Tuesday, October 09, 2007

Samrah, Ngibing dan Joged

Kota Jakarta baru saja merayakan jarig (ulang tahun) ke-480 dan suasana peringatan masih berlangsung hingga sekarang. Pemda Provinsi DKI Jakarta menetapkan tanggal 22 Juni sebagai HUT Jakarta. Pada tanggal itu, 480 tahun lalu pasukan Islam di bawah pimpinan Falatehan menghalau armada Portugis dari bandar Sunda Kalapa.

Tapi, orang Olanda (sebutan warga Betawi untuk Belanda), merayakan ulang tahun Batavia pada tanggal 30 Mei setiap tahun. Karena, pada 30 Mei 1619, gubernur jenderal JP Coen menaklukkan Jayakarta. Saat itulah mulai bercokol penjajahan di Nusantara yang berlangsung selama tiga setengah abad.

Membicarakan ulang tahun Jakarta, dianggap kurang afdol kalau tidak membicarakan keseniannya. Boleh dibilang kota metropolis ini memiliki berbagai ragam kesenian. Penduduk Betawi disebut majemuk. Konon tidak kurang 300 etnis dan bangsa berbaur dengan damai di kota yang kini berpenduduk lebih 10 juta itu. Ada Melayu, Jawa, Sunda, Padang, Batak, Bugis, Cina, Arab, India, dan masih banyak lagi. Sehari-hari mereka bergaul, saling menghormati dan membantu.

Tidak heran kalau kesenian Betawi sangat beragam. Seperti kesenian sambrah yang berasal dari Arab. Sambrah berasal dari kata bahasa Arab, samarokh, yang artinya berkumpul atau pesta. Kata samarokh oleh orang Betawi diucapkan menjadi sambrah. Dalam kesenian Betawi, sambrah menjadi jenis kesenian musik atau orkes sambrah dan tonil sambrah. Orkes atau tonil ini biasa pentas di tempat orang berkumpul dan memeriahkan pesta.

Tonil sambrah dikembangkan dari teater bangsawan dan komedi stambul. Kata stambul berasal dari Istambul, pusat kegiatan Islam pada masa dinasmi Usmani. Tonil sambrah sudah muncul di Betawi sekitar 1918. Ia termasuk kesenian yang komplit. Dalam pentasnya tergabung seni musik, pantun, tari, lawak, dan lakon. Sayangnya, pada 1940-an tonil sambrah menghilang. Baru pada 1950-an muncul kembali, tetapi namanya menjadi orkes harmonian. Sesudah masa itu, perannya digantikan oleh orkes melayu yang kini menjadi dangdut.

Berasal dari Timur Tengah, orkes gambus dulu dikenal dengan sebutan irama padang pasir. Pada tahun 1940-an, orkes gambus menjadi tontonan yang disenangi. Bagi orang Betawi, tanpa nanggap gambus pada pesta perkawinan dan khitanan terasa kurang sempurna. Orkes ini sudah ada di Betawi sejak abad ke-19 ketika banyak imigran dari Hadramaut (Yaman) datang ke Betawi. Kalau para walisongo menggunakan gamelan sebagai sarana dakwah, imigran Hadramaut menggunakan gambus.

Awalnya, orkes gambus membawakan lagu-lagu bersyair bahasa Arab, berisi ajakan beriman dan bertakwa kepada Allah dan mengikuti teladan Rasulullah. Kemudian gambus berkembang menjadi hiburan. Sekarang ini, pesta-pesta keturunan Arab banyak menghadirkan kembali gambus. Sementara para hadirin hanyut dalam pesta zapin menggerak-gerakkan badan seperti layaknya berjoget.

Berkembangnya orkes gambus tidak dapat dipisahkan dari peran Syech Albar, yang lagu-lagunya dikenal bukan hanya di Indonesia tapi juga di Timur Tengah. Syech Albar adalah ayah pemusik rock Ahmad Albar, dan ayah dari Fachri Albar, pemain film dan sinetron terkenal. Sampai 1940-an, lagu gambus masih berorintasi ke Yaman. Sejak berdirinya bioskop Alhambra (kini jadi pertokoan), yang memutar film-filmn Mesir, gambus beralih ke irama negeri Sungai Nil.

Jauh sebelum JP Coen menguasai Batavia, warga Cina sudah tinggal di kota ini. Gambang kromong dan cokek adalah salah satu kesenian Cina yang berasal dari negeri leluhur dan masih berjaya hingga saat ini. Baru-baru ini di Tangerang diselenggarakan pesta pehcun (hari keseratus Imlek). Menggambarkan meriahnya pehcun di Kali Angke, seniman Betawi, Ridwan Saidi, menceritakan ratusan perahu dan sampan berweliweran dihiasi ribuan lampion warna-warni sehingga suasana malam menjadi terang benderang. Orkes gambang keromong dan cokek, suatu kesenian Cina yang terkenal kala itu, mengiringinya.

Di tangan almarhum Benyamin Sueb, musik dan lagu-lagu gambang keromong menjadi sangat populer. Nama gambang keromong diambil dari nama alat musik yaitu gambang dan kromong. Mulanya orkes gambang keromong merupakan kegiatan masyarakat Cina saja. Setelah pemberontakan Cina 1740, karena dikejar-kejar Belanda, mereka melarikan diri ke berbagai tempat di Jakarta dan berbaur dengan masyarakat. Maka, bermain musik gambang kromong dan cokek diikuti oleh warga Betawi.

Sampai 1960-an, warga Cina kalau hajatan selalu memanggil orkes gambang keromong. Di sertai belasan penari cokek yang ngibing dengan membawa selendang yang diletakkan para tauke. Sementara, sambil ngibing, sang tauke diberi minuman memabukkan hingga teler. Kemudian, ia memberikan uang pada si penari yang dimasukkan ke bagian dadanya.

Belanda pada abad ke-17 menjadikan daerah Tugu, Cilincing, Jakarta Utara, sebagai tempat pemukiman orang Portugis setelah mereka ditaklukkan dari Malaka, Malaysia. Keturunan Portugis ini melahirkan Keroncong Tugu. Pengaruh Portugis dapat diketahui dari jenis irama lagunya. Misalnya, moresko, frounga, kafrinyo, dan nina bobo. Dari irama lagu moresko kemudian lahir Keroncong Moresko. Sampai kini keroncong yang sudah berusia hampir empat abad di Indonesia itu masih memiliki banyak penggemar. Tentunya masih banyak lagi kesenian Betawi yang merupakan hasil percampuran budaya antar-etnis dan bangsa.

(Alwi Shahab)

No comments: