Mantan presiden Irak Saddam Hussein pekan lalu dihukum gantung. Dia maju untuk menghadapi kematian dengan memegang Alquran dan mengucapkan kalimat syahadat.
Lepas dari kesalahan Saddam yang dituduh bertindak kejam terhadap lawan-lawan politiknya saat masih berkuasa, eksekusi itu mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan di dunia. Mantan PM Malaysia Dr Mahathir Mohammad, misalnya, menilai justru Presiden George Bush dan PM Tony Blain penjahatnya. Keduanya, kata Mahathir yang dikenal vokal terhadap Barat, justru lebih belepotan darah orang Irak karena ulah mereka lebih kejam dibanding Saddam.
Sejak AS dan sekutunya menyerbu Irak, tidak kurang 650 ribu warga Irak mati terbunuh. Jumlah korban invasi militer itu masih ditambah 3.000 warga AS yang tewas terbunuh di Irak dan belasan ribu lagi menjadi invalid seumur hidup. Seharusnya, kata Mahathir, Bush yang mesti diadili untuk mempertanggungjawabkan kejahatan perangnya.
Mendiang presiden Sukarno dalam pidato 17 Agustus 1965 berjudul Tahun Berdikari mengeritik AS, karena dengan bom-bom napalm yang sangat dasyat ketika itu membombardir kota-kota dan desa-desa di Vietnam. ''Kaum imperialis,'' kata Bung Karno, ''paling suka menyebut dirinya beradab. Mereka juga paling suka menganggap kita-kita biadab. Sehingga mereka harus datang dengan pasukan-pasukannya, armada-armadanya, dengan pangkalan-pangkalkan perangnya untuk mengajarkan peradaban.
Mereka yang datang dari jarak 20 ribu km, mereka itu menganggap sebagai pembela perdamaian. Sedangkan rakyat Vietnam yang tinggal di negerinya sendiri dianggap agresor'. Salah satu harus gila. Apakah rakyat Vietnam atau AS. Kedua-duanya gila tak mungkin. Saudara-saudara bisa menyimpulkan sendiri mana yang gila dan mana yang waras.''
Kalau di Irak Bush mengakui AS menghadapi kekalahan, di Vietnam lebih memalukan lagi. Setelah kewalahan menghadapi para pejuang Vietnam, AS akhirnya menarik pasukannya. Ribuan prajurit AS tewas, jauh lebih banyak dibanding yang tewas di Irak.
Di Jakarta, pada masa kolonial sampai akhir abad ke-19, di depan gedung Balaikota Batavia yang kini menjadi Museum Sejarah DKI Jakarta, terdapat tiang gantungan.
Salah seorang yang dieksekusi di tiang gantungan itu adalah Bang Puase. Dia adalah seorang jagoan dari Kwitang, Jakarta Pusat. Dia dihukum gantung karena dituduh membunuh Nyai Dasima, seorang nyai rupawan dari Kuripan, Ciseeng, Parung, Bogor. Eksekusi itu terjadi pada tahun 1813 pada awal kekuasaan Inggris (Raffles) di Indonesia.
Di Kampung Kwitang, tiap Ahad kini ada pengajian Habib Ali yang didatangi ribuan warga dari Jabotabek. Konon, Bang Puase dilahirkan di salah satu tempat yang sampai tahun 1960-an bernama Gang Mendung, di Kampung Kwitang. Mungkin dia dilahirkan saat Ramadhan hingga dinamakan demikian.
Kisah itu kemudian menjadi latar belakang novel historis Nyai Dasima karya G Francis yang ditulis dalam bahasa Melayu rendah pada tahun 1893 83 tahun setelah eksekusi itu terjadi. Pengarang-pengarang Belanda kala itu selalu menjelek-jelekkan mereka yang berani melawan pemerintahan kolonial. Tokoh Si Pitung, miaslnya, dalam versi kolonial digambarkan sebagai penjahat kejam, pembunuh berdarah dingin dan tidak berkemanusiaan. Padahal, yang dirampoknya adalah harta milik petinggi kolonial dan para tuan tanah yang memeras rakyat.
Dalam novel Nyai Dasima, G Francis juga memuji setinggi langit kebaikan Tuan Edward Willem, seorang petinggi Inggris yang bersama istri piaraannya (Dasima) dan putrinya (Nancy) tinggal di dekat kantor Dirjen Perhubungan Laut, di Jalan Medan Merdeka Timur sekarang ini.
Francis juga menjelek-jelekkan Islam bahwa Dasima rela meninggalkan suami dan putrinya karena diguna-guna oleh Haji Salihun yang menerima bayaran dari Samiun. Haji Salihun memberikan dua bungkus obat bubuk melalui Mak Buyung, seorang penjual telur. Salah satu obat itu diberikan kepada Nyai Dasima agar hatinya goncang dan membenci Tuan Willem.
Dalam karya yang juga berjudul Nyai Dasima, seniman Betawi SM Ardan telah meluruskannya. Menurut versinya, Nyai Dasima bersedia meninggalkan tuan kumpul kebonya setelah diingatkan bahwa menurut Islam kawin tanpa nikah adalah berzina dan dosa besar.
Menurut versi Francis, setelah menikah dan jadi istri kedua Samiun, suaminya ini dengan dalih agama mengambil seluruh harta Nyai Dasima. Ketika Dasima minta cerai, Samiun menyuruh Bang Puase untuk membunuhnya. Sedang dalam versi Ardan, Bang Puase membunuh Dasima atas pesanan istri pertama Samiun, yakni Hayati.
Versi lain menyebutkan, Bang Puase membunuh Nyai Dasima untuk melampiaskan kebenciannya terhadap perempuan piaraan orang asing, yang menurut Islam adalah zinah. Dia tidak rela Nyai Dasima perempuan piaraan Tuan Willem berada di kampungnya. Diduga, Nyai Dasima dibunuh di tengah jalan (di dekat Hotel Aryaduta atau di depan Toko Buku Gunung Agung kini), ketika naik sado bersama Samiun untuk nonton Hikayat Amir Hamzah.
Setelah melalui proses pengadilan kolonial yang sering direkayasa, akhirnya Bang Puase dieksekusi di halaman depan pengadilan Belanda (kini menjadi Museum Sejarah Jakarta). Dia melangkah ke tiang gantungan tanpa rasa takut. Kalau Saddam mengucapkan syahadat, Bang Puase bertakbir.
(Alwi Shahab )
No comments:
Post a Comment