Berbelok kearah kiri dari stasion KA Beos (Jakarta Kota), terletak Jl Pangeran Jayakarta, Jakarta Barat. Sebagai bagian dari pusat bisnis Glodok, jalan itu sangat padat. Di sepanjang jalan hingga ke ujung Jl Gunung Sahari dekat Ancol, Jakarta Utara, hampir tidak terdapat rumah penduduk karena dipenuhi toko, perkantoran dan pedagang kaki lima.
Kita sengaja mengangkat jalan yang dimasa Belanda bernama Jacatraweg, karena kawasan yang berada agak di luar tembok kota Batavia itu dulu merupakan kawasan elit. Nama Jacatraweg pada masa kolonial tidak ada kaitan dengan Pangeran Jayakarta. Tapi di tempat ini dulu terdapat sebuah benteng bernama Jacatra.
Di masa kolonial, para kompeni yang banyak melakukan korupsi mendirikan rumah-rumah dan vila-vila mewah di tepi sungai Ciliwung yang kala itu airnya masih jernih. Ciliwung juga dijadikan tempat pemandian dan pangkalan perahu untuk saling berkunjung antar tetangga. Sementara para pedagang kue dan sayur berseliweran menawarkan barang dagangan.
Pada masa gubernur jenderal Van der Parra, yang membangun vila mewah di tepi Ciliwung, di sungai itu secara tetap diadakan festival-festival meriah. Para elit Belanda dan istri mereka berdansa di pelataran yang telah didekorasi secara mewah hampir semalam suntuk. Pesta itu guna merayakan ulang tahunnya. Ia lahir pada 29 September 1763.
Gubernur jenderal yang membangun istana di Weltevreden (kini menjadi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto) Senen itu tiap tahun mengimpor empat ribu budak dari Malabar, Koramandel, Srilangka, dan dari berbagai tempat di tanah air, terbanyak dari Bali.
Buruknya nasib para budak belian di Batavia, tergambar pada tulisan Pierre Poivre, seoranbg Prancis yang memperoleh pendidikan di pekabaran injil, dan pada Januari 1741 mengunjungi Batavia, ''Tak ada yang lebih mengharukan melihat manusia yang lahir bebas seperti semua manusia lain, dipaksa dengan kekerasan menjadi budak. Ribuan manusia di rantai dua-dua pria dan wanita, dipaksa melewati hari-hari menyedihkan dengan beban kerja yang sangat berat dan sedikit saja kesalahan akan dihukum dengan cara sangat kejam.''
Diantara hukuman itu ada yang dicabik srigala, digantung, dibakar hidup-hidup, dan ditombak. Hukuman kejam itulah yang paling sering terjadi di Batavia terhadap para budak belian.
Pernah terjadi peristiwa sangat penting pada masa kolonial di kediaman para elit Eropa itu. Dimulai pada Minggu, 28 Desember 1741. Dari pintu kota -- Nieuwpoort (Pintu Besar) -- keluar seorang pria Jawa. Ia menyeberang ke jembatan Jassenburg (kini Jembatgan Batu, dekat stasion KA Kota) melalui Gereja Portugis menuju Jacatraweg. Siangnya hujan turun deras hingga jalan-jalan sangat becek.
Orang Jawa yang berusia sekitar 30 tahun dengan postur tubuh yang tegap dan wajah lumayan tampan itu mengambil jalan di pinggir-pinggir rumah menghindari lumpur. Dia seorang keturunan ningrat dari kesultan Yogyakarta. Dandanannya rapi mengenakan stagen (ikat kepala) dari kain batik yang mahal. Sebuah keris terselip di pinggangnya. Gagangnya dari kayu kemuning disepuh emas.
Setelah melihat kanan kiri, dia akhirnya memasuki sebuah rumah yang cukup luas di Jacatraweg (sejak 1985 dijadikan showroom Toyota Motor). Pemuda itu adalah Raden Kartadria. Ia mendatangi kediaman Pieter Erberveld -- seorang keturunan Jerman dan ibu Jawa -- yang konon ingin melakukan pemberontakan pada malam 31 Desember 1741. Pieter yang telah berusia 50-an tahun digambarkan sebagai seorang yang masih tampak gagah. Badannya keker seperti anak muda.
Raden Kartadria -- yang datang bersama belasan pengikutnya -- melaporkan bahwa dia sudah menyiapkan kekuatan 17 ribu orang. Mereka dilengkapi senjata dan dihari penyerangan satu malam di muka mereka akan tiba di Batavia, kata Raden Kartadria.
''Tuan Gusti,'' katanya kepada Pieter, ''Bagaimana alpa itu orang kafir kalau ia orang sedang rayakan hari taon baru. Di malam penutup tahun lama biasanya ia orang plesir sepuas-puasnya dan minum sampai mabuk-mabukan. Maka dalam itu keadaan ia orang tidak nanti sanggup mencegah kita untuk merebut pintu kota dan pintu benteng di waktu fajar.''
''Ya Raden,'' jawab Pieter, ''Apakah kau sudah kasih perintah dengan tegas supaya tidak satupun orang kulit putih boleh dikasih ampun. Lelaki, perempuan, tua, muda dan anak-anak mesti dibunuh semua.''
Tapi, pembicaraan itu didengar oleh putri Pieter, yang kala itu tengah mabok kepayang karena kasmaran dengan seorang perwira kompeni. Rupanya orang yang tengah dilanda cinta rela memberitahukan rencana ayahnya itu kepada kekasihnya. Yang kemudian memberitahukan kepada gubernur jenderal Zwaarderoom (dikubur di Gereja Portugis, tak jauh dari monumen pembantaian Pieter dan para pengikutnya).
Pieter, R Kartadria dan para pengikutnya dieksekusi mati pada April 1722. Begitu kejamnya sehingga badan Pieter dan pengikutnya tercabik-cabik ketika mereka diikat dan dilarikan empat ekor kuda yang berlawanan arah. Hingga daerah yang berhadapan dengan Jl Pangeran Jayakarta hingga kini bernama Kampung Pecah Kulit.
Sebelum kedatangan Jepang (1942), monumen yang di atasnya ditaruh tengkorak Pieter masih terdapat di belakang kediaman rumahnya. Tidak bedrapa jauh dari kediaman Pieter -- disebuah jalan kecil -- terdapat makam R Kartadria yang diberi kelambu. Rupanya masih banyak orang yang menziarahinya -- terlihat dari tumpukan surat Yasin dan bau gbaharu yang menyengat.
(Alwi Shahab )
No comments:
Post a Comment