Tuesday, October 09, 2007

Tanah Abang West (Jl Fachrudin)

Menjelang bulan suci Ramadhan, Pasar Tanah Abang tiap hari didatangi ribuan pembeli. Bukan hanya dari Jakarta dan sekitarnya, tapi dari berbagai Nusantara, bahkan pedagang dan pembeli dari luar negeri mendatangi pasar yang sudah berusia 272 tahun.

Kalau sekarang kita harus bersusah payah memasuki pasar yang dibangun Yustinus Vink (1735), seorang anggota Dewan Hindia Belanda, tidak demikian pada saat-saat pasar tersebut mulai beroperasi. Setidaknya terlihat dari foto hasil jepreten Jacobus Anthonie Meessen (September 1867), memperlihatkan Jalan Fachruddin (masa Belanda bernama Tanah Abang Barat) terletak di pinggiran pasar yang dibangun bersamaan Pasar Senen. Tanah Abang, punya riwayat sejarah panjang.

Bahkan beberapa tahun sebelum dibangunnya pasar, balatentara Mataram pimpinan Sultan Agung ketika menyerbu Batavia (1628) pasukannya bermarkas di Tanah Abang. Karena tanahnya merah (abang), askar-askar Mataram menyebutnya Tanah Abang, nama yang hingga kini masih tidak berubah.

Sementara Kapiten Cina kedua Phoa Beng Koan , yang memiliki perkebunan luas di Tanah Abang kemudian membangun kanal yang kini tersisa sebagai got besar . Dari kanal yang menyambung hingga Molenvliet (Harmoni), kapiten yang sangat tajir ini menyuplai hasil-hasil pertanian miliknya ke pusat kota (kala itu di sekitar Pasar Ikan, Jakarta Utara). Tanah Abang kala itu menghasilkan gula dalam jumlah besar, kayu jati, minyak kacang, jahe, minyak melati, dan kelapa. Sampai sekarang di bekas perkebunan masih jadi nama kampung. Seperti Kebun Kacang, Kebun Jahe, Kebun Melati, dan Kebun Jati nama kampung yang menuju ke Jati Petamburan. Banyak orang Tionghoa tinggal di sekitar Tanah Abang setelah terjadi peristiwa pembantaian kejam terhadap mereka oleh kompeni yang berpusat di Glodok, Jakarta Barat.

Anthonie mengabadikan foto ini dari perempatan Jalan Abdul Muis dan Jl Kebon Sirih Raya. Di ujung di antara pepohonan yang rindang tampak Tanah Abang Bukit dan di sebelahnya (tidak tampak) adalah Pasar Tanah Abang. Dua buah sado yang memiliki cungkup untuk tempat kusir berteduh tampak tengah membawa dagangan dari pasar ke pusat kota (Pasar Ikan).

Mereka umumnya datang dari daerah Palmerah dan Kebayoran yang masih hutan. Di sado inilah si kusir harus bermalam selama perjalanannya yang memakan waktu berjam-jam. Saat itu listrik belum ada. Penerangan di jalan raya masih menggunakan lampu gas yang baru menyala menjelang malam. Belanda pada akhir abad ke-19 membangun pabrik gas di Gang Ketapang (kini Jl KH Zainul Arifin), yang hingga kini masih berfungsi.

Pasar Tanah Abang dan kembarannya Pasar Senen kini berkembang pesat, saling menyaingi. Khusus di Tanah Abang, akibat pesatnya perkembangan pasar ke daerah-daerah sekitar membuat harga tanah di sini menjadi sangat mahal. Konon, saat ini kios di Pasar Tanah Abang harganya bisa menyaingi pusat saham Wall Street di New York, Amerika Serikat.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

No comments: