Monday, June 01, 2009
Majelis Taklim Kwitang di Masa Jepang
Penjajah Jepang, dalam upaya menarik dukungan masyarakat Indonesia, telah mendekati para alim ulama yang punya karisma besar di tengah masyarakat. Setiap pagi, saat munculnya matahari, rakyat diharuskan membungkuk menghadap matahari. Tenno Heika, kaisar Jepang kala itu dan kaisar-kaisar sebelumnya oleh rakyatnya dianggap putra dewa matahari.
Ketika itu, para ulama dan tokoh pejuang menolak keharusan ini karena dianggap sebagai perbuatan musyrik. Akhirnya, kebiasaan ini dihentikan. Majelis Taklim Kwitang, didirikan Habib Ali sekitar satu abad lalu dan sampai kini tetap dikunjungi masyarakat se-Jabodetabek. Habib Ali meninggal dunia pada September 1968 dalam usia 102 tahun. Lahir 20 April 1870, di masa pendudukan Jepang, usianya sekitar 70-an tahun. Ia dimakamkan di samping Masjid Al-Riyadh Kwitang yang dibangunnya.
Sebelumnya, dia membangun sebuah musala kecil. Dia juga membangun madrasah modern Unwanul Falah dengan sistem kelas pada 1918. Untuk pertama kali, ketika itu madrasah ini juga terbuka untuk murid-murid perempuan. Meskipun, tempatnya terpisah dan berseberangan dengan madrasah pria.
Ayahnya Habib Abdurahman Alhabsyi, kelahiran Semarang, dimakamkan di Cikini berdekatan dengan Taman Ismail Marzuki (TIM) yang ketika itu merupakan kediaman misannya, Raden Saleh. Kini, Majelis Taklim Kwitang dipimpin oleh cucunya, Habib Abdurahman (67), menggantikan ayahnya, Habib Muhammad, yang meninggal pada 1993.
Menurut Habib Abdurahman, Majelis Taklim Kwitang tiap Ahad pagi dihadiri sekitar 20 ribu sampai 30 ribu kaum Muslimin dan Muslimat. Di sekitarnya terdapat ratusan pedagang yang tiap Ahad, mulai pukul 07.00 WIB sampai pukul 10.00 WIB, menggelar dagangan. Akibatnya, daerah sekitar tempat majelis taklim tertutup untuk umum.
Gedung KPM dan Kisah Nyai Dasima
Gedung ini didesain pada 1916 dan dibangun pada 1917-1918. Ketika dinasionalisasi, perusahaan terbesar Belanda ini diambil alih Pelni. Belanda mendirikan usaha pelayaran yang dapat mengarungi rute seluruh Indonesia pada 1825. Pada tahun 1988 diresmikan namanya menjadi KPM setelah dibukanya pelabuhan Tanjung Priok menggantikan pelabuhan Sunda Kalapa yang mengalami pendangkalan.
Foto ini diabadikan tahun 1920-an, hanya beberapa tahun setelah diresmikan. Tampak deretan mobil tahun 1920 yang dikuasai produk Eropa, seperti Austrin dan Opel dengan kap yang bisa buka tutup. Pada 1927, KPM memiliki 136 armada kapal yang beroperasi hampir di seluruh pelosok Nusantara. KPM-lah yang membangun RS Koja di Priok dan RS Pelni di Jati Petamburan.
Di tempat Ditjen Perla inilah kira-kira menjadi latar belakang novel historis terkenal Nyai Dasima. Nyai yang bahenol ini bersama suaminya, Meener Willem, dan putrinya, Suzana, tinggal di tempat ini. Tapi, dari tempat ini pula, Nyai asal Desa Kuripan, Parung, Kabupaten Bogor, rela meninggalkan suami dan putrinya dengan menjadi istri kedua Samiun, tukang sado anak Kwitang. Dia rela meninggalkan keluarganya setelah diingatkan bahwa kawin tanpa nikah, apalagi dengan pria lain agama, dosa besar karena hukumnya zina. Peristiwa ini terjadi di masa pemerintahan Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816).
Nyai Dasima suatu malam ketika naik delman bersama Samiun dibunuh Bang Puase, jagoan dari Kwitang. Karena Hayati, istri pertama Samiun dibakar cemburu dan membayar jagoan ini. Bang Puase mati digantung di Balai Kota Batavia (kini Museum Sejarah DKI Jakarta). Ada yang menyebutkan, tuduhan ini fitnah belaka. Kematian Dasima sengaja dikaitkan dengan Bang Puase, seorang jagoan antipenjajahan.
Bagi seorang jagoan Betawi, ribut dengan perempuan adalah perbuatan tercela apalagi membunuh dengan cara membokongnya. Konon, ketika digiring ke tiang gantung oleh soldadu-soldadu Belanda, Bang Puase berjalan dengan gagah.
Pacaran di Gedung Jodoh
Ketika hendak memasuki gedung museum, seorang petugas mengatakan, rata-rata pengunjungnya sekitar 100 orang per hari. Saya merasakan jumlah itu sedikit sekali dibandingkan pengunjung 1950-an meski sebagian besar ingin nonton kesenian yang mencapai mendekati ribuan pengunjung. Banyak nama yang diberikan untuk gedung Museum Nasional. Di antaranya Gedung Gajah. Itu karena di halaman mukanya terdapat patung gajah pemberian raja Thailand ketika berkunjung ke Batavia pada abad ke-19. Ada juga sebutan Gedung Arca karena terdapat ribuan arca (patung). Tapi, tidak kurang banyaknya yang menyebut Gedung Jodoh.
Mengapa demikian? Di gedung inilah tiap Ahad pagi para gadis yang berdandan seelok mungkin, rambut dirol meniru noni-noni Belanda dan para perjaka yang berjambul saling pandang. Asal penampilan yahud dan punya keberanian, pacaran bisa berjalan mulus. Seperti si Mamad ketika menegur seorang gadis mengenakan bebe (rok) warna merah memberanikan diri bertanya:''Sendirian, nih?'' Dijawab: ''Bedua ame yang nanya.''
Pacaran tempo doeloe tidak perlu banyak keluar duit. Restoran masih saedikit. Kafe dan mal belum muncul. Ketika itu, di depan museum (Lapangan Gambir, kini Monas), masih banyak dijumpai pohon sengon dan beringin. Di sana orang bisa berjualan atau berteduh. Bermacam-macam makanan Betawi dijual di lapangan yang dibangun pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) itu.
Mulai dari sop kaki, sop buntut yang dipercaya bisa meningkatkan stamina pria, sop kambing sampai soto daging yang disebut soto Betawi. Kuah soto bersantan diisi dengan daging, iso, babat, dan paru yang kini dikenal dengan istilah jeroan. Kini ditakuti karena kolesterolnya tinggi. Tapi dulu, sakit jantung merupakan penyakit kesepuluh penyebab kematian yang kini melompat jadi penyebab kematian nomor wahid.
Dengan koleksi ratusan ribu benda bersejarah, sejak pertengahan 1990-an Museum Nasional diperluas ke samping bagian kiri. Untuk itu, Jalan Museum salah satu kawasan elite harus rela tergusur dan tidak satu pun rumah dan kantor tersisa. Dulu di salah satu rumah cukup luas di Jl Museum merupakan tempat dansa-dansi. Yang datang tentu saja muda-mudi. Sambil berdansa kalau cocok mereka bisa bikin janjian.
Tapi, diperlukan doku yang lebih tebal. Apalagi kalau punya motor mudah mengajak gadis jalan-jalan. Motor yang sekarang jumlahnya jutaan hingga jadi penyebab utama kemacetan di Jakarta, ketika itu merupakan barang mewah. Apalagi kalau memiliki scooter mudah menggaet gadis. Hingga ada istilah 'gadis bensin'.
Tempat hiburan paling disukai bioskop. Maklum kafe, mal, dan night club belum muncul. Televisi baru dinikmati 1962 dan masih hitam putih. Bioskop-bioskop kelas satu seperti Metropole, Menteng, Garden Hall, dan Capitol meskipun harganya lebih mahal, tapi masih bisa terjangkau oleh rakyat biasa. Hanya beberapa hari mengumpulkan uang jajan sekolah kita dapat menikmati film-film AS dan Barat (terutama Italia). Waktu itu, bioskop terbagi dalam kelas-kelas. Seperti balkon, loge (baca lose), stalles (kelas I), dan kelas II (yang letaknya di bagian depan dekat layar).
Kalau saja kita mau lebih serius untuk mendapatkan pujaan hati, kita terlebih dulu harus mendatangi rumah si gadis. Kala itu namanya ngelancong artinya bertandang. Sang pemuda ngelancong ke rumah si gadis, setelah diketahui ayah si gadis tidak keberatan untuk menerimanya sebagai calon menantu. Peraturan ngelancong sekarang ini jauh lebih longgar. Wanita sudah bebas diajak ke mana-mana zonder permisi pada bokap dan nyokap. Yang sudah kasih itu kebebasan yang dianggap tabu di zaman baheula.
Dulu, si pemuda saat ngelancong hanya ditemani oleh calon mertoku. Si gadis hanya boleh bertemu dengan calon suaminya dengan mengintip dari celah-celah jendela di sebelah dalam pintu rumah. Sementara si perjaka tetap tinggal di beranda luar sambil sebentar-sebentar mengintip ke arah jendela.
Karenanya ada jejaka yang nekat memilih duduk di bawah jendela. Sewaktu ayah si gadis lengah atau keluar rumah sebentar, sang jejaka memasukkan jari-jarinya ke cela-celah jendela. Tentu saja disambut si gadis. Dan, keduanya merasa sukses bisa bersalaman dan remesan jari di malam itu. Ngelancong yang dilakukan tiap malam itu tidak boleh berlarut-larut. Biasanya tidak lebih dua bulan. Kemudian ayah si gadis minta pada calon mantu supaya orangtuanya datang meminang putrinya.
Biasanya saat melamar tidak secara langsung. Jalannya berliku-liku. Untuk itu dicarilah orang yang kenal baik dengan ayah dan ibu si gadis. Biasanya wanita yang dijuluki 'mak jomblang', datang ke rumah si gadis sambil membawa sedikit hadiah sebagai 'tanda putus'. Berarti pertunangan telah disahkan sambil kemudian menetapkan tanggal perkawinan. Biasanya juga tidak lama. Hanya dua atau tiga bulan, maka pasangan ini sudah menjadi suami-istri.
The Beatles dan Koes Plus
Rupanya lagu-lagu pop mendapat tempat di hati masyarakat luas. Seperti lagu-lagu Sheila on 7 dari Yogyakarta . meskipun akhir-akhir ini tenggelam . pada masa jayanya menghasilkan lebih dari satu juta keping VCD dan kaset. Tidak termasuk bajakan.
Di Malaysia dan Singapura kita banyak mendapati lagu pop dari Indonesia. Tidak heran kalau penghasilan pemain band yang sudah ternama bejibun.
Pada tahun 1950-an, hiburan yang digemari generasi remaja Jakarta selain nonton film adalah mendengarkan musik dan lagu. Yang mereka gemari adalah lagu pop dan rock Amerika, seperti yang dinyanyikan Bing Crosby yang nama depannya ditiru oleh Bing Slamet. Juga penyanyi Frank Sinatra, Perry Como, Frankie Lane, Nat King Cole, Doris Day, Dean Martin, dan raja rock and roll Elvis Presley.
Masih banyak lagi penyanyi terkenal kala itu. Karena televisi belum ada, masyarakat menikmati lagu-lagu mereka lewat bioskop. Setengah jam sebelum film diputar, bioskop menghidangkan lagu-lagu Barat. Termasuk bioskop papan bawah.
Menjelang 1960, tepatnya Juli 1959, Bung Karno mengubur demokrasi liberal, dan menggantikannya dengan demokrasi terpimpin. Lalu, timbul masalah Irian Barat (kini Papua). Terjadilah gerakan anti-Barat yang ikut dipelopori kelompok kiri.
Bersamaan dengan itu dunia dilanda oleh grup band berambut gondrong berponi, The Beatles. Grup band dari Inggris ini mengubah segala-galanya. Bukan hanya berambut gondrong, tapi juga mengubah cara berpakaian dengan sepatu lancip. Demikian juga metode menyanyinya, main musik sambil menyanyi dan jingkrak-jingkrak. Ada yang menyebutnya “musik ngak-ngik-ngok”.
Bung Karno menentang keras The Beatles, tapi sebagian besar masyarakat justru menyukainya. Lagu-lagunya seperti Yesterday, Obla Di Obla Da, dan Hey Jude hampir tiap hari dinyanyikan oleh grup-grup band Indonesia kala itu. Begitu terkenalnya The Beatles hingga pengamat musik menyejajarkannya dengan komponis-komponis dunia, seperti Mozart, Beethoven dan Sebastian Bach. Kala itu, pergelaran musik di kafe-kafe, bar, dan night club, kurang dikenal di kalangan remaja.
Ketika itu Bung Karno mengingatkan kepada masyarakat agar jangan betel-betelan. Kalau ada pemuda yang meniru berambut gondrong akan disuruh pelontos. Apalagi Bung Karno pernah disakiti, karena Inggris menolak saat ia akan berkunjung ke negara itu.
Pada saat itu muncul Koes Bersaudara yang menjadi fan The Beatles. Ketika Nomo Kuswoyo keluar dan digantikan Murry, namanya berubah menjadi Koes Plus. Lagu-lagunya, seperti Telaga Sunyi, Dara Manisku, dan Bis Sekolah, menjadi hits dan digemari remaja hingga nenek-nenek.
Ian Antonio, musisi dan arranger, menyatakan kala itu nenek-nenek lebih kenal Koes Plus katimbang menteri-menteri. Maklum, kala itu, saking banyaknya menteri hingga dijuluki kabinet 100 menteri.
Titiek Puspa yang mengaku kenal Koes Plus sejak 1964 menilainya sebagai The Beatles-nya Indonesia. Membuka cakrawala musik anak muda Indonesia kala itu, kata Titik.
Dengan munculnya Koes Plus, The Beatles yang telah dilarang Bung Karno seolah-olah mendapat pengganti. Tapi, ter - nya ta ancaman Bung Karno untuk memelontos rambut gondrong bukan gertak sambel. Kala itu, aparat negara beroperasi membawa gunting di jalan-jalan untuk mencari dan mempelontos mereka yang berambut gondrong. Celana jeans juga mendapat perlakuan sama. Kalau bagian bawahnya tidak bisa dimasuki botol, akan kena gunting hingga paha.
Koes Plus juga mendapat ancaman pencekalan. Apalagi untuk tampil di depan umum. Saya yang kala itu menjadi wartawan pemula Kantor Berita Antara hampir tiap hari disibukkan oleh pemanggilan personel Kus Plus oleh Kejaksaan Jakarta Raya.
Kalau saya tidak salah, yang terus-menerus memeriksa grup band tenar ini adalah Jaksa Aruan. Tuduhannya, disamping berpenampilan seperti The Beatles, juga lagu-lagunya dinilai cengeng. Tanpa ampun Koes Plus harus mendekam di penjara Glodok. Kini sekitar Harco Glodok, yang kala itu menjadi tempat Polisi Seksi II Glodok. Tapi, ada pendapat penahanan itu sebagai ulah pihak Kejaksaan, bukan atas perintah Bung Karno. Apalagi yang mengipas-ngipas adalah dari kelompok kiri. Mengingat kala itu para pejabat ingin disebut “progresif revolusioner”.
Bahkan saking kejamnya, para anggota grup band juga terkena litsus. Sebelum tampil di depan umum mereka terlebih dulu diminta main di depan pihak aparat kepolisian. Ada sebuah band, setelah dilitsus di lantai dua restoran di Bandara Kemayoran, begitu takutnya tampil hingga tak berani menggoyang- goyangkan tubuh. Sangat menyedihkan, grup band itu tidak boleh tampil di depan umum. Alasannya, di antara personelnya ada yang berambut gondrong. Wartawan yang hadir juga ikut menvonis. Padahal, untuk ukuran sekarang, biasa-biasa saja.
Chartered Bank di Kali Besar
Pada 1965, ketika berlangsung konfrontasi terhadap Malaysia, yang oleh Bung Karno dianggap sebagai proyek Nekolim (Neo Kolonialisme, Kolonialisme, dan Imperialisme), perusahaan-perusahaan milik Inggris--yang mendukung Malaysia--oleh Bung Karno diambil alih. Termasuk Chartered Bank yang kemudian dijadikan sebagai Badan Usaha Negara. Kemudian menjadi Bank Negara Indonesia Unit IV. Pada masa Orba, BNI Unit IV dijadikan Bank Bumi Daya.
Di pinggir gedung tampak trem dari Pasar Ikan, Jakarta Utara, menuju Meester Cornelis (Jatinegara), sementara beberapa mobil merek Austin dengan kap yang bisa dibuka tutup tengah markir di depannya. Pada 1950-an, mobil ini dirombak menjadi angkutan umum yang oleh orang Betawi disebut Ostin. Terlihat kereta berkuda (delman) yang tengah mencari muatan. Bekas gedung Chartered Bank dengan arsitektur gaya neo klasik Renaissance pernah menjadi salah satu arsitektur terindah di Batavia.
Di sebelahnya (berdempetan), terdapat bangunan bersejarah lainnya bernama Toko Merah. Juga masih tetap berdiri dengan kokoh hingga sekarang, meskipun telah berusia lebih tiga abad. Gubernur Jenderal Gustaf Baron van Imhoff membangun gedung berlantai dua ini pada 1730. Sejumlah gubernur jenderal VOC pernah mendiami gedung ini yang kala itu berada di tengah-tengah pusat kota. Hanya sekitar puluhan meter dari gedung Balai Kota (Stadhuis), yang kini menjadi Museum Sejarah DKI Jakarta. Gedung ini pernah menjadi kampus Akademi Maritim (Academiede Marine) dan sekaligus menjadi asrama para kadet.
Dari Bank Kompeni ke BI
Tidak tanggung-tanggung, negara dirugikan 100 miliar rupiah. Sampai-sampai si Doel ngedumel, "Apa-apaan anggota DPR yang harusnya membela kepentingan rakyat dan sudah mendapat fasilitas yang aduhai dari negara masih doyan duwit suap."
Di luar aliran dana BI yang mengakibatkan sejumlah petingginya divonis Pengadilan Tipikor, kini BI sebagai bank sentral yang berwenang membuat serta melaksanakan moneter, dilanda berbagai persoalan pelik. Mulai dari nilai tukar rupiah yang makin merosot tajam, sampai dengan persoalan kasus Bank Century yang mengakibatkan enam petingginya dicekal.
Tradisi perbankan di Indonesia ternyata sudah berusia hampir tiga ratus tahun. Untuk itu, baiklah kita ke kawasan Jl Kalibesar, Jakarta Kota, yang dikenal sebagai kota tua Batavia. Di Jalan Kalibesar Barat, kita akan mendapati sebuah gedung tua yang bercat merah. Gedung yang sudah berusia hampir tiga abad itu dinamakan Gedung Merah. Di gedung yang pernah menjadi saksi kejayaan VOC itu tinggal Gubernur Jenderal Baron van Imhoff (1743-1750).
Kondisi perdagangan di Eropa 1700-an kerap dijadikan contoh bagi para penguasa dalam menjalankan pemerintahan dan kehidupan mereka di Hindia Timur. Meski, keadaannya jauh berbeda. Gubernur keturunan Jerman itu misalnya, melahirkan banyak peraturan yang tidak sesuai dengan keadaan ketika itu.
Dalam masalah perekonomian ia membentuk Dewan Perdagangan dan Bank van Leening pada 20 Agustus 1746. Bank ini memberikan pinjaman kepada masayrakat, dengan jaminan barang-barang, seperti emas, perak, permata, dan benda berharga lainnya dengan sistem gadai.
Akan tetapi, para pejabat Kompeni juga melakukan praktek serupa saat bersamaan, menyaingi operasi bank tersebut. Sementara para pengelola bank memiliki pengetahuan terbatas, dan sebagian modal bank wajib disetorkan kepada pemerintah Belanda. Pada 2 Juni 1752 didirikan lembaga baru, De Bank Courant. Bank baru ini disatukan dengan bank sebelumnya.
Kedua bank yang telah bergabung itu menarik dana dari masyarakat dengan memberikan surat jaminan kepada kreditor. Sertifikat tersebut kemudian diperjualbelikan dengan harga yang tinggi karena dapat diuangkan sewaktu-waktu. Praktik itulah yang dianggap sebagai cikal bakal bank-bank yang tumbuh sesudahnya, termasuk De Javasche Bank, yang pada 1953 dinasionaliasi menjadi BI.
Sayangnya, De Bank Courant en Bank van Leening tidak bertahan lama, karena praktek korupsi yang dilakukan pejabatnya sendiri, dan terpaksa ditutup pada 5 April 1794. Usaha gubernur jenderal Hindia Belanda untuk mati-matian mempertahankannya tidak berhasil.
Bagaimana tanggapan masyasrakat terhadap perbankan pada abad ke-18? Kecuali orang-orang bule, mereka lebih senang menyimpan uangnya di bawah bantal atau di bawah kasur. Bahkan, ketika De Javasche Bank didirikan pada 1828 untuk menarik dana masyarakat sebanyak mungkin, mereka juga masih enggan menyimpan uang di bank. Padahal pemerintah sampai wara-wiri mencari pinjaman ke luar negeri, karena memerlukan dana untuk biaya perang Diponegoro yang kemudian disusul dengan Perang Aceh.
Kalau sekarang Indonesia tertinggal di bidang ekonomi dari sejumlah negara di Asia, Majapahit dan Sriwijaya menguasai perdagangan di wilayah Melayu sejak abad ke-7. Dan sering dikunjungi para pedagang dari Persia, India, ataupun Cina. Di Jawa, kegiatan niaga Majapahit (1293-1500 M) tidak terbatas pada perdagangan dan pelayaran pantai seja, tapi ¯juga mencakup perdagangan lintas lautan.
Kekayaan Nusantara mengundang bangsa Barat masuk dan menjelajah pantai-pantainya. Portugis masuk ke epulauan Maluku (1512), sementara Spanyol mendarat di Tidore dan Kalimantan Utara 1521. Kemudian Belanda mendarat di Banten 1596 dan Mei 1619 gubernur jenderal JP Coen membangun benteng di Batavia.
Maraknya perdagangan lintas samudera tersebut semakin memperkaya ragam mata uang yang beredar. Pesatnya perkembangan dunia perdagangan memunculkan gagasan pendirian bank guna memperlancar roda perdagangan.
Banyak berita menyebutkan bahwa nelayan banyak yang tidak melaut karena mahalnya solar dan kekayaan laut kita dikuras pihak asing.ulu Nusantara telah menjadi rumah bagi bangsa-bangsa maritim yang berjaya. Para panglima laut Nusantara mengarungi samudera, membuka persahabatan dengan negara-negara yang mereka lalui,
Rempah-rempah Nusantara pun mulai terkenal di kancah perdagangan dunia. Dibawa oleh pedagang Arab, Portugis, Spanyol, dan Belanda mengarungi separuh bulatan bumi demi membuktikan keberadaan 'surga rempah-rempah' di khatulistiwa. Begitu mereka mendaratkan kaki di Nusantara, loji-loji dagang mereka bermunculan dan kongsi-kongsi dagang mereka tak henti berlalu-lalang di lautan Nusantara.
