Mendatangi Bandar Sunda Kalapa kita akan mendapati puluhan kapal phinisi tengah berlabuh. Kapal layar yang berdatangan dari berbagai tempat di Nusantara ini sebagian tengah melakukan bongkar muat. Membawa kayu, semen, dan bahan bangunan lainnya untuk kebutuhan Jakarta.
Terlihat juga para kuli sibuk mengangkut bahan-bahan pokok untuk dinaikkan ke kapal-kapal itu guna dikirim ke daerah-daerah. Mungkin terdapat minyak goreng yang kini meroket harganya. Meskipun tak lagi seramai pada masa VOC, bandar Sunda Kalapa yang perannya sudah digantikan pelabuhan Tanjung Priok, masih terlihat sibuk. Lebih ramai dari palabuhan Karangantu di Banten yang pada masa lalu jadi saingan utamanya.
Di palabuhan Sunda Kalapa juga di Priok telah beberapa kali para pengemudi angkutan, pemilik barang dan ekspedisi, melancarkan demo karena tidak tahan atas merajalelanya pungli. Memang, pungli seperti juga korupsi, telah menjadi budaya di negeri ini. Para pelakunya termasuk orang dalam, tidak menyadari akibat perbuatan mereka bukan saja negara dirugikan, tetapi mengakibatkan terpukulnya para eksportir dan importir.
Orang Betawi belum pernah mendirikan kerajaan. Karenanya mereka lebih demokratis dan terbuka sekalipun di negeri ini sekarang berkumpul lebih dari 300 etnis dan suku. Tapi, orang Betawi saksi pergantian kekuasaan dari jaman ke jaman. Tanah Betawi penting karena di muara Ciliwung ada pelabuhan Sunda Kalapa.
Pada jaman Pajajaran (abad ke-12-16) Betawi merupakan bagian dari kerajaan Hindu ini. Orang Betawi sudah berbahasa Melayu dan Kerajaan Pajajaran berbahasa Sunda. Hubungan masyarakat Betawi dengan kerajaan Pajajaran sangat dekat. Karena, dari pelabuhan Sunda Kelapa ke Pakuan (Batutulis-Bogor) angkutan sungai sangat hidup yang ditempuh dalam dua hari. Sampai kini di Batutulis masih didapati prasasti bekas kerajaan Pajajaran.
Di Batutulis hanya beberapa tahun berselang pernah terjadi heboh, ketika seorang menteri dalam kabinet Presiden Megawati membongkar bekas peninggalan sejarah, mencari harta pusaka di bekas kerajaan Pajajaran. Dia melakukan hal itu karena meyakini ada harta karun milik kerajaan, yang dikatakan jumlahnya dapat menutup seluruh utang luar negeri RI.
Pada awal abad ke-16 raja di Pakuan merasa cemas akan timbulnya kekuatan baru di pesisir Jawa Timur, yang sudah merembes sampai ke perbatasan negerinya. Pasukan Demak menguasai Cirebon (akhir abad ke-15). Maka, Pajajaran meminta dukungan orang Portugis, yang baru saja merebut Bandar Malaka (1511).
Ketika itu, orang Betawi sudah banyak yang beragama Islam. Diantara penyebarnya adalah Kyan Santang, putera Prabu Siliwangi. Para pendeta Pajajaran menilai Kyan Santang melakukan penyimpangan, atau langgara. Karena itu, tempat bersembahyang mereka disebut langgar. Sampai kini orang Betawi menyebut surau dengan langgar.
Persekutuan antara Pajajaran dan Portugis mengakibatkan kemarahan bukan saja dari Kerajaan Demak tapi para walisongo. Portugis yang baru saja terlibat dalam perang salib dianggap bukan saja membahayakan persaingan dagang, tapi juga membahayakan Islam yang ketika itu tengah berkembang pesat. Sultan Trenggano dari Demak menugaskan iparnya, Fatahillah, memimpin pasukan menyerbu Sunda Kalapa.
Pada suatu hari di bulan Juni 1527 para laskar Islam pimpinan Fatahillah bergerak dari darat dan laut. Puncak pertempuran terjadi pada suatu senja di sekitar pelabuhan Sunda Kalapa. Ketika merebut bandar ini, kapal-kapal Portugis yang tiba dari Malaka dihalau. Armada Portugis yang bermaksud mendirikan benteng di mulut Ciliwung sesuai perjanjian dengan Raja Pajajaran tidak diizinkan melaksanakan maksud itu. Mereka dihalangi dan diusir dari Teluk Jakarta (1527), karena Pajajaran sudah tidak berkuasa lagi.
Sunda Kalapa diduduki orang dari Jawa Tengah, sedangkan orang Sunda yang beragama Hindu mengundurkan diri ke arah selatan. Akhirnya, ibukota Pakuan Pajajaran (Bogor) jatuh ke tangan sultan Maulana Yusuf dari Banten (1579), dan makin menyebarlah Islam di Jawa Barat.
Fatahillah memberi nama Jayakarta kepada kota yang baru direbutnya. Sebagai seorang panglima dan ulama ia mendirikan kadipaten di tepi barat kali Ciliwung, sekitar Jl Kalibesar Barat. Dia juga mendirikan aryan perumahan untuk pejabat kabupaten dan keluarganya yang di datangkan dari Banten. Seperti juga umumnya kadipaten di Jawa, di depannya terdapat sebuah masjid tempat menggembleng umat.
Menurut Adolf Heyken dalam buku Sejarah Masjid, masjid pertama di Jakarta yang dibangun dari kayu ini, terletak di sebelah selatan Hotel Omni Batavia, yakni antara Jl Kalibesar Barat dan Jl Roa Malaka Utara, di daerah Kota. Berdekatan dengan masjid, yang dibakar oleh JP Coen ketika menaklukkan Jayakarta, itu terdapat sebuah pasar yang letaknya mungkin di sekitar terminal bus dan mikrolet di Kota Inten, Jakarta Barat.
Tanah bekas masjid yang terbakar itu digunakan untuk membangun rumah perwakilan dagang Inggris. Pada Mei 1619 semua penduduk Jayakarta meninggalkan kota mereka bersama dengan tentara Banten, menuju Jatinegara Kaum, Jakarta Timur. Di sini mereka mendirikan Masjid As-Salafiyah, yang hingga kini masih berdiri dengan megah.
(Alwi Shahab)
Tuesday, October 09, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment