Rakyat sekarang ini makin menjerit akibat kenaikan harga beras yang terus meningkat. Sudah kagak rahasia lagi kalau kini semakin banyak rakyat memakan nasi aking, yaitu nasi sisa yang dijemur sampai kering kemudian ditanak untuk dimakan. Mereka juga makan ketela dan ubi-ubian, karena tidak sanggup lagi membeli beras. Sementara, angka pengangguran terus melonjak dan jumlah rakyat miskin terus membengkak.
Anehnya, beras operasi pasar, yang menurut pemerintah banyak sekali jumlahnya, lebih banyak diborong oleh para pedagang untuk kemudian dijual dengan harga umum. Hal ini menunjukkan lemahnya operasi pasar beras murah oleh Bulog, yang boleh dikata tidak terjadi di masa-masa lalu. Bayangkan saja, beras operasi pasar Rp 3.700 per kg dijual oleh pedagang sekitar Rp 4.500 per kg.
Menurut pengamatan saya, di negara yang sebagian besar penduduknya petani dan memiliki tanah yang subur ini, telah terjadi tiga kali krisis beras. Pertama di zaman Jepang, disusul pada masa Presiden Soekarno, dan terakhir pada masa presiden SBY sekarang ini. Kalau di dua periode sebelumnya hampir tidak terjadi musibah, sekarang ini melonjaknya harga beras disusul oleh berbagai musibah yang makin menyengsarakan rakyat.
Pada masa pemerintahan Jepang (1942-1945), jumlah rakyat Indonesia belum mencapai 70 juta jiwa. Kala itu kelaparan akibat kekurangan pangan terjadi di mana-mana. Untuk keperluan perangnya melawan sekutu, pemerintahan Dai Nippon memaksa rakyat menanam jarak yang akan dijadikan sebagai minyak. Kegiatan ekonomi lumpuh. Kongsi-kongsi dagang milik Belanda dan Cina serentak tutup. Demikian pula pasar-pasar, toko dan warung-warung. Bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari lenyap dari pasaran dan sukar dicari. Begitu menderitanya rakyat hingga untuk membeli beras harus pergi ke Bekasi dan Karawang.
Dalam keadaan perut lapar dan sulitnya pangan, keong racun (bekicot) dijadikan santapan. Sementara, para pengemis berebutan makanan di tempat-tempat sampah dengan anjing. Adalah hal biasa menjumpai seseorang meninggal di pinggir jalan karena kelaparan. Rakyat banyak yang tidak memiliki kain. Mereka memakai kain dari karet atau karung goni. Tidak heran kalau tuma (sebutan untuk kutu ketika itu) terdapat di badan-badan manusia. Obat-obatan juga sulit dicari, hingga orang beralih ke pengobatan tradisional dari nenek moyang.
Pemerintah Jepang melakukan pengawasan yang ketat terhadap harga eceran kebutuhan sehari-hari, khususnya beras. Tidak tanggung-tanggung, tugas pengawasan ini dilakukan oleh Kempetai (Polisi Militer Jepang). Mereka menyebarkan mata-mata ke mana-mana. Ada yang menyamar jadi penjual sate untuk mencari mereka yang berani menyetel radio asing. Kalau ketahuan, dibawa ke Markas Kempetai di Gambir (kini Monas). Seperti juga sekarang, banyak pedagang membeli barang-barang keperluan sehari-hari, termasuk beras, kemudian menjualnya secara spekulasi.
Mereka yang berduit -- jumlahnya kecil sekali -- memborong beras karena tahu harganya makin lama makin meningkat. Maka harga beras pun naik tanpa kendali, jauh di atas daya beli rakyat. Minyak tanah dari dua perak menjadi 22,50 perak. Sedangkan barang-barang keperluan lain seperti handuk, kemeja, kaus kaki, sabun, benang, kain katun dan tekstil naik 2-3 kali lipat dibandingkan harga sebelum perang. Uang belanja per hari keluarga terdiri enam orang sebelumnya cukup satu perak (gulden), enam bulan setelah pendudukan Jepang 3-4 rupiah per hari tidak cukup.
Anehnya, makin ketat Kempetai melakukan pengawasan semakin sulit orang mencari barang keperluan sehari-hari. Inflasi belum pernah setinggi di masa pendudukan militer Jepang, sekalipun pada masa Bung Karno pernah mencapai 360 persen (di akhir masa pemerintahannya). Di masa akhir pendudukan Jepang, untuk membeli beras orang harus membawa uang di bakul karena begitu tidak berharganya uang. Pokoknya, jangan sampai terjadi lagi kesulitan ekonomi seperti pada jaman Jepang.
Harga beras dan kebutuhan pokok juga meroket pada masa Bung Karno. Harian Sin Po edisi 3 Januari 1960 mengumumkan pemerintah menaikkan harga bensin sebesar 94 sen per liter -- dari harga lama 1,6 perak menjadi dua perak per liter. Pemerintah Jepang juga memperingatkan para pengusaha angkutan tidak boleh menaikkan tarif angkutan. Ketika itu, harga rokok putih seperti Escort, Kansas, Kresta dan Lancer, 7,5 perak per bungkus. Sedangkan Commodore dan Wembley 9,5 perak.
Rupanya, akibat kenaikan bensin, timbul keresahan dalam masyarakat, terutama akibat kenaikan harga beras. Hingga Menteri Inti Distribusi Dr Leimena menganjurkan agar rakyat tenang. Sementara, Bung Karno mengatakan, gerutuan rakyat sekarang ialah mangan sandang dan bukan bersandang pangan. Sedangkan PM Juanda yakin pemerintah telah meletakkan fondasi sehat dalam bidang ekonomi, ketika menanggapi ter jadinya kenaikan harga-harga. Harian Sin Po (11/1-1960) memberitakan bahwa beras di Surabaya menghilang dari pasaran. Kalaupun ada harganya sudah melonjak antara 10-11 perak per liter.
Saya menikah pada Desember 1961, saat masyarakat banyak yang makan bubur atau makan nasi campur jagung, karena tingginya harga beras. Seperti juga di masa pemerintahan sekarang, antre beras dan minyak tanah juga terjadi di mana-mana. Tapi Bung Karno yakin bahwa Indonesia adalah negara yang makmur gemah ripah loh jinawi. Karenanya, pada pidatonya, 17 Agustus 1964, ia memerintahkan untuk tidak impor beras lagi. Sementara, harga beras makin melonjak.
(Alwi Shahab )
Thursday, July 05, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment