Callenberg di Jerman tentu saja jaraknya ribuan kilometer dari Jakarta. Terletak di atas sebuah bukit di dekat Coburg, istana yang bernama Callenberg itu dapat kita saksikan bila berkunjung ke Rumah Sakit Dewan Gereja Indonesia (DGI) di Cikini, Jakarta Pusat. Tidak pelak lagi, bahwa gedung pimpinan RS Cikini itu adalah satu bangunan tiruan dari satu istana kecil di Callenberg (Jerman). Istana ini merupakan tempat peristirahatan yang paling disenangi oleh para adipati dari Sachsen-Cobutha-Gortha. Tapi mengapa tiruannya dibangun di Jakarta?
Kunci jawaban atas pertanyaan itu adalah riwayat kehidupan pelukis modern asal Jawa yang pertama, seorang turunan dari keluarga bangsawan Jawa Tengah: Raden Saleh Syarif Bustaman. Pelukis yang lukisan-lukisannya banyak menjadi koleksi Istana karena digemari Bung Karno, hidup antara 1811-1880. Dia dimakamkan di Bogor di Jl Pahlawan. Atas perintah Bung Karno-lah tempat meninggalnya dipugar.
Pelukis kelahiran Semarang ini, adalah saudara misan Habib Abdurahman Alhabsyi, ayah Habib Ali Alhabsyi, pendiri majelis taklim Kwitang 80 tahun lalu. Setelah belajar selama 10 tahun di Belanda, Raden Saleh kemudian ke Jerman dan di negara ini ia tertarik dengan Istana Callenberg. Maka sekembalinya di Indonesia, di tanahnya yang luas di Cikini termasuk TIM dan SMP II Cikini serta masjid Cikini dia pun membangun kediamannya meniru Istana Callenberg. Sebagai penyayang binatang, Raden Saleh telah membangun kebun binatang Cikini, di kediamannya yang luas itu.
Di Jerman, negara yang tidak mempunyai jajahan, dia tidak diperlakukan sebagai budak melainkan sederajat dengan orang sesama, suatu yang tidak mungkin terjadi di Hindia Belanda yang melakukan politik rasialis. Ketika kembali ke Batavia, Raden Saleh tidak masuk ke dalam dinas penguasa kolonial Belanda, salah satu syarat ketika ia mendapat beasiswa pendidikan di Eropa.
Beberapa karya terbaik Raden Saleh sekarang berada dalam koleksi seni istana kepresidenan. Menunjukkan kekaguman Bung Karno terhadap pelukis dari keluarga Bin Yahya. Di antaranya yang menonjol adalah ''Penangkapan Pangeran Diponegoro'' yang ia selesaikan tahun 1858.
Bertentangan dengan pelukis-pelukis Belanda yang melukis akhir dari penguasa kolonial yang berbahaya ini dari sudut pandang Belanda. Raden Saleh menunjukkan Pangeran Diponegoro, seorang bangsawan dari Kesultanan Mataram sebagai pemenang bermoral. Pangeran yang mengenakan jubah dan sorban, dengan tasbih terlihat menonjol di sabuknya, berjalan ke tahanannya di Magelang dengan muka menantang perwira Belanda yang menipunya dengan kedok mengajak berunding. Itu adalah suatu karya lukis yang revolusioner dan antikolonial yang baru dibawa Belanda kembali ke Jakarta setelah kemerdekaan.
Kediaman Raden Saleh ini kemudian dibeli oleh sahabatnya: Sayid Abdullah bin Alwi Alatas, yang memiliki sebuah rumah besar dan mewah yang kini menjadi museum tekstil di Jati Petamburan, Jakarta Pusat. Kemudian kediaman Raden Saleh ini dijual oleh Sayid Abdullah kepada Yayasan Emma, sebuah organisasi sosial Belanda. Tapi menjelang kemerdekaan rumah sakit ini oleh Belanda diserahkan kepada Dewan Gereja Indonesia (DGI).
(Alwi Shahab, wartawan Republika)
Tuesday, October 09, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment