Tuesday, October 09, 2007

Trem Uap Mester-Pasar Ikan

Trem uap (seperti terlihat dalam foto), mulai beroperasi di Batavia (Jakarta), pada tahun 1881 menggantikan trem kuda. Trem uap yang meluncur dari Meester Cornelis (Jatinegara)-Pasar Ikan (Kota), hanya bertahan selama 18 tahun dan kemudian digantikan trem listrik pada 1899. Foto yang diambil pada awal abad ke-20 memperlihatkan trem uap tengah meluncur di salah satu tempat antara Matraman-Jatinegara. Jakarta ketika itu masih teduh dan rimbun dengan pepohonan di kiri kanan jalan.

Seorang pendatang dari negeri Belanda ke Batavia pada awal abad ke-20 menulis, dari kejauhan terdengar bunyi lonceng trem uap, persis seperti di Belanda. Di atas lokomotif berdiri masinis pribumi dengan petugas yang menyalakan api. Dua kondekturnya adalah orang Betawi muda yang berseragam tapi tanpa alas kaki.

Sementara kepala kondektur adalah seorang Eropa pensiunan tentara. Trem itu memiliki kelas satu dan kelas dua dan masih ada gerbong khusus kelas tiga untuk orang pribumi yang membayar dengan murah. Ganjilnya adalah orang Tionghoa, Arab, dan Eropa tidak diperbolehkan duduk di kelas tiga. Mereka harus naik di kelas dua yang harganya lebih mahal. Tapi juga dilarang naik kelas satu yang hanya diperuntukkan bagi warga Eropa.

Ini ada hubungannya dengan prasangka rasis gila di mana banyak orang Eropa di Hindia ini masih menganutnya. Orang-orang yang di Belanda hanya seorang pemerah susu, hanya karena mereka tidak memiliki kulit sawo matang yang indah seperti orang-orang pribumi, di Hindia mereka menganggap dirinya luar biasa.

Jaringan perhubungan dalam dan luar kota Batavia, mulai berkembang dan meluas pada paruh kedua abad ke-19 yang antara lain disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi. Pada 1873 jalan kereta api pertama dibangun antara Batavia-Buitenzorg (Bogor). Untuk lalu lintas kota pada 1869 muncul trem kuda --yang ditarik empat ekor kuda-- untuk kemudian digantikan trem uap.

Seperti terlihat dalam foto, mobil belum terlihat dan baru dikenal mulai tahun 1920-an --merupakan simnbol elitis dan ekslusif. Karena hanya orang-orang Belanda tertentu yang memilikinya. Terlihat dalam foto sado dan kereta kuda yang merupakan sarana angkutan ketika itu. Di samping sepeda yang punya jalur sendiri. Sementara kendaraan angkutan barang berupa gerobak yang selain ditarik oleh kuda, lebih banyak digerakkan oleh manusia. Kini merupakan hal langka angkutan gerobak yang ditarik oleh manusia.

(Alwi Shahab, wartawan Republika)

No comments: