Serpong kini masuk wilayah Tangerang, Propinsi Banten. Nama Serpong makin kesohor sejak dibangunnya kota mandiri Bumi Serpong Damai (BSD). Tiba-tiba daerah yang semula agak terpencil kini menjadi daerah elite. Puluhan tempat hiburan, mal, pusat keramaian bermunculan di BSD. Belum lagi rumah-rumah mewah yang harganya mencapai miliaran rupiah.
Sebelum ada BSD, Habibie ketika menjabat Menristek memanfaatkan kawasan, yang oleh orang kota dulu disebut daerah udik, itu untuk Puspitek atawa Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Entah dari mana nama serpong, tapi nama itu berdekatan dengan kata semprong -- pipa bulat yang digunakan untuk meniup api ketika ibu-ibu sedang memasak dengan bahan bakar kayu atau arang.
Serpong punya sejarah yang patriotik. Di sini ada Makam Pahlawam Seribu. Dinamakan demikian karena di tempat ini dimakamkan secara massal para pejuang rakyat yang tewas dalam pertempuram melawan NICA (Belanda) saat rervolusi fisik 1945 berkecamuk. Sebelum masuk wilayah Banten, Serpong pernah diusulkan untuk menjadi ibukota kabupaten Tangerang.
Nama Manggarai lebih banyak dikenal setelah pemerintah kolonial membangun stasion kereta api. Sebelumnya, kawasan ini lebih dikenal dengan nama Pasar Rumput, karena pada masa kolonial merupakan pusat penjualan rumput di Batavia. Maklum, ketika itu angkutan yang mendominasi kota adalah delman dan sado. Di Jalan Sultan Agung -- salah satu pusat perdagangan di Manggarai -- terdapat markas CPM Guntur.
Pada masa Bung Karno banyak tahanan politik yang dipenjarakan di markas CPM Guntur. Konon, markas CPM itu dulunya adalah tempat para pedagang rumput berjualan. Di situ juga terdapat kobongan -- tempat kuda-kuda makan dan minum. Nama, Manggarai berasal dari nama-nama budak belian yang ditempatkan pemerintah kolonial. Budak-budak itu berasal dari Manggarai, Flores.
Pada masa Belanda, Jalan Sultan Agung menjadi salah satu pusat penjualan sepeda di Jakarta, bernama Jan Pieterzoon Coen Weg -- untuk mengabadikan pendiri kota Batavia. Penggantian nama menjadi Jl Sultan Agung setelah kemerdekaan sangat tepat, karena sultan dari Kerajaan Islam Mataram itu dikenal sangat membenci Belanda. Dia dua kali dia menyerang Batavia pada 1628 dan 1629. Sekalipun gagal tapi cukup merepotkan penjajah.
Berdekatan dengan Manggarai terletak Kampung Bukitduri. Belanda dulu sengaja menjadikan kampung ini sebagai koridor untuk daerah Menteng yang jadi hunian orang-orang Belanda. Koridor itu dibuat Belanda untuk mencegah masuknya penyakit dari luar ke Menteng. Maklum, penduduk Bukit Duri umumnya orang kampung. Belanda paling tidak senang pada orang kampung.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), banyak kekejaman yang dilakukan oleh tentara Dai Nippon. Jepang tidak hanya pernah digugat oleh Korea dan Cina. Indonesia, tidak terkecuali, pernah melakukan gugatan. Terutama soal wanita-wanita Asia yang pernah dijadikan budak seks oleh balatentara Dai Nippon.
Lepas dari ulah tentara Jepang, sejak awal pemerintahan VOC, bila kapal-kapal VOC mendarat para awak kapal, terutama dalam pelayaran berbulan-bulan dari Eropa, menumpahkan kerinduan mereka kepada para WTS, yang sekarang diperhalus bahasanya menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial). Karena itu, sejak dulu sudah dikenal penyakit 'raja singa' yang membuat pelakunya menjadi pehong.
Maklum, kala itu penicilin belum ditemukan. Tapi, sekarang, walau pengobatan jauh lebih canggih, ada penyakit yang lebih menakutkan, yakni HIV/AIDS.
Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, sejak abad ke-19, Gang Mangga, dekat Gereja Portugis, Jakarta Barat, tersohor sebagai tempat pelacuran. Maklum, kala itu di depan stasion kereta api Beos (Jakarta Kota) berderet-deret bangunan hotel. Kalangan Taipan menyebut Gang Mangga sebagai Macao Po. Karena, para kupu-kupu malam didatangkan dari koloni Inggris, Macao.
Di samping sisi gelap selama pendudukan Jepang tiga setengah tahun, Jepang berperan dalam mengindonesiakan nama-nama dan langsung melarang nama-nama Belanda. Nama Batavia diganti Jakarta. Buitenzorg menjadi Bogor. Cherebon menjadi Cirebon dan Meester Cornelis jadi Jatinegara.
Di Jakarta banyak nama kampung berdasarkan etnis dari penduduknya. Dulu, Belanda memang mengelompokkan mereka dalam satu tempat. Seperti Kampung Ambon, merupakan nama tempat di Rawamangun, Jakarta Timur. Nama ini sudah ada sejak awal berdirinya VOC (1619).
Pada waktu itu gubernur jenderal JP Coen menghadapi persaingan dengan Inggris. Untuk memperkuat angkatan perang VOC, Coen pergi ke Ambon. Pasukan Ambon yang dibawanya dimukimkan di suatu lahan kosong di selatan kota Batavia, yang kemudian hingga kini dikenal sebagai Kampung Ambon.
Di wilayah DKI juga terdapat beberapa kampung yang menyandang nama Kampung Bali, karena pada abad ke-17 atau 18 dijadikan pemukiman orang Bali, yang masing-masing dipimpin oleh seorang pemimpin kelompok etnisnya. Untuk membedakan satu sama lainnya, dewasa ini biasa dilengkapi dengan nama kawasan tertentu yang berdekatan, yang cukup banyak dikenal. Seperti, di Jatinegara terdapat Kampung Balimester, sekalipun sekarang ini sulit ditemukan orang Bali. Perkampungan ini berdiri sejak 1667.
Di sebelah barat Jl Gajah Mada terletak Kampung Bali Krukut. Kampung Bali Angke sekarang jadi Kelurahan Angke, Jakarta Barat. Di sana terdapat masjid tua yang dibangun pada 2 April 1761. Rupanya orang-orang Bali yang dulunya merupakan budak belian kemudian banyak yang memeluk agama Islam.
(Alwi Shahab )
Thursday, July 05, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment