Thursday, July 05, 2007

Musibah dan Tahayul

Musibah datang bertubi-tubi di negara kita. Sejak gelombang tsunami di Aceh dan Nias 24 Desember 2004, yang menewaskan lebih 200 ribu jiwa, musibah terus terjadi susul menyusul. Seperti gempa bumi di Yogyakarta yang juga menelan banyak korban. Tsunami kemudian kembali terjadi dalam skala lebih kecil di Pangandaran, pantai selatan Jawa Barat, berupa gelombang dari Lautan Hindia, yang pada masa Bung Karno pernah diganti namanya menjadi Lautan Indonesia.

Selain bencana alam, kecelakaan pesawat terbang juga terjadi beberapa kali. Pada 5 September 2005 Boeing 737-200 Mandala Airlines gagal take off dari Bandara Polonia Medan. Pesawat yang bertujuan Jakarta itu menerobos pagar Bandara dan menabrak perumahan penduduk. Dari 117 penumpang dan awaknya, hanya 17 orang yang selamat. Selain itu, 41 penduduk yang tinggal dekat bandara juga tewas. Berikutnya adalah kecelakaan pesawat Adam Air, berjenis Boeing 737-300, yang diduga jatuh ke laut di lepas Pantai Mamuju. Seluruh penumpang dan awak pesawat --lebih dari 100 orang -- belum ditemukan sampai saat ini.

Di lautan juga terjadi beberapa kecelakaan kapal laut. KMP Senopati Nusantara yang mengangkut 500 penumpang dan 25 ABK tenggelam pada 30 Desember 2006. Hingga kini baru ditemukan korban selamat 79 orang. Sebelumnya (8/7-2005), KMP Digoel mengalami kecelakaan di Laut Arafuru, Maluku. Sebanyak 84 penumpang tewas dan lebih 100 penumpang lainnya belum diketahui nasibnya. Pada 27 Januari 1981 kecelakaan KMP Tampomas II menewaskan 431 penumpang. Sementara, kebakaran kapal laut Lavina I, dua pekan lalu, menewaskan lebih 50 orang.

Pada masa kolonial perusahaan pelayaran ditangani oleh KPM (Koninklijke Paketvaard Matchappij) yang memiliki 136 armada untuk melayani seantero Nusantara. Tapi, sejauh ini hampir tak pernah terjadi kecelakaan. Dan, jumlah penumpang selalu terdata rapi sesuai dengan manifes yang tercatat. Pada 1957 perusahaan pelayaran Belanda ini diambil alih oleh Pelni.

Musibah lumpur panas Lapindo di Porong, Jatim, yang terjadi sejak Mei 2006, makin memanas ketika ribuan rakyat yang menuntut ganti rugi memblokir jalan tol, jalan arteri dan rel kereta api selama 33 jam. Tanpa ampun lagi ekonomi Jawa Timsur -- provinsi paling banyak penduduknya -- terguncang akibat aksi tersebut.

Masih banyak lagi musibah lain yang terjadi di Tanah Air, seperti banjir, tanah longsor, kecelakaan kereta api, flu burung dan berbagai penyakit lainnya yang semuanya meminta korban jiwa cukup besar.

Melihat musibah yang terjadi secara beruntun itu ada yang mengusulkan supaya Presiden SBY mengadakan ruwatan. Ruwatan biasanya diselenggarakan oleh masyarakat Jawa sebagai usaha untuk membebaskan manusia dari aib dan dosa, sekaligus menghindarkan diri agar tidak dimangsa Batara Kala (Dewa Waktu). Menurut mitologi Hindu, Batara Kala adalah putra Batara Guru (Dewa Siwa) yang berwujud raksasa. Ruwatan, yang artinya kembali ke semula, lazimnya dilaksanakan dengan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Murwakala -- lakon yang berkisah tentang Batara Kala.

Bukan hanya wayang kulit, juga dalam wayang golek terdapat istilah ngeruwat. Kira-kira menjelang pukul 12 malam, sang dalang akan memberitahukan kepada penonton bahwa Sang Batara Kala, mahluk raksasa penyebar bala, sedikit waktu lagi akan keluar. Karenanya, penonton yang tidak ingin menonton sampai selesai diminta meninggalkan arena pertunjukan, sebab mahluk raksasa itu akan memakan otak manusia, biasanya di perempatan jalan.

Karena itu, pada masa lalu sering kita jumpai ancak di perempatan jalan, berupa kembang tujuh rupa, air mawar, telur ayam dan lisong. Saya sendiri yang tidak percaya terhadap seruan sang dalang tentang Batara Kala, sengaja pulang pukul satu dinihari. Ternyata tidak memperoleh halangan apa-apa.

Di kota metropolitan Jakarta ini ternyata masih banyak warga yang percaya pada hal-hal yang bersifat tahayul. Kita masih ingat isu-isu tentang Kolor Ijo yang dikabarkan punya hobi memperkosa cewek untuk meningkatkan ilmu hitamnya. Saat itu, bambu kuning dan daun kelor banyak dicari warga pinggiran Jakarta. Mereka percaya bila bambu kuning dan daun kelor dipasang di depan pintu rumah akan terhindar dari sang Kolor Ijo.


(Alwi Shahab )

No comments: