Foto tahun 1940'an atau lebih dari 60 tahun lalu mempersiapkan para tukang binatu sedang antre mencuci pakaian di tetapi kali Ciliwung. Lokasinya di Pasar Baru Selatan, Jakarta Pusat, sekarang ini kira-kira di depan Gandhi Memorial School. Kemungkinan foto ini diambil dari arah Gedung Kesenian, depan pertokoan Pasar Baru. Terlihat Pasar Baru dengan toko-toko dengan genteng model Cina yang kini sudah tidak tersisa lagi.
Di itu waktu, umumnya warga Jakarta mencuci pakaian di sunga-sungai. Tempatnya bukan hanya di Pasar Baru seperti terlihat dalam foto. Boleh dikata, dari Meester Cornelis (Jatinegara) sampai Molenvliet (kini Jl Gajah Mada dan Hayam Wuruk) ribuan warga Jakarta mengandalkan hidupnya untuk makan tiap hari sebagai tukang cuci. Di kampung-kampung sampai tahun 1960'an banyak terdapat tukang binatu. Di samping tukang perahu dan pekerja eretan. Mereka mencuci dari pagi hingga dzuhur untuk kemudian dikeringkan. Kalau sekarang mencuci pakai deterjen hingga tinggal mencelup, dulu deterjen yang kini banyak diiklankan di televisi-televisi belum muncul. Waktu itu mencuci pakaian menggunakan tajin dan blau maksudnya supaya pakaian tetap kaku. Maklum kala itu, pakaian terutama celana terbuat dari drill dari bahgan yang tebsal. Kalau sekarang yang sedang trend; adalah jins.
Rupanya ketika itu sikat juga belum nongol. Dan pakaian setelah diberi sabun batangan, disikat dengan bagal jagung. Pada masa Bung Karno ketika dilancarkan politik berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) umumnya masyarakat mandi dengan memakai sabun batangan yang disebut sabun cuci. Maklum sabun Lux, Camay, Lifebuoy masih ngumpetdi Singapura. Kita bisa membelinya di pasar gelap di Glodok atau Pasar Ular di Tanjung Priok, yang diselundupkan dari negeri pulau itu oleh para inang.
Kalau sekarang digunakan setrika listrik, ketika itu menggunakan setrika dari arang. Sebelum disetrika pakaian di percikkan air supaya mudah. Dalam foto terlihat belasan sundung tempat membawa pakaian sebelum dicuci dan dibawa ke sungai. Sekarang tidak ada lagi orang mencuci di Ciliwung. Airnya sudah dangkal. Tidak ada lagi ikan-ikan seperti dulu. Bahkan kecebong aje enggan hidup di sini.
(Alwi Shahab , wartawan Republika )
Friday, July 06, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment