrasi Terpimpin

Pada 6 Juni 1901 Bung Karno lahir di Surabaya. Dia meninggal dunia pada 21 Juni 1970 di Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur. Saya yang ikut meliput acara pemakaman almarhum dari rumah duka di Wisma Yaso Jl Gatot Subroto (kini Museum Satria Mandala) ke Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta, melihat pengantar jenasah yang begitu membludak di sepanjang jalan.

Dari kediaman Nyonya Dewi, istrinya, di Wisma Yaso, ke bandara yang jaraknya belasan kilometer, mobil jenazah harus berjalan perlahan-lahan karena harus melewati ribuan massa. Di antara mereka banyak yang melelehkan air mata dan menangis histeris. Kabarnya, haul 27 tahun wafat presiden RI pertama itu akan diperingati di Blitar. Dikabarkan banyak tokoh nasional yang akan hadir, termasuk mantan presiden Megawati, puteri tertua almarhum.

Presiden Soekarno -- seperti dinyatakannya sendiri -- baru merasa berkuasa penuh setelah pada 5 Juli 1959 mengeluarkan maklumat kembali ke UUD 1945 dan membubarkan konstituante hasil pemilu pertama. Dia begitu membenci demokrasi parlementer, yang olehnya dikritik sebagai demokrasi ala Barat yang tidak cocok dengan demokrasi Indonesia.

Tapi, menurut Herbeth Feith & Lance Coster dalam buku Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, periode demokrasi parlementer boleh dianggap berakhir Maret 1958, ketika terjadi pertentangan yang amat seru antara pusat dan daerah dan berujung pemberontakan PRRI/Permesta. Kekalahan pemberontak yang begitu cepat dan pengambilalihan semua milik Belanda, disusul dengan susunan politik baru. Parpol-parpol menjadi lemah dan peran para pemimpin ABRI menjadi jauh lebih besar.

Pidato Presiden Soekarno pada hari kemerdekaan 17 Agustus 1960 berjudul Kembali ke Jalur Revolusi, oleh MPRS kemudian ditetapkan sebagai Manifesto Politik (Manipol) menjadi garis-garis besar Haluan Negara. Parpol maupun perorangan, yang dinilai menyimpang dari Manipol, disingkirkan. Masyumi dan PSI dibubarkan, tokoh-tokohnya dipenjarakan, termasuk tokoh oposisi yang tergabung dalam Liga Demokrasi. Setelah membubarkan BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme), terakhir kali Bung Karno membubarkan Partai Murba -- musuh utama PKI.

Dari soal-soal politik kita bisa menyoroti suasana kota Jakarta di era demokrasi terpimpin, yang pada 22 Juni 2007 nanti berusia 480 tahun. Bung Karno, pada masa jayanya itu, punya pengaruh cukup menentukan dalam membentuk wajah kota Jakarta. Pada awal demokrasi terpimpin, penduduk Jakarta hampir tiga juta jiwa. Kenaikan enam kali dari populasi 1941, menjelang hengkangnya kolonial Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang penduduk Jakarta baru sekitar 500 ribu jiwa. Sebagian akibat migrasi, karena banyaknya orang ngendon ke Jakarta akibat stagnasi di kota-kota lain. Seperti juga sekarang, meski diberlakukan otonomi, tapi pendatang ke kota si Pitung ini makin membludak.

Seperti juga tahun 1950-an, gubuk-gubuk liar banyak bertebaran di mana-mana. Tidak terhitung jumlah pengemis dan gelandangan. Bung Karno yang ketika itu menjadikan Jakarta sebagai kota perjuangan bangsa-bangsa tertindas, sangat sibuk menerima kepala-kepala negara asing.

Guna menunjukkan keramahan bangsa Indonesia, untuk menyambut tamu negara dikerahkan murid-murid sekolah, kaum buruh dan pegawai negeri sipil. Mereka berbaris di sisi kiri dan kanan jalan yang di lewati tamu negara -- dari bandara Kamayoran hingga depan Istana Negara -- sambil mengelu-ngelukannya.

Pernah terjadi menjelang kedatangan Presiden Polandia, di dekat bandara Kemayoramn dipasang bendera negara Eropa Timur itu yang bewarna putih-merah. Seorang Hansip, yang menyangka bendera itu dipasang terbalik, langsung menaiki tiang dan membaliknya jadi merah putih. Karuan saja panitia menjadi repot akibat ulah si Hansip. Benderapun dikembalikan menjadi putih merah.

Bung Karno-lah yang membangun Jl Thamrin dan Jl Sudirman -- menjelang Asian Games IV awal 1960-an -- yang menghubungkan Senayan dan Kebayoran Baru. Jalan ini -- semula tidak beraspal -- oleh Bung Karno disulap menjadi jalan protokol. Kini kawasan di timur kedua jalan tersebut, bersama Kuningan-Gatot Subroto, merupakan kawasan segi tiga emas.

Di Jl Thamrin, Bung Karno membangun gedung berlantai 20, Sarinah, pencakar langit tertinggi kala itu, dari hasil uang pampasan perang Jepang. Di lantai bagian atas pada masa Bang Ali Sadikin dibangun kasino yang kemudian mendapat protes keras dari umat Islam. Sementara, Usmar Ismail -- tokoh perfilman nasional -- membangun nite club Mirasa Sky Club yang merupakan klub malam pertama ketika itu. Di Jl Thamrin, Bung Karno membangun Hotel Indonesia bertingkat 13, setelah sebelumnya menggusur Hotel des Indes di Jl Gajah Mada, peninggalan Belanda. Dia kurang menyenangi bangunan warisan kolonial.

Kawasan Sudirman-Thamrin makin bergengsi setelah dibangun kompleks OR Gelora Bung Karno pada 1960, ketika Indonesia terpilih menjadi tuan rumah Asian Games IV. Meskipun, untuk itu tergusur ribuan KK warga Betawi yang kemudian ditempatkan di Tebet, Jakarta Timur. Setelah daerah ini berkembang, ribuan warga Betawi tergusur lagi ke daerah-daerah pinggiran.

Kini jumlah warga Betawi korban gusuran yang masih tinggal di Tebet dapat dihitung dengan jari. Memang demikianlah nasib warga Betawi di kota kelahirannya sendiri. Semoga gubernur mendatang lebih memberikan perhatian pada nasib warga Betawi dan tidak lagi melakukan penggusuran secara sewenang-wenang tanpa ganti rugi yang layak.


(Alwi Shahab )

Bandar Sunda Kalapa 1527

Mendatangi Bandar Sunda Kalapa kita akan mendapati puluhan kapal phinisi tengah berlabuh. Kapal layar yang berdatangan dari berbagai tempat di Nusantara ini sebagian tengah melakukan bongkar muat. Membawa kayu, semen, dan bahan bangunan lainnya untuk kebutuhan Jakarta.

Terlihat juga para kuli sibuk mengangkut bahan-bahan pokok untuk dinaikkan ke kapal-kapal itu guna dikirim ke daerah-daerah. Mungkin terdapat minyak goreng yang kini meroket harganya. Meskipun tak lagi seramai pada masa VOC, bandar Sunda Kalapa yang perannya sudah digantikan pelabuhan Tanjung Priok, masih terlihat sibuk. Lebih ramai dari palabuhan Karangantu di Banten yang pada masa lalu jadi saingan utamanya.

Di palabuhan Sunda Kalapa juga di Priok telah beberapa kali para pengemudi angkutan, pemilik barang dan ekspedisi, melancarkan demo karena tidak tahan atas merajalelanya pungli. Memang, pungli seperti juga korupsi, telah menjadi budaya di negeri ini. Para pelakunya termasuk orang dalam, tidak menyadari akibat perbuatan mereka bukan saja negara dirugikan, tetapi mengakibatkan terpukulnya para eksportir dan importir.

Orang Betawi belum pernah mendirikan kerajaan. Karenanya mereka lebih demokratis dan terbuka sekalipun di negeri ini sekarang berkumpul lebih dari 300 etnis dan suku. Tapi, orang Betawi saksi pergantian kekuasaan dari jaman ke jaman. Tanah Betawi penting karena di muara Ciliwung ada pelabuhan Sunda Kalapa.

Pada jaman Pajajaran (abad ke-12-16) Betawi merupakan bagian dari kerajaan Hindu ini. Orang Betawi sudah berbahasa Melayu dan Kerajaan Pajajaran berbahasa Sunda. Hubungan masyarakat Betawi dengan kerajaan Pajajaran sangat dekat. Karena, dari pelabuhan Sunda Kelapa ke Pakuan (Batutulis-Bogor) angkutan sungai sangat hidup yang ditempuh dalam dua hari. Sampai kini di Batutulis masih didapati prasasti bekas kerajaan Pajajaran.

Di Batutulis hanya beberapa tahun berselang pernah terjadi heboh, ketika seorang menteri dalam kabinet Presiden Megawati membongkar bekas peninggalan sejarah, mencari harta pusaka di bekas kerajaan Pajajaran. Dia melakukan hal itu karena meyakini ada harta karun milik kerajaan, yang dikatakan jumlahnya dapat menutup seluruh utang luar negeri RI.

Pada awal abad ke-16 raja di Pakuan merasa cemas akan timbulnya kekuatan baru di pesisir Jawa Timur, yang sudah merembes sampai ke perbatasan negerinya. Pasukan Demak menguasai Cirebon (akhir abad ke-15). Maka, Pajajaran meminta dukungan orang Portugis, yang baru saja merebut Bandar Malaka (1511).

Ketika itu, orang Betawi sudah banyak yang beragama Islam. Diantara penyebarnya adalah Kyan Santang, putera Prabu Siliwangi. Para pendeta Pajajaran menilai Kyan Santang melakukan penyimpangan, atau langgara. Karena itu, tempat bersembahyang mereka disebut langgar. Sampai kini orang Betawi menyebut surau dengan langgar.

Persekutuan antara Pajajaran dan Portugis mengakibatkan kemarahan bukan saja dari Kerajaan Demak tapi para walisongo. Portugis yang baru saja terlibat dalam perang salib dianggap bukan saja membahayakan persaingan dagang, tapi juga membahayakan Islam yang ketika itu tengah berkembang pesat. Sultan Trenggano dari Demak menugaskan iparnya, Fatahillah, memimpin pasukan menyerbu Sunda Kalapa.

Pada suatu hari di bulan Juni 1527 para laskar Islam pimpinan Fatahillah bergerak dari darat dan laut. Puncak pertempuran terjadi pada suatu senja di sekitar pelabuhan Sunda Kalapa. Ketika merebut bandar ini, kapal-kapal Portugis yang tiba dari Malaka dihalau. Armada Portugis yang bermaksud mendirikan benteng di mulut Ciliwung sesuai perjanjian dengan Raja Pajajaran tidak diizinkan melaksanakan maksud itu. Mereka dihalangi dan diusir dari Teluk Jakarta (1527), karena Pajajaran sudah tidak berkuasa lagi.

Sunda Kalapa diduduki orang dari Jawa Tengah, sedangkan orang Sunda yang beragama Hindu mengundurkan diri ke arah selatan. Akhirnya, ibukota Pakuan Pajajaran (Bogor) jatuh ke tangan sultan Maulana Yusuf dari Banten (1579), dan makin menyebarlah Islam di Jawa Barat.

Fatahillah memberi nama Jayakarta kepada kota yang baru direbutnya. Sebagai seorang panglima dan ulama ia mendirikan kadipaten di tepi barat kali Ciliwung, sekitar Jl Kalibesar Barat. Dia juga mendirikan aryan perumahan untuk pejabat kabupaten dan keluarganya yang di datangkan dari Banten. Seperti juga umumnya kadipaten di Jawa, di depannya terdapat sebuah masjid tempat menggembleng umat.

Menurut Adolf Heyken dalam buku Sejarah Masjid, masjid pertama di Jakarta yang dibangun dari kayu ini, terletak di sebelah selatan Hotel Omni Batavia, yakni antara Jl Kalibesar Barat dan Jl Roa Malaka Utara, di daerah Kota. Berdekatan dengan masjid, yang dibakar oleh JP Coen ketika menaklukkan Jayakarta, itu terdapat sebuah pasar yang letaknya mungkin di sekitar terminal bus dan mikrolet di Kota Inten, Jakarta Barat.

Tanah bekas masjid yang terbakar itu digunakan untuk membangun rumah perwakilan dagang Inggris. Pada Mei 1619 semua penduduk Jayakarta meninggalkan kota mereka bersama dengan tentara Banten, menuju Jatinegara Kaum, Jakarta Timur. Di sini mereka mendirikan Masjid As-Salafiyah, yang hingga kini masih berdiri dengan megah.


(Alwi Shahab)

Dari Old Batavia ke Weltevreden

Setelah mendatangi bandar Sunda Kalapa -- tempat Falatehan menghalau armada Portugis (1527) dan kemudian direbut Belanda (16190) -- kita mendatangi Museum Bahari di Pasar Ikan, Jakarta Utara. Dulunya museum ini merupakan gudang rempah-rempah yang terletak tepat di tepi pantai sehingga kapal-kapal yang mengangkut barang-barang dapat berlabuh di depannya. Sekarang sudah ada jalan besar dan didepannya terdapat sebuah pasar dan kantor polisi.

Gudang rempah-rempah itu merupakan salah satu gedung yang terselamatkan, ketika gubernur jenderal Daendels (1808-1811) memindahkan pusat kota dari Oud Batavia ke Weltevreden (Gambir dan sekitarnya). Dari belakang Museum Bahari, dengan menaiki tangga, kita masih mendapati reruntuhan bekas benteng Batavia. Benteng ini dibangun, karena selama 80 tahun setelah kejatuhan Jayakarta, Batavia tidak pernah aman. Baik dari serangan gerilyawan Mataram dan Banten, maupun sisa-sisa pasukan Jayakarta.

Pada awal abad ke-19, ketika Daendels menghancurkan Oud Batavia, termasuk benteng kota yang merupakan sarang penyakit, seorang pendatang menulis, ''Kota Batavia bukan lagi metropolis terkenal masa lampau. Sebagian besar bangunan dan rumah-rumah yang paling penting telah dirobohkan, kecuali gudang-gudang belaka (termasuk Museum Bahari). Istana yang berada dalam benteng hanya tinggal reruntuhan. Kota Batavia hanya seperti sebuah desa yang dikelilingi parit-parit lebar.''

Dari pusat kota berbenteng pagar batu itu kita bisa menyusur ke arah selatan Jalan Pintu Besar yang menjadi tempat pemukiman yang banyak dihuni warga Belanda. Daerah itu dibagi dua oleh sungai Ciliwung. Orang Eropa umumnya tinggal di sebelah timur (Kalibesar Timur) dan orang Cina di sebelah barat (Kalibesar Barat). Sedangkan kampung-kampung tempat orang Sunda, Jawa, Ambon, Bali dan orang-orang dari daerah lain, berkelompok di luar dinding benteng.

Pada abad ke-18, orang-orang Belanda yang lebih kaya membangun rumab-rumah tinggal di sepanjang kanal Molenvliet (kini Jl Gajah Mada dan Hayam Wuruk) sepanjang sekitar tiga kilometer. Banyak orang Cina dan Belanda yang bermukim di daerah yang sedang berkembang itu. Pada abad ke-19, Koningsplein (sekarang Medan Merdeka) menjadi pusat kota baru untuk merebut kembali reputasi sebagai Queen of the East. Pemukiman ini dua kali lebih besar daripada kota lama.

Dengan bertambah ramainya orang membangun di Weltevreden (Gambir dan sekitarnya), pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika modal asing dan dalam negeri makin berkembang, kelebihan penduduk kian merambat ke selatan. Ke jurusan Gondangdia dan Menteng, yang akhirnya menjadi pemukiman yang sangat modern. Sementara, Batavia terus meluas ke timur dan barat, ke Meester Cornelis (kini Jatinegara) dan ke Tanah Abang.

Weltevreden (tidak jauh dari Molenvliet) pada abad ke-18 merupakan kompleks perumahan yang besar dan bagus. Rumah-rumah besar itu dilengkapi kebun-kebun dengan aneka bunga, seperti rumah peristirahatan. Pada abad ke-19, daerah ini, yang menjadi Nieuw Batavia (kota baru Batavia), masih merupakan jantung kota yang meluas ke segala penjuru. Di sini terdapat taman yang luas: Wilhelmina Park (nama ratu Belanda ketika itu), yang kini oleh Bung Karno disulap menjadi Masjid Istiqlal.

Di samping membangun Koningsplein (kini Monas) -- lapangan terbesar dan terluas di seluruh jagad -- Daendels juga membangun 'Gedung Putih' (semula untuk istanna) yang kini menjadi Departemen Keuangan. Di depannya, Waterlooplein (kini Lapangan Banteng), tiap Ahad sore didatangi para tuan dan nyonya serta gadis-gadis dengan pakaian mutakhir dari Eropa untuk menyaksikan parade militer. Terdapat gedung Concordia (kini menyatu dengan Depkeu), tempat para perwira militer berpesta pora dengan gadis-gadis cantik.

Harmonie Club (kini bagian dari gedung Sekretariat Negara), digambarkan sebagai bangunan paling menawan pada abad ke-19. Di depannya, di atas jembatan Rijswijk (Jl Veteran) dan Noordwijk (Jl Juanda), terdapat patung Hermes bersayap, yang menurut mitologi Yunani adalah dewa perniagaan, karena masa itu Harmoni dan sekitarnya merupakan pusat pertokoan dan perniagaan. Di dekat Harmoni (Jl Gajah Mada) terdapat hotel paling bergengsi di Batavia: Hotel des Indes. Sebelum dibangun HI pada 1960, para tamu negara dan diplomat asing tinggal di hotel ini.

Di seberang Jl Veteran terdapat Pasar Baru yang sampai tahun 1970-an bersaing dengan Glodok. Sampai sekarang, masih ada pasar gelap dolar dan mata uang asing lain yang banyak terdapat di sini. Sekarang, pemerintah DKI ingin menjadikan Pasar Baru sebagai salah satu pusat belanja di Jakarta.

Dari sekitar Lapangan Banteng kita bisa menuju Jl Thamrin, yang bersambung dengan Jl Sudirman, dan merupakan jalan protokol yang dibangun Bung Karno menjelang Asia Games IV (1962). Di sini terdapat Hotel Indonesia yang kini tengah direnovasi. Di depannya terdapat Tugu Selamat Datang yang dikelilingi air mancur -- kini menjadi tempat favorit untuk melakukan demo.


(Alwi Shahab )

Sambrah, Ngibing dan Joged

Kota Jakarta baru saja merayakan jarig (ulang tahun) ke-480 dan suasana peringatan masih berlangsung hingga sekarang. Pemda Provinsi DKI Jakarta menetapkan tanggal 22 Juni sebagai HUT Jakarta. Pada tanggal itu, 480 tahun lalu pasukan Islam di bawah pimpinan Falatehan menghalau armada Portugis dari bandar Sunda Kalapa.

Tapi, orang Olanda (sebutan warga Betawi untuk Belanda), merayakan ulang tahun Batavia pada tanggal 30 Mei setiap tahun. Karena, pada 30 Mei 1619, gubernur jenderal JP Coen menaklukkan Jayakarta. Saat itulah mulai bercokol penjajahan di Nusantara yang berlangsung selama tiga setengah abad.

Membicarakan ulang tahun Jakarta, dianggap kurang afdol kalau tidak membicarakan keseniannya. Boleh dibilang kota metropolis ini memiliki berbagai ragam kesenian. Penduduk Betawi disebut majemuk. Konon tidak kurang 300 etnis dan bangsa berbaur dengan damai di kota yang kini berpenduduk lebih 10 juta itu. Ada Melayu, Jawa, Sunda, Padang, Batak, Bugis, Cina, Arab, India, dan masih banyak lagi. Sehari-hari mereka bergaul, saling menghormati dan membantu.

Tidak heran kalau kesenian Betawi sangat beragam. Seperti kesenian sambrah yang berasal dari Arab. Sambrah berasal dari kata bahasa Arab, samarokh, yang artinya berkumpul atau pesta. Kata samarokh oleh orang Betawi diucapkan menjadi sambrah. Dalam kesenian Betawi, sambrah menjadi jenis kesenian musik atau orkes sambrah dan tonil sambrah. Orkes atau tonil ini biasa pentas di tempat orang berkumpul dan memeriahkan pesta.

Tonil sambrah dikembangkan dari teater bangsawan dan komedi stambul. Kata stambul berasal dari Istambul, pusat kegiatan Islam pada masa dinasmi Usmani. Tonil sambrah sudah muncul di Betawi sekitar 1918. Ia termasuk kesenian yang komplit. Dalam pentasnya tergabung seni musik, pantun, tari, lawak, dan lakon. Sayangnya, pada 1940-an tonil sambrah menghilang. Baru pada 1950-an muncul kembali, tetapi namanya menjadi orkes harmonian. Sesudah masa itu, perannya digantikan oleh orkes melayu yang kini menjadi dangdut.

Berasal dari Timur Tengah, orkes gambus dulu dikenal dengan sebutan irama padang pasir. Pada tahun 1940-an, orkes gambus menjadi tontonan yang disenangi. Bagi orang Betawi, tanpa nanggap gambus pada pesta perkawinan dan khitanan terasa kurang sempurna. Orkes ini sudah ada di Betawi sejak abad ke-19 ketika banyak imigran dari Hadramaut (Yaman) datang ke Betawi. Kalau para walisongo menggunakan gamelan sebagai sarana dakwah, imigran Hadramaut menggunakan gambus.

Awalnya, orkes gambus membawakan lagu-lagu bersyair bahasa Arab, berisi ajakan beriman dan bertakwa kepada Allah dan mengikuti teladan Rasulullah. Kemudian gambus berkembang menjadi hiburan. Sekarang ini, pesta-pesta keturunan Arab banyak menghadirkan kembali gambus. Sementara para hadirin hanyut dalam pesta zapin menggerak-gerakkan badan seperti layaknya berjoget.

Berkembangnya orkes gambus tidak dapat dipisahkan dari peran Syech Albar, yang lagu-lagunya dikenal bukan hanya di Indonesia tapi juga di Timur Tengah. Syech Albar adalah ayah pemusik rock Ahmad Albar, dan ayah dari Fachri Albar, pemain film dan sinetron terkenal. Sampai 1940-an, lagu gambus masih berorintasi ke Yaman. Sejak berdirinya bioskop Alhambra (kini jadi pertokoan), yang memutar film-filmn Mesir, gambus beralih ke irama negeri Sungai Nil.

Jauh sebelum JP Coen menguasai Batavia, warga Cina sudah tinggal di kota ini. Gambang kromong dan cokek adalah salah satu kesenian Cina yang berasal dari negeri leluhur dan masih berjaya hingga saat ini. Baru-baru ini di Tangerang diselenggarakan pesta pehcun (hari keseratus Imlek). Menggambarkan meriahnya pehcun di Kali Angke, seniman Betawi, Ridwan Saidi, menceritakan ratusan perahu dan sampan berweliweran dihiasi ribuan lampion warna-warni sehingga suasana malam menjadi terang benderang. Orkes gambang keromong dan cokek, suatu kesenian Cina yang terkenal kala itu, mengiringinya.

Di tangan almarhum Benyamin Sueb, musik dan lagu-lagu gambang keromong menjadi sangat populer. Nama gambang keromong diambil dari nama alat musik yaitu gambang dan kromong. Mulanya orkes gambang keromong merupakan kegiatan masyarakat Cina saja. Setelah pemberontakan Cina 1740, karena dikejar-kejar Belanda, mereka melarikan diri ke berbagai tempat di Jakarta dan berbaur dengan masyarakat. Maka, bermain musik gambang kromong dan cokek diikuti oleh warga Betawi.

Sampai 1960-an, warga Cina kalau hajatan selalu memanggil orkes gambang keromong. Di sertai belasan penari cokek yang ngibing dengan membawa selendang yang diletakkan para tauke. Sementara, sambil ngibing, sang tauke diberi minuman memabukkan hingga teler. Kemudian, ia memberikan uang pada si penari yang dimasukkan ke bagian dadanya.

Belanda pada abad ke-17 menjadikan daerah Tugu, Cilincing, Jakarta Utara, sebagai tempat pemukiman orang Portugis setelah mereka ditaklukkan dari Malaka, Malaysia. Keturunan Portugis ini melahirkan Keroncong Tugu. Pengaruh Portugis dapat diketahui dari jenis irama lagunya. Misalnya, moresko, frounga, kafrinyo, dan nina bobo. Dari irama lagu moresko kemudian lahir Keroncong Moresko. Sampai kini keroncong yang sudah berusia hampir empat abad di Indonesia itu masih memiliki banyak penggemar. Tentunya masih banyak lagi kesenian Betawi yang merupakan hasil percampuran budaya antar-etnis dan bangsa.


(Alwi Shahab )

Fromberg Park di Lapangan Monas

Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811), boleh diacungkan jempol dalam membangun bukan saja Batavia, tapi juga Nusantara. Dia lah yang membangun lapangan terbuka seperti terlihat dalam foto tahun 1920-an. Inilah Koningsplein (Lapangan Raja), tapi oleh warga Betawi karena sentimen anti-Belanda menyebutnya Lapangan Gambir.

Foto yang diabadikan dari Jl Medan Merdeka Utara tempat Istana Merdeka berada, adalah Fromberg Park (Taman Fromberg). Di bagian kanan terlihat tiang-tiang trem listrik yang dikiri kanannya terdapat pepohonan yang sedap dipandang mata. Fromberg Park (Taman Fromberg) hanya salah bagian dari sejumlah taman yang terdapat di lapangan Monas, lapangan terluas dan terbesdar di kota-kota besar dunia.

Di bagian kiri paling ujung (tidak terlihat) terdapat Deca Park. Di Deca Park terdapat sebuah bioskop untuk golongan elite Belanda, khusus memutar film-film Hollywood yang diberi teks dalam bahasa Belanda. Di dekat Deca Park terdapat lapangan bola Hercules yang pemain-pemainnya kebanyakan warga Belanda. Seperti juga di negaranya, di Indonesia orang Belanda menyenangi sepak bola. Di lapangan ini pada malam hari sering diadakan pertandingan tinju mengundang petinju-petinju kelas berat dari mancanegara. Pada tahun1950'an dalam usia belasan tahun saya sering menonton tinju, tapi dengan cara membolos karena tidak sanggup membayar.

Tapi sayangnya, lapangan terluas di jagat ini sejak masa kolonial telah 'dikotori' oleh sejumlah bangunan. Akibatnya sebelum dibangun Monas tahun 1960-an di lapangan ini berdiri beberapa bangunan pemerintah, taman-taman, tempat olah raga dan pacuan kuda. Terdapat juga lapangan hockey yang pemainnya keturunan India dan Pakistan. Kantor telepon, Jawatan Penerangan DKI Jakarta, Taman Amir Hamzah, Kantor Pos Pembantu dan Lapangan IKADA (Ikatakan Atletik Djakarta). Bahkan Reporter Club berkantor di lapangan ini. Karena itulah Bang Ali setelah menjadi gubernur DKI membersihkannya, terrmasuk gubuk-gubuk liar yang dihuni tuna wisma.


(Alwi Shahab, Wartawan Republika )

Kudeta di Malam Tahun Baru

Berbelok kearah kiri dari stasion KA Beos (Jakarta Kota), terletak Jl Pangeran Jayakarta, Jakarta Barat. Sebagai bagian dari pusat bisnis Glodok, jalan itu sangat padat. Di sepanjang jalan hingga ke ujung Jl Gunung Sahari dekat Ancol, Jakarta Utara, hampir tidak terdapat rumah penduduk karena dipenuhi toko, perkantoran dan pedagang kaki lima.

Kita sengaja mengangkat jalan yang dimasa Belanda bernama Jacatraweg, karena kawasan yang berada agak di luar tembok kota Batavia itu dulu merupakan kawasan elit. Nama Jacatraweg pada masa kolonial tidak ada kaitan dengan Pangeran Jayakarta. Tapi di tempat ini dulu terdapat sebuah benteng bernama Jacatra.

Di masa kolonial, para kompeni yang banyak melakukan korupsi mendirikan rumah-rumah dan vila-vila mewah di tepi sungai Ciliwung yang kala itu airnya masih jernih. Ciliwung juga dijadikan tempat pemandian dan pangkalan perahu untuk saling berkunjung antar tetangga. Sementara para pedagang kue dan sayur berseliweran menawarkan barang dagangan.

Pada masa gubernur jenderal Van der Parra, yang membangun vila mewah di tepi Ciliwung, di sungai itu secara tetap diadakan festival-festival meriah. Para elit Belanda dan istri mereka berdansa di pelataran yang telah didekorasi secara mewah hampir semalam suntuk. Pesta itu guna merayakan ulang tahunnya. Ia lahir pada 29 September 1763.

Gubernur jenderal yang membangun istana di Weltevreden (kini menjadi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto) Senen itu tiap tahun mengimpor empat ribu budak dari Malabar, Koramandel, Srilangka, dan dari berbagai tempat di tanah air, terbanyak dari Bali.

Buruknya nasib para budak belian di Batavia, tergambar pada tulisan Pierre Poivre, seoranbg Prancis yang memperoleh pendidikan di pekabaran injil, dan pada Januari 1741 mengunjungi Batavia, ''Tak ada yang lebih mengharukan melihat manusia yang lahir bebas seperti semua manusia lain, dipaksa dengan kekerasan menjadi budak. Ribuan manusia di rantai dua-dua pria dan wanita, dipaksa melewati hari-hari menyedihkan dengan beban kerja yang sangat berat dan sedikit saja kesalahan akan dihukum dengan cara sangat kejam.''

Diantara hukuman itu ada yang dicabik srigala, digantung, dibakar hidup-hidup, dan ditombak. Hukuman kejam itulah yang paling sering terjadi di Batavia terhadap para budak belian.

Pernah terjadi peristiwa sangat penting pada masa kolonial di kediaman para elit Eropa itu. Dimulai pada Minggu, 28 Desember 1741. Dari pintu kota -- Nieuwpoort (Pintu Besar) -- keluar seorang pria Jawa. Ia menyeberang ke jembatan Jassenburg (kini Jembatgan Batu, dekat stasion KA Kota) melalui Gereja Portugis menuju Jacatraweg. Siangnya hujan turun deras hingga jalan-jalan sangat becek.

Orang Jawa yang berusia sekitar 30 tahun dengan postur tubuh yang tegap dan wajah lumayan tampan itu mengambil jalan di pinggir-pinggir rumah menghindari lumpur. Dia seorang keturunan ningrat dari kesultan Yogyakarta. Dandanannya rapi mengenakan stagen (ikat kepala) dari kain batik yang mahal. Sebuah keris terselip di pinggangnya. Gagangnya dari kayu kemuning disepuh emas.

Setelah melihat kanan kiri, dia akhirnya memasuki sebuah rumah yang cukup luas di Jacatraweg (sejak 1985 dijadikan showroom Toyota Motor). Pemuda itu adalah Raden Kartadria. Ia mendatangi kediaman Pieter Erberveld -- seorang keturunan Jerman dan ibu Jawa -- yang konon ingin melakukan pemberontakan pada malam 31 Desember 1741. Pieter yang telah berusia 50-an tahun digambarkan sebagai seorang yang masih tampak gagah. Badannya keker seperti anak muda.

Raden Kartadria -- yang datang bersama belasan pengikutnya -- melaporkan bahwa dia sudah menyiapkan kekuatan 17 ribu orang. Mereka dilengkapi senjata dan dihari penyerangan satu malam di muka mereka akan tiba di Batavia, kata Raden Kartadria.

''Tuan Gusti,'' katanya kepada Pieter, ''Bagaimana alpa itu orang kafir kalau ia orang sedang rayakan hari taon baru. Di malam penutup tahun lama biasanya ia orang plesir sepuas-puasnya dan minum sampai mabuk-mabukan. Maka dalam itu keadaan ia orang tidak nanti sanggup mencegah kita untuk merebut pintu kota dan pintu benteng di waktu fajar.''

''Ya Raden,'' jawab Pieter, ''Apakah kau sudah kasih perintah dengan tegas supaya tidak satupun orang kulit putih boleh dikasih ampun. Lelaki, perempuan, tua, muda dan anak-anak mesti dibunuh semua.''

Tapi, pembicaraan itu didengar oleh putri Pieter, yang kala itu tengah mabok kepayang karena kasmaran dengan seorang perwira kompeni. Rupanya orang yang tengah dilanda cinta rela memberitahukan rencana ayahnya itu kepada kekasihnya. Yang kemudian memberitahukan kepada gubernur jenderal Zwaarderoom (dikubur di Gereja Portugis, tak jauh dari monumen pembantaian Pieter dan para pengikutnya).

Pieter, R Kartadria dan para pengikutnya dieksekusi mati pada April 1722. Begitu kejamnya sehingga badan Pieter dan pengikutnya tercabik-cabik ketika mereka diikat dan dilarikan empat ekor kuda yang berlawanan arah. Hingga daerah yang berhadapan dengan Jl Pangeran Jayakarta hingga kini bernama Kampung Pecah Kulit.

Sebelum kedatangan Jepang (1942), monumen yang di atasnya ditaruh tengkorak Pieter masih terdapat di belakang kediaman rumahnya. Tidak bedrapa jauh dari kediaman Pieter -- disebuah jalan kecil -- terdapat makam R Kartadria yang diberi kelambu. Rupanya masih banyak orang yang menziarahinya -- terlihat dari tumpukan surat Yasin dan bau gbaharu yang menyengat.

(Alwi Shahab )

Kehidupan Tukang Binatu di Pasar Baru

Foto tahun 1940'an atau lebih dari 60 tahun lalu mempersiapkan para tukang binatu sedang antre mencuci pakaian di tetapi kali Ciliwung. Lokasinya di Pasar Baru Selatan, Jakarta Pusat, sekarang ini kira-kira di depan Gandhi Memorial School. Kemungkinan foto ini diambil dari arah Gedung Kesenian, depan pertokoan Pasar Baru. Terlihat Pasar Baru dengan toko-toko dengan genteng model Cina yang kini sudah tidak tersisa lagi.

Di itu waktu, umumnya warga Jakarta mencuci pakaian di sunga-sungai. Tempatnya bukan hanya di Pasar Baru seperti terlihat dalam foto. Boleh dikata, dari Meester Cornelis (Jatinegara) sampai Molenvliet (kini Jl Gajah Mada dan Hayam Wuruk) ribuan warga Jakarta mengandalkan hidupnya untuk makan tiap hari sebagai tukang cuci. Di kampung-kampung sampai tahun 1960'an banyak terdapat tukang binatu. Di samping tukang perahu dan pekerja eretan. Mereka mencuci dari pagi hingga dzuhur untuk kemudian dikeringkan. Kalau sekarang mencuci pakai deterjen hingga tinggal mencelup, dulu deterjen yang kini banyak diiklankan di televisi-televisi belum muncul. Waktu itu mencuci pakaian menggunakan tajin dan blau maksudnya supaya pakaian tetap kaku. Maklum kala itu, pakaian terutama celana terbuat dari drill dari bahgan yang tebsal. Kalau sekarang yang sedang trend; adalah jins.

Rupanya ketika itu sikat juga belum nongol. Dan pakaian setelah diberi sabun batangan, disikat dengan bagal jagung. Pada masa Bung Karno ketika dilancarkan politik berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) umumnya masyarakat mandi dengan memakai sabun batangan yang disebut sabun cuci. Maklum sabun Lux, Camay, Lifebuoy masih ngumpetdi Singapura. Kita bisa membelinya di pasar gelap di Glodok atau Pasar Ular di Tanjung Priok, yang diselundupkan dari negeri pulau itu oleh para inang.

Kalau sekarang digunakan setrika listrik, ketika itu menggunakan setrika dari arang. Sebelum disetrika pakaian di percikkan air supaya mudah. Dalam foto terlihat belasan sundung tempat membawa pakaian sebelum dicuci dan dibawa ke sungai. Sekarang tidak ada lagi orang mencuci di Ciliwung. Airnya sudah dangkal. Tidak ada lagi ikan-ikan seperti dulu. Bahkan kecebong aje enggan hidup di sini.


(Alwi Shahab , wartawan Republika )

Eksekusi Bang Puase

Mantan presiden Irak Saddam Hussein pekan lalu dihukum gantung. Dia maju untuk menghadapi kematian dengan memegang Alquran dan mengucapkan kalimat syahadat.

Lepas dari kesalahan Saddam yang dituduh bertindak kejam terhadap lawan-lawan politiknya saat masih berkuasa, eksekusi itu mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan di dunia. Mantan PM Malaysia Dr Mahathir Mohammad, misalnya, menilai justru Presiden George Bush dan PM Tony Blain penjahatnya. Keduanya, kata Mahathir yang dikenal vokal terhadap Barat, justru lebih belepotan darah orang Irak karena ulah mereka lebih kejam dibanding Saddam.

Sejak AS dan sekutunya menyerbu Irak, tidak kurang 650 ribu warga Irak mati terbunuh. Jumlah korban invasi militer itu masih ditambah 3.000 warga AS yang tewas terbunuh di Irak dan belasan ribu lagi menjadi invalid seumur hidup. Seharusnya, kata Mahathir, Bush yang mesti diadili untuk mempertanggungjawabkan kejahatan perangnya.

Mendiang presiden Sukarno dalam pidato 17 Agustus 1965 berjudul Tahun Berdikari mengeritik AS, karena dengan bom-bom napalm yang sangat dasyat ketika itu membombardir kota-kota dan desa-desa di Vietnam. ''Kaum imperialis,'' kata Bung Karno, ''paling suka menyebut dirinya beradab. Mereka juga paling suka menganggap kita-kita biadab. Sehingga mereka harus datang dengan pasukan-pasukannya, armada-armadanya, dengan pangkalan-pangkalkan perangnya untuk mengajarkan peradaban.

Mereka yang datang dari jarak 20 ribu km, mereka itu menganggap sebagai pembela perdamaian. Sedangkan rakyat Vietnam yang tinggal di negerinya sendiri dianggap agresor'. Salah satu harus gila. Apakah rakyat Vietnam atau AS. Kedua-duanya gila tak mungkin. Saudara-saudara bisa menyimpulkan sendiri mana yang gila dan mana yang waras.''

Kalau di Irak Bush mengakui AS menghadapi kekalahan, di Vietnam lebih memalukan lagi. Setelah kewalahan menghadapi para pejuang Vietnam, AS akhirnya menarik pasukannya. Ribuan prajurit AS tewas, jauh lebih banyak dibanding yang tewas di Irak.

Di Jakarta, pada masa kolonial sampai akhir abad ke-19, di depan gedung Balaikota Batavia yang kini menjadi Museum Sejarah DKI Jakarta, terdapat tiang gantungan.

Salah seorang yang dieksekusi di tiang gantungan itu adalah Bang Puase. Dia adalah seorang jagoan dari Kwitang, Jakarta Pusat. Dia dihukum gantung karena dituduh membunuh Nyai Dasima, seorang nyai rupawan dari Kuripan, Ciseeng, Parung, Bogor. Eksekusi itu terjadi pada tahun 1813 pada awal kekuasaan Inggris (Raffles) di Indonesia.

Di Kampung Kwitang, tiap Ahad kini ada pengajian Habib Ali yang didatangi ribuan warga dari Jabotabek. Konon, Bang Puase dilahirkan di salah satu tempat yang sampai tahun 1960-an bernama Gang Mendung, di Kampung Kwitang. Mungkin dia dilahirkan saat Ramadhan hingga dinamakan demikian.

Kisah itu kemudian menjadi latar belakang novel historis Nyai Dasima karya G Francis yang ditulis dalam bahasa Melayu rendah pada tahun 1893 83 tahun setelah eksekusi itu terjadi. Pengarang-pengarang Belanda kala itu selalu menjelek-jelekkan mereka yang berani melawan pemerintahan kolonial. Tokoh Si Pitung, miaslnya, dalam versi kolonial digambarkan sebagai penjahat kejam, pembunuh berdarah dingin dan tidak berkemanusiaan. Padahal, yang dirampoknya adalah harta milik petinggi kolonial dan para tuan tanah yang memeras rakyat.

Dalam novel Nyai Dasima, G Francis juga memuji setinggi langit kebaikan Tuan Edward Willem, seorang petinggi Inggris yang bersama istri piaraannya (Dasima) dan putrinya (Nancy) tinggal di dekat kantor Dirjen Perhubungan Laut, di Jalan Medan Merdeka Timur sekarang ini.

Francis juga menjelek-jelekkan Islam bahwa Dasima rela meninggalkan suami dan putrinya karena diguna-guna oleh Haji Salihun yang menerima bayaran dari Samiun. Haji Salihun memberikan dua bungkus obat bubuk melalui Mak Buyung, seorang penjual telur. Salah satu obat itu diberikan kepada Nyai Dasima agar hatinya goncang dan membenci Tuan Willem.

Dalam karya yang juga berjudul Nyai Dasima, seniman Betawi SM Ardan telah meluruskannya. Menurut versinya, Nyai Dasima bersedia meninggalkan tuan kumpul kebonya setelah diingatkan bahwa menurut Islam kawin tanpa nikah adalah berzina dan dosa besar.

Menurut versi Francis, setelah menikah dan jadi istri kedua Samiun, suaminya ini dengan dalih agama mengambil seluruh harta Nyai Dasima. Ketika Dasima minta cerai, Samiun menyuruh Bang Puase untuk membunuhnya. Sedang dalam versi Ardan, Bang Puase membunuh Dasima atas pesanan istri pertama Samiun, yakni Hayati.

Versi lain menyebutkan, Bang Puase membunuh Nyai Dasima untuk melampiaskan kebenciannya terhadap perempuan piaraan orang asing, yang menurut Islam adalah zinah. Dia tidak rela Nyai Dasima perempuan piaraan Tuan Willem berada di kampungnya. Diduga, Nyai Dasima dibunuh di tengah jalan (di dekat Hotel Aryaduta atau di depan Toko Buku Gunung Agung kini), ketika naik sado bersama Samiun untuk nonton Hikayat Amir Hamzah.

Setelah melalui proses pengadilan kolonial yang sering direkayasa, akhirnya Bang Puase dieksekusi di halaman depan pengadilan Belanda (kini menjadi Museum Sejarah Jakarta). Dia melangkah ke tiang gantungan tanpa rasa takut. Kalau Saddam mengucapkan syahadat, Bang Puase bertakbir.

(Alwi Shahab )

Titanic, Tampomas II, Senopati Nusantara

Geladak makin terbenam
Harapan belum pudar
Masih ada yang ditunggu
Mukjizat dariNya

Syair di atas adalah cuplikan lagu Langkah Berikutnya dari album kelima Ebiet G Ade. Lagu sebagai ungkapan dukacita atas peristiwa karamnya Kapal Motor Penumpang (KMP) Tampomas II pada 27 Januari 1981. Kapal milik Pelni ini tenggelam di sekitar Kepulauan Masalembo di Laut Jawa (termasuk wilayah Jawa Timur), dalam pelayaran dari Tanjung Priok ke Makassar.

Jumlah penumpang kapal naas itu, yang terdaftar berjumlah 1054 orang, ditambah 82 awak kapal. Namun, seperti juga terjadi pada KM Senopati Nusantara yang kini masih dalam pencaharian, di Tamponas II terdapat ratusan penumpang gelap hingga keseluruhannya mencapai 1442 orang. Tim penyelamat memperkirakan 432 orang tewas (143 mayat ditemukan dan 288 orang hilang bersama kapal). Sementara, 753 orang diselematkan. Sumber lain menyebutkan korban sebenarnya mencapai 666 orang.

Proses karamnya KMP Tampomas II berlangsung selama tiga hari. Dimulai dengan terbakarnya kamar mesin akibat puntung rokok. Tenggelamnya KMP ini merupakan kecelakaan laut terbesar kala itu. Nakhoda Tampomas II yang tewas bersama ratusan penumpang yang ikut terjun ke laut, sempat berteriak, ''Sabotase! Sabotase!'' Begitu derasnya gelombang laut, banyak mayat yang ditemukan di perairan Sulawesi, jauh dari tempat tenggelamnya kapal.

Lebih dasyat lagi adalah tenggelamnya kapal pesiar Titanic pada 14 April 1912 dalam pelayaran dari Southampton (Inggris) ke New York. Nakhoda kapal Titanic sebelum berangkat membanggakan kapalnya, ''Kapal sebesar ini (46.328 ton) tidak mungkin tenggelam.'' Kenyataannya, lebih dari 1.500 penumpangnya mati di tengah-tengah cuaca yang dingin membeku, setelah kapal mewah ini menubruk karang es. Bangkai kapal Titanic telah ditemukan tim oceanografi AS-Prancis pada 1 September 1985 dalam keadaan tegak lurus.

Seperti juga terhadap KMP Senopati Nusantara, tidak ada seorang pejabat pun yang mau bertanggung jawab atas tenggelamnya KMP Tampomas II. Semuanya berujung pada kesalahan awak kapal. Tidak ada tuntutan kepada pejabat pemerintah, misalnya terhadap JE Habibie yang saat itu menjabat sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Skandal ini, terutama menyangkut pembelian kapal bekas dari Jepang seharga 5 juta US dolar, sengaja ditutup-tutupi oleh pemerintahan Suharto, kendati banyak desakan pengusutan dari anggota DPR.

Perairan Indonesia sejak dulu terkenal ganas. Seperti pada saat-saat kedatangan VOC pertama kali ke Nusantara akhir abad ke-16. Dari belasan kapal ekspedisi Belanda, hanya empat kapal yang selamat tiba di Batavia. Lainnya tenggelam di laut dengan ratusan anak buah. Gubernur Jenderal JP Coen pada 28 Oktober 1628 pernah mendatangkan pintu gerbang Batavia dari negeri Belanda, namun tidak pernah sampai.

Kapal bernama Batavia itu berangkat dari pelabuhan Texal membawa 341 orang penumpang -- dua pertiga pelaut dan 38 wanita serta anak-anak. Seperti juga Titanic, kapal milik VOC itu menerjang karang dan kandas di sebuah kepulauan di Australia Barat. Lokasi musibah tak ditemukan sampai tahun 1950. Konon, peristiwa ini terjadi karena nakhodanya mabuk berat.

Sebelum era kapal uap dan dibukanya Terusan Suez pada 1858, kapal-kapal layar harus melewati Tanjung Harapan di Afrika Selatan, hingga pelayaran dari Eropa ke Indonesia memerlukan waktu berbulan-bulan. Kadang-kadang lebih setahun, dengan risiko kemungkinan karam, para awaknya terkena penyakit, atau perampakan yang sering terjadi kala itu.

Karena banyaknya kapal yang rusak, tidak heran kalau VOC mendirikan galangan dan reparasi kapal di Pulau Onrust, salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta. Di galangan yang pernah disinggahi oleh kapal James Cooks, yang diklaim oleh orang Eropa sebagai penemu Australia, itu dipekerjakan ratusan budak belian yang diharuskan bekerja tanpa mengenal lelah.

Di pulau, yang kini makin menyempit akibat abrasi, itu tokoh DI/TII Maridjan Kartosuwirjo pernah ditembak mati pada 1960-an, karena melakukan pemberontakan bersenjata untuk mendirikan negara Islam. Bung Karno juga pernah memenjarakan sejumlah tokoh Liga Demokrasi' yang dianggap oposisi terhadapnya di pulau itu. Para pengemis dan gelandangan yang tertangkap pada masa itu juga 'dibuang' ke Onrust.

Pernah terjadi pemberontakan di Kapal HMS Bounty (berbobot mati 1.215 ton), saat berlayar ke Tahiti (difilmkan oleh Hollywood). Kapten kapal kemudian diturunkan oleh wakilnya ke sekoci bersama 18 orang pengikutnya. Mereka terdampar di Timur (Kupang), dan baru 18 tahun kemudian di ditemukan masih hidup (1908).

Kapten kapal itu kemudian ke Batavia dan pernah menginap di Toko Merah, Kalibesar, Jakarta Kota. Sejak dulu, pada saat-saat musim angin barat (Desember-Januari), nelayan kepulauan Seribu tidak melaut. Karena itulah harga ikan laut jadi mahal.


(Alwi Shahab )

Gang Thiebault di Noordwijk

Berbelok ke arah kiri dari Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, menuju Pecenongan dan Pasar Baru, di masa kolonial merupakan kawasan elite. Noordwijk, nama jalan itu sekarang ini menjadi Jl Juanda, untuk mengenang almarhum Perdana Menteri Juanda, yang wafat saat bertugas pada masa Bung Karno akibat serangan jantung. Di samping kawasan Eropa, di Noordwijk terdapat pertokoan, hotel dan perkantoran. Sebagian besar juga milik warga Eropa.

Di Jalan Juanda berbelok ke kiri dari Departemen Sosial terdapat Jl Juanda III. Dulunya adalah Gang Thiebault yang oleh lidah Betawi disebut Gang Tibo. Pada 1872, photographer Woodbury & Page mengabadikan Jl Juanda III yang berada di tepi Ciliwung. Gang Thiebault untuk mengabadikan nama seorang Belanda, Alfred Thiebault yang pernah tinggal di sana.

Jalan Juanda III yang kini hampir tidak ada lagi tempat kediaman, kecuali perkantoran, pertokoan dan rumah makan, seperti terlihat si foto masih sangat sepi. Di kiri-kanan jalan yang masih belum diberi aspal, terdapat berbagai jenis pohon besar, termasuk pohon kelapa. Tidak heran, kalau di ujung jalan Juanda III terdapat kampung Kebon Kelapa. Di sini terdapat Masjid Kebon Kelapa, yang sejak 1950'an dikembangkan tarekat oleh Kiai Abdul Fatah. Di masjid tua ini para pengikutnya -- baik tua dan muda -- menggunakan sorban putih sambil berzikir tiap habis shalat.

Di foto tampak beberapa sado atau delman, yang kala itu merupakan transportasi utama kota Batavia. Di sebelah kanan foto adalah Hotel de L'Europe, yang kini diperkirakan menjadi gedung Departemen Sosial sebelum pindah ke Salemba.

Alfred Thiebault, yang diabadikan untuk nama jalan di kawasan Noordwijk, memulai karirnya sebagai guru pada 1852. Kemudian dipercayakan jadi pengelola klub militer Concordia (kini jadi bagian Departemen Keuangan di Lapangan Banteng). Dia kemudian diangkat jadi pengelola klub Harmonie (kini jadi bagian Sekretariat Negara). Alfred Thiebault seorang intelek tersohor di Batavia. Ia juga penulis puisi, ahli silsilah, dan ilmu lambang. Pada akhir hayatnya ia memiliki banyak perkebunan yang kini jadi bagian kelurahan Kebon Kelapa.


(Alwi Shahab, wartawan Republika)

Meliput Bung Karno dan Pak Harto

Banyak kawan menyarankan agar saya menulis buku tentang pengalaman selama delapan tahun jadi wartawan yang meliput kegiatan kepresidenan. Wartawan Istana, yang pada zaman Orba diidentikkan sebagai wartawan kerajaan, saya jalani dari tahun 1969 sampai 1977. Entah siapa yang memulai, sebutan wartawan kerajaan kala itu lebih populer dari pada julukan wartawan Istana.

Memang, penampilan wartawan Istana cukup mentereng. Tiap hari untuk menghadiri acara di Istana harus memakai dasi. Bahkan, pada saat-saat kepala negara menerima para tamu negara dari luar negeri harus memakai jas. Termasuk saat-saat kunjungan kenegaraan presiden ke luar negeri. Untungnya kami mendapat hadiah jas dari Pak Probosutedjo, adik Pak Harto.

Untuk itu, tidak tanggung-tanggung ia mendatangkan penjahit khusus dari Singapura, Tat Bee Taylor. Kami masing-masing disuruh memilih bahan dan mengukurnya. Hanya dalam waktu dua minggu pakaian lengkap tersebut sudah kami terima di Jakarta.

Sebelum ditugaskan meliput kegiatan kepresidnean pada masa Pak Harto berkuasa, saya pernah meliput kegiatan Bung Karno pada acara di luar Istana. Menurut rekan-rekan senior wartawan kala itu, Bung Karno sangat memperhatikan penampilan wartawan yang meliput kegiatannya. Dia tidak segan-segan merapikan kemeja dan dasi para wartawan, sekaligus menegurnya bila berbusana tidak rapi.

Bung Karno juga akan sangat marah bila wartawan salah menulis pidatonya. Lebih-lebih salah dalam menulis kalimat bahasa Inggris. Dia pernah marah ketika ditulis namanya Presiden Ahmad Sukarno. Bung Karno menyebut penulisnya sebagai wartawan tolol. Rupanya wartawan itu meniru sebuah harian di Timur Tengah yang menulis nama Bung Karno dengan tambahan 'Ahmad'.

Salah satu kesenangan Bung Karno adalah sarapan pagi di beranda antara Istana Merdeka dan Istana Negara, menghadap ke taman hijau luas. Dia sering mengajak wartawan sarapan pagi dengan hidangan pisang uli rebus atau kukus, yang harganya murah. Dia juga berbuat demikian saat sarapan pagi dengan para diplomat asing, seperti Dubes AS Howard P Jones.

Menurut rekan saya, wartawati Antara Ita Syamnsuddin, yang kala itu bertugas di Istana Negara, Bung Karno yang dikenal anti kolonialisme dan imperialisme serta dekat dengan kiri, sangat akrab dengan Dubes AS. Meskipun CIA punya rencana untuk menggulingkan Bung Karno, tapi secara pribadi Dubes AS adalah sahabat karibnya.

Bung Karno, menurut Ita Syamsudin, pernah mengajak wartawan Istana menyaksikan patung-patung yang ada di taman-taman ibukota. Dia hafal nama patungnya, nama pembuatnya, dan siap berkomentar untuk masing-masing patung. Di Monas, Bung Karno membeli rambutan. Kemudian menikmatinya bersama para wartawan.

Tentu, banyak kesan yang tak terlupakan selama delapan tahun menjadi wartawan Istana pada masa Presiden Suharto. Selalu terburu-buru, diuber waktu. Persisnya, harus mengejar dead line, yakni batas waktu kapan laporan atau tulisan harus disiapkan. Sebagai wartawan Antara, saya harus bersaing dengan dua wartawan koran sore Sinar Harapan: Annie Bertha Simamora dan Moxa Nadeak. Begitu acara selesai, setelah Mensesneg Sudharmono SH memberikan keterangan, kami berebutan telepon untuk memberikan laporan kepada redaktur masing-masing di kantor.

Ada suatu hal yang tidak ada lagi sekarang. Di samping budaya telpon, pada masa Orde Baru sering seorang wartawan Antara melakukan peliputan atau membuat berita atas 'titipan' atau 'permintaan' dari pihak yang berkuasa. Suatu pagi sesudah peristiwa Malari (15 Januari 1974), saya diberitahu atasan ada pertanyaan titipan dari Hankam untuk Jendral TNI Soemitro, Panglima Kopkamtib, yang akan diterima Pak Harto di Cendana. Dia datang bersama Laksamana Sudomo.

Pertanyaan 'titipan' itu adalah, ''Benarkah Pak Mitro ingin mengadakan kudeta dengan menggerakkan para mahasiswa sehingga terjadi kerusuhan massal di berbagai tempat. Termasuk pembakaran proyek Senen dan ratusan mobil?''
Ketika saya tiba di Cendana semuanya wartawan menyatakan akan menunggu pertanyaan saya. Ketika itu, Pak Mitro membantah keras isu-isu bahwa ia ingin mengkudeta Pak Harto.

Pengalaman tak terlupakan lainnya, adalah ketika motor Honda yang saya parkir di Cendana digilas panser. Ketika menunggu tamu yang diterima Pak Harto, tiba-tiba dari samping kediamannya muncul sebuah panser yang akan diparkir oleh seorang prajurit ABRI untuk menjaga keamanan di kediaman Kepala Negara.

Entah bagaimana, tiba-tiba panser tersebut menggilas motor saya. Tidak cukup sekali, setelah menggilas dengan jalan mundur panser tersebut kemudian melaju ke depan dan menggilas motor saya lagi. Akibatnya, motor saya gepeng seperti kerupuk. Tapi, beberapa hari kemudian saya mendapat ganti motor baru.

Almarhumah Ibu Tien Soeharto juga punya perhatian terhadap wartawan Istana. Dia memberikan kepada para wartawan masing-masing sebuah tape recorder, yang kala itu ukurannya lebih besar dari tape recorder sekarang ini. ''Jangan sampai salah-salah lagi dalam meliput acara Pak Harto,'' salah satu pesanannya yang masih saya ingat.

Pak Harto mempunyai seorang juru foto yang tiap acara pasti mendampinginya. Dia adalah Saidi. Dia adalah salah seorang dari sedikit orang yang bisa memerintah presiden. Dia acapkali memerintah agar Pak Harto dan Ibu Tien dengan alasan estitika pengambilan foto atau momentum yang langka berpose begini atau begitu. Presiden dan Ibu biasanya menurut saja apa yang diperintahkan Saidi.

Karena ketika Saidi nenjadi juru foto Istana mula-mula berpangkat kopral, maka rekan-rekan wartawan Istana menjulukinya 'Kopral Jenderal'.

(Alwi Shahab )

Kanal Pelabuhan Sunda Kelapa

Foto yang diabadikan photografer Woodbury & Page pada 1870 yang merupakan awal penemuan photografi memperlihatkan kanal di Pelabuhan Sunda Kelapa, Pasar Ikan, Jakarta Utara, menuju ke arah laut di Teluk Jakarta. Di bagian kiri terlihat Pasar Ikan yang dibangun 1848 dan hingga kini masih berdiri.

Foto di bagian kanan, yang letaknya di bagian timur Muara Ciliwung terlihat deretan gedung-gedung berupa kantor administrasi pelabuhan dan bea cukai. Masih di deretan gedung-gedung yang dahulu merupakan salah satu daerah paling indah di Jakarta, paling kanan adalah tempat peristirahatan. Mereka yang tiba di Batavia pada menjelang fajar, sebelum menuju pusat kota terlebih dulu singgah di gedung ini. Baru keesokan harinya dengan menaiki kereta kuda --delman dan sado-- yang merupakan transportasi utama kala itu, mereka memasuki pusat kota.

Tempat persinggahan ini bernama Stads Herberg dibangun 1849 dan kala itu tempat ini sangat bermanfaat bagi pendatang baru ke Batavia setelah mengarungi samudera selama berbulan-bulan dari Eropa. Tempat persinggahan atau semacam hotel ini dibangun atas inisiatif HS van Hogizard seorang pengusaha yang memiliki banyak tanah dan bangunan di kawasan ini. Boleh dikata --Stads Herberg-- mengalami tahun keemasan pada 1849-1885. Tapi setelah dibangunnya Tanjung Priok (1885), losmen ini berganti usaha dan pemilik. Gedung ini digusur tahun 1949, bersamaan dengan sejumlah gedung-gedung di sekitarnya.

Di depan tempat persinggahan tampak dua buah bangunan dari seng. Di tempat inilah barang-barang para pendatang dari Eropa diperiksa oleh pihak Bea Cukai. Di sampingnya tampak sederetan perahu atau sampan.

Menunjukkan kala itu muara Ciliwung masih lebar. Kawasan sekitar tempat ini pernah menjadi pusat Kota Batavia. Inilah jatung suatu jaringan VOC yang agen-agennya pernah tersebar sampai Deshima (Nagasaki-Jepang). Dan Pasar Ikan pernah jadi nadinya. Di kawasan inilah letak cikal bakal dan kota Pangeran Jayakarta yang dengan bijaksana mempertahankan kediamannya ini, setelah mengusir Portugis (1527). Dan dari tempat inilah berkembang Kota Megapolitan Jakarta.


(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Thursday, July 05, 2007

Megahnya Pemakaman Orang Cina

Esok, Ahad (18/2-2007) merupakan hari raya Imlek. Bagi orang Cina tempo doeloe kedatangan Imlek kudu dibarengi dengan hujan. Yang menurut orang-orang tua, hujan di hari Imlek seperti rezeki yang ngocor dari langit. Tapi sekarang -- akibat banjir yang masih terasa di Ibu Kota -- masyarakat mengharapkan agar Jakarta jangan lagi diguyur hujan, meski Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) memperkirakan hujan akan turun pada Imlek besok.

Untuk menyambut Imlek kami turunkan foto pemakaman orang Cina di kawasan Jakarta Kota. Foto ini diambil pada 1910-an, saat di Jakarta masih banyak terdapat pemakaman Cina (Sentiong). Tidak dijelaskan siapa yang dimakamkan. Tapi melihat dari pengiring jenazah dan panji-panji yang mereka bawa, dipastikan yang akan dimakamkan seorang tokoh Cina terkemuka. Sebelum dimakamkan -- jenazah yang disimpan dalam peti terbuat dari kayu jati yang tebal -- disimpan selama beberapa hari di rumah duka. Di depan peti dipasang meja tempat bermacam-macam sajian. Tiap pelayat diberikan hio untuk memberikan hormat kepada jenazah.

Sesuai dengan tradisi Cina masa itu, saat iring-iringan berangkat ke pemakaman dari rumah duka, beberapa buah semangka besar yang ditaruh di meja sembahyang, dibanting di jalan. Tujuannya untuk menyenangkan penguasa dunia bawah, sehingga yang meninggal tidak terlalu diganggu. Keluarga harus mengenakan pakaian berkabung dari kain belacu dengan terbalik, yaitu jahitannya di luar. Mereka juga diharuskan memakai ikat pinggang dan ikat kepala, seperti juga baju bewarna putih. Sedangkan kaum perempuan diharuskan menggunakan kain, kebaya, dan penutup kepala yang puncaknya lancip dari kain belacu.

Menurut tradisi leluhur kala itu, mereka yang meninggalkan dunia dipeti jenazah atau tempat pemakaman dimasukkan barang-barang kesukaan yang meninggal. Oei Hong Kian, dokter gigi Soekarno dalam buku ''Peranakan yang hidup dalam tiga budaya'' menceritakan, ketika kakeknya meninggal pada 1930 dibuat sebuah bangunan mini yang bagus, terbuat dari bambu dan kertas. Lengkap dengan mebelnya yang dibuat dengan penuh detail. Peralatan seperti radio-radioan dan telepon-teleponan pun ada. Di garasinya ada mobil bagus lengkap dengan sopirnya.

Dulu di Jakarta banyak pemakaman Cina yang terbuat dari tembok tingi, tergantung status sosial yang bersangkutan. Kini warga Cina yang masih mempertahankan adat istiadat leluhur, bila meninggal dunia umumnya dikremasi, dan abunya disimpan dalam altar tempat mereka memuja arwah nenek moyang.


(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Polisi Antipungli di Masa Lalu

Foto seorang opas alias banpol (pembantu polisi) di salah satu jalan raya di kawasan elite Jakarta Kota sekitar tahun 1930-an. Sang opas yang mengenakan pedang dipinggang kiri dan pistol di pinggang kanannya mengenakan topi pramuka(pandu) yang dipelitur warna coklat. Topi ini buatan Tangerang, yang ketika itu diekspor ke mancangegara termasuk Eropa. Seragamnya juga bewarna coklat dengan ikat pinggang dari kulit. Dia sedang menjaga ketertiban lalu lintas di prapatan jalan yang tampak masih lengang oleh lalu lintas kendaraan. Maklum ketika itu belum banyak mobil yang nongol.

Berlainan dengan lampu lalu lintas sekarang ini di mana lampu bewarna hijau, kuning dan merah berganti secara otomatis, dulu -- sampai tahun 1960-an -- masih manual yakni digerakkan dengan tangan si polisi, yang dalam foto ini terlihat tanda stop. Opas sebagai pembantu polisi ketika itu personilnya kebanyakan penduduk asli. Sedangkan polisi sebagian besar warga Belanda atau Indo.

Opas di samping membantu polisi seperti petugas lalu lintas, juga menolong lansia terutama nenek-nenek yang hendak menyeberang di jalan raya. Jakarta yang kini menjadi kota megapolitan boleh dikata dipenuhi oleh ratusan ribu kendaraan bermotor. Si pengendara roda dua ini lebih banyak tidak memiliki toleransi dan mau berhenti sebentar terhadap nenek-nenek yang hendak menyeberang di jalan raya. Pernah seorang pengendara marah-marah ketika hampir menyerempet seorang nenek. ''Ngapaian nenek-nenek keluar lebih baik diam di rumah saja,'' gerutu pengendara motor. Tidak heran kalau seniman Betawi, SM Ardan (74 tahun) meninggal hanya karena ditabrak motor.

Tidak seperti polisi sekarang, di masa kolonial tidak dikenal istilah pungli. Tidak heran kalau seseorang melakukan pelanggaran lalin dia melakukan cara damai dengan polisi. Dari pada membayar tilang Rp 75 ribu lebih baik uang itu diberikan polisi Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu. Berapa ratus miliar uang yang harusnya masuk ke kas negara akhirnya mengalir ke kocek-kocek oknum polisi yang tanpa mengenal malu siap untuk berdamai dengan pelanggar lalu. Tidak mau kalah dengan polisi oknum DLLAJR juga secara terang-terangan mencegat truk-truk pengangkut barang tidak peduli barang kebutuhan pokok. Dalam perjalanan beberapa puluh kilometer, truk-truk barang harus membayar pungli yang tentu saja dijadikan sebagai bagian ongkos produksi. Akibatnya rakyat kecil terpukul karena ikut menanggung kenaikan harga barang. Sejauh ini pungli di jalan raya makin menjadi-jadi tidak ada tindakan hukum terhadap mereka.


(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Sejarah Krisis Beras

Rakyat sekarang ini makin menjerit akibat kenaikan harga beras yang terus meningkat. Sudah kagak rahasia lagi kalau kini semakin banyak rakyat memakan nasi aking, yaitu nasi sisa yang dijemur sampai kering kemudian ditanak untuk dimakan. Mereka juga makan ketela dan ubi-ubian, karena tidak sanggup lagi membeli beras. Sementara, angka pengangguran terus melonjak dan jumlah rakyat miskin terus membengkak.

Anehnya, beras operasi pasar, yang menurut pemerintah banyak sekali jumlahnya, lebih banyak diborong oleh para pedagang untuk kemudian dijual dengan harga umum. Hal ini menunjukkan lemahnya operasi pasar beras murah oleh Bulog, yang boleh dikata tidak terjadi di masa-masa lalu. Bayangkan saja, beras operasi pasar Rp 3.700 per kg dijual oleh pedagang sekitar Rp 4.500 per kg.

Menurut pengamatan saya, di negara yang sebagian besar penduduknya petani dan memiliki tanah yang subur ini, telah terjadi tiga kali krisis beras. Pertama di zaman Jepang, disusul pada masa Presiden Soekarno, dan terakhir pada masa presiden SBY sekarang ini. Kalau di dua periode sebelumnya hampir tidak terjadi musibah, sekarang ini melonjaknya harga beras disusul oleh berbagai musibah yang makin menyengsarakan rakyat.

Pada masa pemerintahan Jepang (1942-1945), jumlah rakyat Indonesia belum mencapai 70 juta jiwa. Kala itu kelaparan akibat kekurangan pangan terjadi di mana-mana. Untuk keperluan perangnya melawan sekutu, pemerintahan Dai Nippon memaksa rakyat menanam jarak yang akan dijadikan sebagai minyak. Kegiatan ekonomi lumpuh. Kongsi-kongsi dagang milik Belanda dan Cina serentak tutup. Demikian pula pasar-pasar, toko dan warung-warung. Bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari lenyap dari pasaran dan sukar dicari. Begitu menderitanya rakyat hingga untuk membeli beras harus pergi ke Bekasi dan Karawang.

Dalam keadaan perut lapar dan sulitnya pangan, keong racun (bekicot) dijadikan santapan. Sementara, para pengemis berebutan makanan di tempat-tempat sampah dengan anjing. Adalah hal biasa menjumpai seseorang meninggal di pinggir jalan karena kelaparan. Rakyat banyak yang tidak memiliki kain. Mereka memakai kain dari karet atau karung goni. Tidak heran kalau tuma (sebutan untuk kutu ketika itu) terdapat di badan-badan manusia. Obat-obatan juga sulit dicari, hingga orang beralih ke pengobatan tradisional dari nenek moyang.

Pemerintah Jepang melakukan pengawasan yang ketat terhadap harga eceran kebutuhan sehari-hari, khususnya beras. Tidak tanggung-tanggung, tugas pengawasan ini dilakukan oleh Kempetai (Polisi Militer Jepang). Mereka menyebarkan mata-mata ke mana-mana. Ada yang menyamar jadi penjual sate untuk mencari mereka yang berani menyetel radio asing. Kalau ketahuan, dibawa ke Markas Kempetai di Gambir (kini Monas). Seperti juga sekarang, banyak pedagang membeli barang-barang keperluan sehari-hari, termasuk beras, kemudian menjualnya secara spekulasi.

Mereka yang berduit -- jumlahnya kecil sekali -- memborong beras karena tahu harganya makin lama makin meningkat. Maka harga beras pun naik tanpa kendali, jauh di atas daya beli rakyat. Minyak tanah dari dua perak menjadi 22,50 perak. Sedangkan barang-barang keperluan lain seperti handuk, kemeja, kaus kaki, sabun, benang, kain katun dan tekstil naik 2-3 kali lipat dibandingkan harga sebelum perang. Uang belanja per hari keluarga terdiri enam orang sebelumnya cukup satu perak (gulden), enam bulan setelah pendudukan Jepang 3-4 rupiah per hari tidak cukup.

Anehnya, makin ketat Kempetai melakukan pengawasan semakin sulit orang mencari barang keperluan sehari-hari. Inflasi belum pernah setinggi di masa pendudukan militer Jepang, sekalipun pada masa Bung Karno pernah mencapai 360 persen (di akhir masa pemerintahannya). Di masa akhir pendudukan Jepang, untuk membeli beras orang harus membawa uang di bakul karena begitu tidak berharganya uang. Pokoknya, jangan sampai terjadi lagi kesulitan ekonomi seperti pada jaman Jepang.

Harga beras dan kebutuhan pokok juga meroket pada masa Bung Karno. Harian Sin Po edisi 3 Januari 1960 mengumumkan pemerintah menaikkan harga bensin sebesar 94 sen per liter -- dari harga lama 1,6 perak menjadi dua perak per liter. Pemerintah Jepang juga memperingatkan para pengusaha angkutan tidak boleh menaikkan tarif angkutan. Ketika itu, harga rokok putih seperti Escort, Kansas, Kresta dan Lancer, 7,5 perak per bungkus. Sedangkan Commodore dan Wembley 9,5 perak.

Rupanya, akibat kenaikan bensin, timbul keresahan dalam masyarakat, terutama akibat kenaikan harga beras. Hingga Menteri Inti Distribusi Dr Leimena menganjurkan agar rakyat tenang. Sementara, Bung Karno mengatakan, gerutuan rakyat sekarang ialah mangan sandang dan bukan bersandang pangan. Sedangkan PM Juanda yakin pemerintah telah meletakkan fondasi sehat dalam bidang ekonomi, ketika menanggapi ter jadinya kenaikan harga-harga. Harian Sin Po (11/1-1960) memberitakan bahwa beras di Surabaya menghilang dari pasaran. Kalaupun ada harganya sudah melonjak antara 10-11 perak per liter.

Saya menikah pada Desember 1961, saat masyarakat banyak yang makan bubur atau makan nasi campur jagung, karena tingginya harga beras. Seperti juga di masa pemerintahan sekarang, antre beras dan minyak tanah juga terjadi di mana-mana. Tapi Bung Karno yakin bahwa Indonesia adalah negara yang makmur gemah ripah loh jinawi. Karenanya, pada pidatonya, 17 Agustus 1964, ia memerintahkan untuk tidak impor beras lagi. Sementara, harga beras makin melonjak.


(Alwi Shahab )

Glodok-Pancoran 1872

Inilah pusat perdagangan dan perekonomian paling bergengsi di Jakarta: Glodok dan Pancoran. Foto ini diabadikan tahun 1872 memperlihatkan adanya sungai atau kanal yang menghubungkan Glodok dan Pancoran. Pada abad ke-20 kanal di Pancoran ditutup dan kini merupakan bagian dari jalan raya dan pertokoan.

Sedangkan jembatan Glodok sebagai penghubung kedua daerah di kawasan China Town dibongkar. Sampai akhir abad ke-19, kanal seperti terlihat di foto menjadi salah satu urat nadi tranportasi seperti terlihat sejumlah perahu yang memuat barang-barang dagangan.

Jembatan Glodok yang sudah menghilang itu letaknya dipersimpangan Pancoran dan Nieuwpoort Straat (kini Jalan Pintu Besar Selatan). Di sebelah kiri foto tampak pertokoan Glodok dan diseberangnya pertokoan Pancoran. Pasar Glodok tampak masih sangat sederhana. Kala itu atap rumah mereka meruncing di bagian atas, meniru rumah di dataran Cina negeri leluhurnya. Kawasan Glodok yang kini gersang karena dipenuhi oleh para pedagang, waktu itu masih rimbun. Dikelilingi oleh pepohonan yang kini sudah tidak dijumpai lagi.

Nama Pancoran karena ditempat ini dulu ada air mancur. Para penduduk siap untuk antri selama beberapa jam untuk mengambil air dari kali Molenvliet (Ciliwung) yang telah disaring terlebih dahulu. Menurut sejarawan Belanda, de Haan banyak para anak kapal saat mendarat di pelabuhan Sunda Kelapa mengambil air yang telah dijernihkan di sini. Para kelasi juga sangat menyukai arak produksi Batavia yang pada abad ke-17 banyak diusahakan oleh keturunan Cina. Dan di tempat ini pulalah para pelaut setelah berbulan-bulan dalam pelayaran berkesempatan bermain dengan WTS di soehian (istilah Mandarin untuk rumah pelacuran dan hiburan).

Ketika terjadi huru-hara dalam Peristiwa Mei 1998 banyak toko dan rumah di China Town dihancurkan dan dibakar serta barang-barang mereka dijarah. Peristiwa lebih keji terjadi pada Nopember 1740 ketika 10 ribu warga Cina dibantai mulai dari kanak-kanak, wanita hingga kakek-kakek. Karena mereka dianggap ingin memberontak terhadap Belanda. Di masa Bung Karno, Glodok bersama Pasar Baru menjadi tempat penjualan uang dolar secara gelap (black market).


(Alwi Shahab,wartawan Republika )

Musibah dan Tahayul

Musibah datang bertubi-tubi di negara kita. Sejak gelombang tsunami di Aceh dan Nias 24 Desember 2004, yang menewaskan lebih 200 ribu jiwa, musibah terus terjadi susul menyusul. Seperti gempa bumi di Yogyakarta yang juga menelan banyak korban. Tsunami kemudian kembali terjadi dalam skala lebih kecil di Pangandaran, pantai selatan Jawa Barat, berupa gelombang dari Lautan Hindia, yang pada masa Bung Karno pernah diganti namanya menjadi Lautan Indonesia.

Selain bencana alam, kecelakaan pesawat terbang juga terjadi beberapa kali. Pada 5 September 2005 Boeing 737-200 Mandala Airlines gagal take off dari Bandara Polonia Medan. Pesawat yang bertujuan Jakarta itu menerobos pagar Bandara dan menabrak perumahan penduduk. Dari 117 penumpang dan awaknya, hanya 17 orang yang selamat. Selain itu, 41 penduduk yang tinggal dekat bandara juga tewas. Berikutnya adalah kecelakaan pesawat Adam Air, berjenis Boeing 737-300, yang diduga jatuh ke laut di lepas Pantai Mamuju. Seluruh penumpang dan awak pesawat --lebih dari 100 orang -- belum ditemukan sampai saat ini.

Di lautan juga terjadi beberapa kecelakaan kapal laut. KMP Senopati Nusantara yang mengangkut 500 penumpang dan 25 ABK tenggelam pada 30 Desember 2006. Hingga kini baru ditemukan korban selamat 79 orang. Sebelumnya (8/7-2005), KMP Digoel mengalami kecelakaan di Laut Arafuru, Maluku. Sebanyak 84 penumpang tewas dan lebih 100 penumpang lainnya belum diketahui nasibnya. Pada 27 Januari 1981 kecelakaan KMP Tampomas II menewaskan 431 penumpang. Sementara, kebakaran kapal laut Lavina I, dua pekan lalu, menewaskan lebih 50 orang.

Pada masa kolonial perusahaan pelayaran ditangani oleh KPM (Koninklijke Paketvaard Matchappij) yang memiliki 136 armada untuk melayani seantero Nusantara. Tapi, sejauh ini hampir tak pernah terjadi kecelakaan. Dan, jumlah penumpang selalu terdata rapi sesuai dengan manifes yang tercatat. Pada 1957 perusahaan pelayaran Belanda ini diambil alih oleh Pelni.

Musibah lumpur panas Lapindo di Porong, Jatim, yang terjadi sejak Mei 2006, makin memanas ketika ribuan rakyat yang menuntut ganti rugi memblokir jalan tol, jalan arteri dan rel kereta api selama 33 jam. Tanpa ampun lagi ekonomi Jawa Timsur -- provinsi paling banyak penduduknya -- terguncang akibat aksi tersebut.

Masih banyak lagi musibah lain yang terjadi di Tanah Air, seperti banjir, tanah longsor, kecelakaan kereta api, flu burung dan berbagai penyakit lainnya yang semuanya meminta korban jiwa cukup besar.

Melihat musibah yang terjadi secara beruntun itu ada yang mengusulkan supaya Presiden SBY mengadakan ruwatan. Ruwatan biasanya diselenggarakan oleh masyarakat Jawa sebagai usaha untuk membebaskan manusia dari aib dan dosa, sekaligus menghindarkan diri agar tidak dimangsa Batara Kala (Dewa Waktu). Menurut mitologi Hindu, Batara Kala adalah putra Batara Guru (Dewa Siwa) yang berwujud raksasa. Ruwatan, yang artinya kembali ke semula, lazimnya dilaksanakan dengan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Murwakala -- lakon yang berkisah tentang Batara Kala.

Bukan hanya wayang kulit, juga dalam wayang golek terdapat istilah ngeruwat. Kira-kira menjelang pukul 12 malam, sang dalang akan memberitahukan kepada penonton bahwa Sang Batara Kala, mahluk raksasa penyebar bala, sedikit waktu lagi akan keluar. Karenanya, penonton yang tidak ingin menonton sampai selesai diminta meninggalkan arena pertunjukan, sebab mahluk raksasa itu akan memakan otak manusia, biasanya di perempatan jalan.

Karena itu, pada masa lalu sering kita jumpai ancak di perempatan jalan, berupa kembang tujuh rupa, air mawar, telur ayam dan lisong. Saya sendiri yang tidak percaya terhadap seruan sang dalang tentang Batara Kala, sengaja pulang pukul satu dinihari. Ternyata tidak memperoleh halangan apa-apa.

Di kota metropolitan Jakarta ini ternyata masih banyak warga yang percaya pada hal-hal yang bersifat tahayul. Kita masih ingat isu-isu tentang Kolor Ijo yang dikabarkan punya hobi memperkosa cewek untuk meningkatkan ilmu hitamnya. Saat itu, bambu kuning dan daun kelor banyak dicari warga pinggiran Jakarta. Mereka percaya bila bambu kuning dan daun kelor dipasang di depan pintu rumah akan terhindar dari sang Kolor Ijo.


(Alwi Shahab )

Nama Batavia Jadi Jakarta

Pemilihan kepala daerah (pilkada) yang merupakan pesta demokrasi tingkat Jakarta akan berlangsung bulan Juni 2007. Jakarta sejak awal proklamasi (1945) sampai saat ini telah memiliki tiga orang wali kota dan delapan gubernur. Sedangkan pada masa kolonial 1619-1942 tercatat 66 orang gubernur jenderal. Terakhir adalah gubernur jenderal A.W.L. Tjarda van Stankeborg Stachouwer. Setelah tanggal 5 Maret 1942 kota Batavia jatuh ditangan Balatentara Jepang, pada 9 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat pada Jepang.

Balatentara Jepang langsung mengeluarkan UU tentang 'Perobahan Pemerintahan Daerah'. Pulau Jawa dibagi dalam satuan-satuan daerah yang disebut Syuu (keresidenan). Keresidenan dibagi dalam beberapa Ken (kabupaten) dan shi (stadgementer). Yang terakhir ini mengerjakan segala pemerintahan daerah di dalam lingkungan daerahnya. Seperti regent (bupati), wedana, asisten wedana, lurah, kepala kampung atau wijkmeester.

Begitu menaklukkan Belanda, Jepang merubah nama Batavia dengan Jakarta. Pada masa Jepang ini dibentuk RT-RW yang berlangsung hingga kini. Nama-nama jalan dan gedung dari nama Belanda diganti dengan nama Jepang. Sejumlah patung tokoh Belanda ditumbangkan. Seperti patung pendiri Batavia J.P.Coen di halaman Departemen Keuangan sekarang.

Mula-mula rakyat Indonesia menyambut baik kedatangan balatentara Jepang. Mereka menjanjikan kemerdekaan dan menggembleng rakyat Indonesia untuk membantu balatentara Jepang yang tengah berperang dengan Sekutu (AS dan Inggris). Hingga kala itu ada semboyan 'Amerika kita strika' 'Inggris kita linggis'. Tapi kehidupan rakyat sangat terpuruk dan kelaparan terjadi di mana-mana.

Dalam foto terlihat suasana memperingati genap setahun perang Asia Timur Raya pada 8 Desember 1942 di Lapangan Gambir (kini Monas). Rapat umum yang dihadiri puluhan ribu warga Jakarta ini dihadiri oleh para pembesar Jepang. Termasuk Jenderal Okazaki, Panglima AD Jepang di Jawa yang membacakan sambutan 'Tenno Heika' (kaisar Jepang). Ir Sukarno, yang menjadi Ketua Kehormatan Rapat Umum tersebut, seperti disebutkan majalah 'Djawa Baroe' terbitan pendudukan Jepang menyatakan bulatnya semangat rakyat menyokong membangunkan masyarakat baru.

Di foto terlihat bendera Jepang siap untuk dikibarkan dihadapan sekitar 30 ribu warga Jakarta yang mendatangi Lapangan Gambir (Monas). Dewasa ini pemerintah Jepang menghadapi tuntutan agar meminta maaf terhadap kekejamannya menjadikan wanita-wanita di kedua negara sebagai budak seks tentara pendudukan Jepang. Indonesia sendiri yang selama 3,5 tahun dijajah Jepang juga menghadapi kekejaman yang sama. Beberapa tahun lalu pernah wanita-wanita Indonesia yang menjadi korban seks tentara Jepang menuntut ganti rugi.


(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Ketika Sepeda Merajai Jakarta

Sekarang kita jarang melihat orang bersepeda di jalan-jalan Ibukota. Hanya di daerah Jakarta Kota dan Priok masih ada ojek sepeda. Kemacetan lalu lintas di Ibukota sudah tidak ketolongan lagi, sehingga naik sepeda bisa membahayakan. Bisa-bisa tertabrak mobil atau motor yang berselewiran tiada henti.

Sepertinya naik sepeda sekarang sudah diharamkan di Jakarta. Padahal, di negara-negara maju, demi kesehatan masyarakatnya, mereka kembali banyak menggunakan sepeda. Dalam sistim aerobik, naik sepeda mendapat nilai tinggi dalam menjaga kebugaran tubuh dan mencegah penyakit jantung.

Kalau sekarang ada jalur khusus untuk bus Trans Jakarta yakni bus way, pada zaman kolonial ada jalur demikian untuk mereka yang bersepeda. Masyarakat, ketika itu dan sampai awal 1960-an, menggunakan sepeda untuk keperluan sehari-hari. Baik saat ke kantor, ke pasar, dan menonton bioskop, maupun ke tempat-tempat rekreasi.

Pertengahan tahun 1950-an, saat SMP, saya dan teman-teman tiap hari bersepeda ke sekolah. Kalau sekarang ada tempat parkiran khusus untuk motor dan mobil, ketika itu di sekolah-sekolah, bioskop dan kantor ada tempat untuk menyimpan sepeda. Pokoknya ketika itu, naik sepeda tidak membahayakan dan hampir tidak pernah terjadi kecelakaan. Bahkan, kita bisa saling ngebut, atau berpacaran dengan naik sepeda.

Ketika itu ada pajak khusus yang disebut peneng untuk sepeda. Saya lupa nilainya. Yang jelas pajak sepeda harus dibayar tiap tahun. Belanda dan juga RI pada awal kemerdekaan menerapkan wet atau peraturan yang ketat dalam soal pajak. Naik sepeda yang pajaknya sudah kadalursa bisa kena denda. Bukan hanya sepeda, kala itu ada peneng becak, gerobak, sado dan delman.

Orang harus mengunci sepedanya yang diparkir. Karena, ketika motor masih bisa dihitung dengan jari, pencurian sepeda sering terjadi. Yang banyak dicuri adalah berko -- semacam beteri yang digesekkan pada ban sepeda untuk menyalakan lampu. Karena, naik sepeda pada malam hari tanpa menyalakan lampu akan kena denda. Demikian juga becak, sado dan delman. Bahkan, juga ada pajak radio. Pada 1963, ketika TVRI mulai mengudara ada pajak televisi.

Sampai pertengahan 1960-an, pegawai kantor pos saat mengantarkan surat-surat menggunakan sepeda. Tidak heran kalau pada pukul 07.00 pagi ratusan pegawai pos berhamburan dari kantor pos di Pasar Baru, Jakarta Pusat, ketempat yang menjadi tugas mereka. Tidak ketinggalan para penagih rekening bersepeda melaksanakan tugas keliling kota.

Warga Eropa, ketika pergi ke kantor di Kota dari Weltevreden (sekitar Gambir dan Pasar Baru), banyak yang menggunakan sepeda, yang saling berseliweran keliling kota Jakarta kala itu. Mereka memakai sepeda merek Batavus atau Fingers sistem doortrap (injak maju dengan rem kaki). Orang pribumi yang kaya menyukai sepeda Raleigh yang penuh aksesoris dan jika berjalan berbunyi tik ..tik ..tik.

Sepeda Raleigh berharga mahal. Orang yang menggunakannya dengan memakai capio (seperti kopiah koboi) dengan baju sadaria dan arloji saku menandai ia orang berdoku. Di lengannya terdapat akar bahar yang dipercaya sebagai obat anti rematik. Sedangkan di jarinya terdapat serentetan cincin batu, seperti blue safier, kecubung dan akik yang katanya punya khasiat-khasiat. Yang pasti, setelah makan pemakainya akan menjadi kenyang.

Pada tahun 1950-an-1060-an, sepeda motor terkenal seluruhnya buatan Eropa, seperti Java, Norton dan BSA. Motor buatan Jepang, apalagi Cina, belum satu pun yang nongol. Yang juga cukup banyak adalah motor buatan Itali, seperti skuter merek Vespa dan Lambretta. Juga ada motor Mobilette dan Ducati. Tapi, harganya tidak terjangkau untuk orang kampung. Hanya orang gedongan dan tajir saja yang bisa memilikinya. Waktu itu nampang sambil naik motor gampang dapat cewek. Hingga ada istilah 'cewek bensin'.

Sampai awal 1960-an, di kampung saya -- Kwitang, Jakarta Pusat -- masih terdapat orang-orang Indo Belanda. Menurut Ridwan Saidi, akses orang Betawi di lingkungan Belanda totok atau Indo paling sedikit melalui tiga saluran. Hubungan pekerjaan, sosial dan percintaan.

Hubungan percintaan tampaknya mengawali jenis hubungan lain, dan jauh sebelum era perbudakan mencapai zaman emasnya. Yakni, pada periode Gubernur Jenderal Albertus van der Parra (1761-1775). Gubernur Jenderal yang hidupnya sangat mewah ini tiap tahun mengimpor sekitar lima ribu budak. Di samping juga mengekspornya ke mancanegara. Dia juga membangun Istana Weltevreden di Senen, yang kini menjadi RS Pusat Angkatan Darat, Gatot Subroto.

Kisah asrama terjalin dengan mudah, karena orang Eropa yang datang ke Indonesia pada awal penjajahan tidak disertai istri. Di samping Erberveld senior yang kawin dengan gadis Siam, gubernur jenderal Raffles, menurut Ridwan, juga menjalin cinta dengan wanita pribumi.

Kisah cinta Multatuli tidak kalah menariknya dengan cerita perjuangannya membela rakyat Lebak, Banten, menghadapi Belanda dan para bangsawan bangsanya sendiri. Tapi, kisah asmara yang paling legendaris adalah Nyai Dasima dengan tuan Willem yang berkebangsaan Inggris. Kisahnya terjadi pada masa Raffles saat Inggris berkuasa di Nusantara.


(Alwi Shahab )

Melestarikan Megaria

Mendatangi bioskop Megaria 21 yang terletak di sudut persimpangan tiga jalan yang cukup ramai Jl Diponegoro, Jl Cikini Raya dan Jl Proklamasi, Jakarta Pusat saya teringat peristiwa tahun 1951, atau 57 tahun lalu. Saat bioskop elite ini masih bernama Metropole digala-premiere-kan, setelah dibangun pada bulan Agustus 1949. Empat tahun setelah proklamasi kemerdekaan RI dan saat-saat delegasi Indonesia di bawah pimpinan Wakil Presiden/PM Mohammad Hatta tengah mengadakan perundingan dengan Belanda pimpinan PM Drees di Den Haag.

Tidak ada perubahan mencolok ketika gedung bioskop ini masih bernama Metropole. Hanya loket penjualan tiket yang dulu terletak di bagian luar kini menjadi tempat pijat refleksi. Tempat penjualan tiket kini terletak di bagian dalam, melayani enam bioskop dari kelompok 21. Di samping kanan bioskop, yang dulu berupa toko-toko tekstil, kini diisi barber shop, pedagang empek-empek, wartel dan rumah makan ayam kambali. Di sini juga terdapat kantor sekuriti Metropole, induk dari bioskop Megaria 21.

Saat-saat Metropole mulai beroperasi 57 tahun lalu, bioskop ini memutar film Anne Gets Your Gun produksi MGM (Metro Goldwyn Mayer), dengan simbol kepala singa yang tengah mengaum. Untuk selanjutnya Metropole tetap memutar film-film produksi MGM. MGM ketika itu memproduksi film-film kolosal, seperti Ben Hur dan Cleopatra. Bioskop ini pula yang memelopori film tiga dimensi. Meskipun demikian, sekali-kali memutar film Indonesia berkat perjuangan Usmar Ismail yang mendirikan perusahaan Perfini pada 1950 dan setahun kemudia Djamaluddin Malik mendirikan Persari.

Beberapa tahun setelah penyerahan kedaulatan, saat semangat nasionalisme masih tinggi, nama-nama asing pun diganti. Metropole pun berubah nama menjadi Megaria. Di Indonesia sendiri bisnis bioskop telah dimulai tahun 1905, atau 102 tahun lalu. Tapi, ketika itu pendirinya orang-orang Belanda. Bisnis film atau bioskop baru diminati cukong Cina menjelang sukses komersialnya film Terang Boelan (1937) yang dibintangi oleh Roekiah. Dia adalah ibu dari penyanyi dan aktor almarhum Rachmat Kartolo. Saat itu lebih 60 persen bioskop di Hindia Belanda milik orang Cina.

Kembali kepada bioskop Megaria, dari segi arsitektur dan usianya yang lebih 50 tahun, tidak disangsikan merupakan gedung yang telah ditetapkan oleh Pemda DKI Jakarta sebagai cagar budaya yang harus dilindungi. Apalagi rekan-rekan bioskop seangkatannya, bahkan lebih tua seperti Capitol dan Astoria, di Pasar Baru, sudah almarhum. Keduanya kini menjadi pertokoan. Bioskokp Menteng, yang letaknya bersebelahan dengan Lapangan Persija, nasibnya juga sami mawon.

Tidak heran, masyarakat terutama para seniman menjadi heboh, ketika tersiar berita akan dijualnya bioskop Megaria. Kehebohan merebak menyusul munculnya penawaran penjualan gedung bioskop berusia lebih setengah abad ini di situs jual beli properti, 8 Maret 2007 lalu. Bahkan dalam situs tersebut sudah ada penawar bioskop yang luasnya 11.623 meter persegi itu. Bioskop tersebut ditawarkan dengan harga jual Rp 151 miliar. Pemiliknya, yang dikatakan bertempat tinggal di Semarang, meminta harga Rp 15 juta/m, dan kini sudah ditawar Rp 11 juta/m.

Bagian belakang gedung bioskop, dekat tempat parkir kendaraan bermotor yang kini menjadi Megaria 6, dulunya adalah perumahan militer. Di sebelahnya terdapat Hero Super Market. Gedung ini, menurut Dinas Sejarah dan Permuseuman DKI, mempunyai nilai sejarah baik dilihat dari segi kelangkaan, arsitektur maupun keasriannya.

Karenanya, kata Kepala Sub Dinas Pengawasan Cagar Budaya Dinas Sejarah dan Permuseuman DKI Jakarta, Candrian Attahiyat, sekalipun tidak ada larangan untuk dijual, tapi pemiliknya dilarang membongkar bangunan. Candrian menjelaskan bahwa Megaria yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya yang dilestarikan termasuk dalam klasifikasi kelas 1. Sejauh ini, kata sarjana sejarah ini, terdapat 216 gedung yang diklasifikasikan sebagai cagar budaya di Jakarta.

Pemda DKI, katanya, tidak main-main dalam upaya memelihara dan melestarikannya sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur No 475 tahun 1993. Bahkan, menurut sejarawan yang menangani masalah cagar budaya di Jakarta itu, kini pihaknya juga tengah meneliti untuk melestarikan cagar budaya kelas B dab C. Jumlahnya hampir dua kali lipat dari golongan 1 (A).

Dalam soal Megaria, apabila terjadi jual beli dan pemiliknya mengubah bangunan tersebut, Pemda DKI akan melawan dan mengenakan sanksi. Termasuk denda. ''Kita akan melawan dan akan mempertahankan bangunan Megaria seperti sekarang ini. Bahkan kalau bagian dalamnya ingin diubah, tidak boleh dilakukan secara semena-mena tanpa seizin kita,'' kata Candrian.

Menurut keterangan, pemilik gedung bioskop Megaria, pada tahun 1970-an dan 1980-an, juga membangun Bioskokp Nedw Garden Hall yang kini berubah menjadi pertokoan Blok M Plaza. Konon, Yan Darmadi, pemilik bioskop Jakarta Theater di Jl Thamrin, Jakarta Pusat, pernah ditolak ketika ia ingin membongkar bioskop tersebut dan menjadikannya sebagai pertokoan. Jakarta Theatre adalah bioskop termahal diantara bioskop Kelompok 21. Harga karcisnya Rp 25 ribu. Sedangkan Megaria, sebeluymn masuk kelompok 21, memiliki empat klas: balkon, loge, stalles dan kelas I.


( Alwi Shahab )

Ulama Betawi di Abad ke-19

Menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW, Jakarta Islamic Centre di Kramat Tunggak, Tanjung Priok, 27 Maret 2007, mengadakan Seminar Genealogi Intelektual Ulama Betawi. Saya diminta menyampaikan materi tentang pemikiran dan karya ulama Betawi dari abad ke-19 sampai penjajahan Jepang.

Thomas Stamford Raffles yang berkuasa pada masa pemerintahan Inggris di Indonesia (1811-1816) pernah memuji kegigihan dakwah para ulama Betawi. Raffles selama lima tahun di Nusantara lebih banyak tinggal di Batavia, ibukota Hindia Belanda. Dia tinggal di Rijswijk (kini Jl Segara), di gedung yang sekarang menjadi Bina Graha (sebelah Istana Negara). Dulu, gedung ini pernah dinamai Raffles House.

Dalam salah satu pidatonya pada peringatan ulang tahun Bataviasch Genootschap -- lembaga kesenian yang para anggotanya beragama Kristen -- Raffles meminta mereka belajar pada keberhasilan para ulama dalam menyebarkan Islam. Terutama cara-cara pendekatan mereka dalam mengajarkan Alquran yang kala itu menjadi bacaan dan pelajaran di kampung-kampung Betawi.

Tampaknya, seperti juga Portugis dan Belanda, penguasa Inggris ini khawatir terhadap perkembangan Islam, hingga ia meminta organisasi Nasrani ini mencari jalan keluar mengimbangi dakwah para mubaligh.

''Jika kesuksesan para mubaligh itu dibiarkan, mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi kelangsungan penjajahan,'' kata Letnan Jenderal Gubernur Inggris itu.

Seperti layaknya meneruskan perang salib, sekalipun tidak sekeras Portugis, Belanda juga menunjukkan kebencian terhadap Islam, termasuk terhadap para mubaligh dan kiai -- figur yang dihormati di masa penjajahan.

Menurut Risalah Rabithah Alawiyah, pada tahun 1925 pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak kegiatan dakwah dan pendidikan. Di antaranya, tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama atau mengaji. Kebijakan ini -- sekalipun oleh para ulama Betawi tidak diindahkan -- lantaran sejak lahirnya Jamiat Kheir pada 1905 banyak lembaga pendidikan Islam bermunculan.

Sejak zaman VOC, kedatangan Belanda di Indonesia sudah bermotif ekonomi, politik dan agama. Dalam hak actroi VOC terdapat suatu pasal berbunyi, ''Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan, harus memperhatikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah.''

Karena tekanan yang demikian keras dari penjajah, HAMKA yang selama bertahun-tahun tinggal di perkampungan Betawi mengemukakan kekagumannya terhadap keteguhan orang Betawi memeluk Islam. Menurut HAMKA, antara penjajah dan anak negeri bagaikan minyak dan air -- meskipun keduanya dimasukkan ka dalam satu botol tapi tidak akan bisa menyatu.

Menurut HAMKA, kalau para perantau yang datang ke Betawi banyak meneruskan pendidikannya ke Belanda atau negara Eropa lainnya, orang Betawi belajar agama di Arab Saudi. Kemudian di antara mereka banyak yang berkedudukan cukup baik. Di antara mereka terdapat Syaikh Junaid Al-Betawi, kelahiran Pekojan, Jakarta Barat. Pekojan, pada abad ke-19 dan 20, banyak menghasilkan ulama terkemuka.

Pada tahun 1925, ketika Raja Ali takluk kepada dinasti Saudi, Raja Suud meminta supaya orang-orang besar, para tokoh ulama Betawi, dibebaskan. Pada tahun 1939 jamaah haji Indonesia tidak bisa kembali ke Tanah Air, karena zona laut pada awal perang dunia ke-II itu dinyatakan sebagai daerah peperangan. Raja Suud memberikan izin kepada para jamaah Indonesia untuk bermukim di negaranya.

Pekojan, di Jakarta Barat, tidak pelak lagi merupakan pusat intelektual Islam. Syaikh Junaid Al-Betawi, misalnya, dilahirkan di kampung Arab ini. Ridwan Saidi, yang ikut memberikan ceramah, menyatakan, Syekh Nawasi dan Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah murid Syaikh Junaid Al-Betawi.

Pekojan juga melahirkan banyak ulama. Antara lain, mualim Roji'un, dan Kyai Syamun. Termasuk guru Mansyur dari Kampung Lima yang pada masa revolusi fisik masjidnya ditembaki NICA, karena memasang bendera merah putih. Bahkan guru Mansyur berseru kepada penduduk, ''Betawi, rempug.''

Lahir di Pekojan pada tahun 1882, Habib Usman Bin Yahya merupakan penulis sangat produktif. Tidak kurang dari 47 kitab karangannya, sebagian besar disimpan di Arsip Nasional. Dia kemudian pindah ke Jatipetamburan, Tanah Abang. Sebelum memiliki percetakan, karangan-karangannya dengan tulisan tangan ditempelkan di Masjid Jatipetamburan. Jamaah harus mengantri untuk membacanya.

Ulama ini makin produktif menulis setelah memiliki percetakan. Tapi, karangannya harus lebih dulu diserahkan kepada pemerintah kolonial sebelum dicetak. Sebelum wafat, Habib Usman berpesan agar di makamnya tidak dibuat kubah. Dia juga menolak diadakan haul untuk memperingati kematiannya.

Di antara murid Habib Usman adalah Habib Ali Alhabsji (1870-1966), ulama kelahiran Kwitang, Jakarta Pusat. Ayahnya, Habib Abdurahman, adalah sepupu pelukis kenamaan Raden Saleh Syarif Bustaman. Ada beberapa ulama Betawi terkenal yang menjadi murid Habib Ali, seperti KH Abdullah Syafei, KH Tohir Rohili, dan KH Syafei Al-Hazami. Dia, pada tahun 1911, mendirikan madrasah Unwanul Falah di Kwitang (di samping Masjid Al-Riyad).

Pada masa revolusi fisik banyak ulama Betawi yang ikut mengomandoi rakyat agar mempertahankan kemerdekaan -- sebagai bagian dari jihad fi sabillah. Seperti KH Nur Ali dari Bekasi, Guru Mansyur (Jembatan Lima), KH Rahmatullah Sidik (Kebayoran), dan Muhammad Ali Alhamnidi (Matraman). Ada ratusan buku karangan ulama Betawi yang ditulis dalam Arab Melayu.


(Alwi Shahab )