Di ujung Kalibesar tempat Ciliwung bermuara, terletak pelabuhan Sunda Kalapa. Pelabuhan tertua yang sudah kesohor sejak abad ke-12 ini merupakan pelabuhan lada tersibuk saat itu. Berkarung-karung kopi, beras, asam kandis, lada, cengkeh, gulakaret setiap hari diangkut ke mancanegara. Ditukar dengan cita, cermin, keramik, perak, serta berbagai barang lain dari Eropa, Arab, India, dan Cina.
Sebagai negara maritim yang dua pertiga luasnya lautan, kejayaan masa lalu harus dibangkitkan. Setidaknya, dapatmenjadi sumber motivasi di tengah krisis global sekarang ini.
Hidup di Zaman Normal
Satu abad kemudian (1930), jumlahnya meningkat hampir 10 kali lipat menjadi 41 juta jiwa. Kini, dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia, sekitar dua pertiga mendiami Pulau Jawa. Tidak heran kalau ada yang meramalkan, pada tahun 2030 (satu abad setelah 1930) hampir tidak ada lagi lahan pertanian di Jawa.
Tanda-tandanya, sekarang ini longsor terjadi di banyak tempat di Jawa, akibat penggundulan hutan secara semenamena yang juga berdampak banjir. Kini makin santer seruan agar pembangunan di Indonesia bagian timur yang tertinggal jauh dipercepat.
Pendiri kota Singapura, yang berkuasa selama lima tahun di Jawa, itu mencatat bahwa rata-rata penduduk makan sehari dua kali. Sekitar pukul 10 pagi dan lima sore, yang disebut makan besar. Pagi hari berupa sarapan.
Di luar waktu itu disebut mindo. Sarapan juga tidak seperti sekarang. Hanya dengan kopi beserta ubi rebus atau pisang goreng. Kebiasaan itu sampai sekarang masih dilakukan di daerah-daerah pedesaan dan pinggiran kota Jakarta. Tahun 1950-an, pergi ke sekolah hanya diberi jajan sepicis (10 sen).
Jauh sebelum masa tersebut, terutama setelah berakhirnya Perang Jawa, yakni perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda pada 1825, karena keadaan sudah aman disebut zaman normal. Pada zaman itu, rata-rata orang Indonesia menurut versi kolonial Belanda hidupnya sebenggol atau segobang atawadua setengah sen.
Sekarang uang rupiah paling kecil adalah satu sen, meskipun seperak atawacetun sudah tidak ada harganya sama sekali. Bahkan, sebutan Pak Ogah sudah tidak tepat, karena mereka pasti marah kalau hanya dikasih doku cepek (seratus). Bahkan gopepun mereka enggan menerimanya. Minimal seceng atawaseribu perak.
Kembali ke zaman normal yang terjadi sebelum resesi ekonomi 1929, uang yang terkecil bukan sen, tapi cepeng atau setengah sen. Menurut para orang tua, uang cegin berupa koin lebih kecil dari Rp 50, bisa beli terasi, cabai dan bawang.
Punya duit satu sen juga berupa koin yang setengahnya bolong bisa beli nasi uduk. Sedangkan sepincangatawa satu setengah sen dapat untuk beli nasi uduk dengan tahu serta lauknya. Atau jajanan pengisi perut lainnya seperti kue serabi, kue apem, gemblong dan lain-lain.
Lalu berapa harga beras yang merupakan kebutuhan pokok sehari-hari. Dengan uang seketipatau lima sen dapat digunakan untuk membeli beras dua liter. Kala itu para petani umumnya surplus beras, dan hanya orang-orang kota yang memerlukannya. Dengan uang seketipkita dapat menikmati makan enak di restoran-restoran.
Dengan uang sepicis (10 sen) kita bisa membeli gado-gado lengkap. Bisa dengan lontong atau nasi. Dan, kalau uang itu dikumpulkan sampai cetun(seperak), kita bisa nonton bioskop kelas satu, seperti Garden Hall dan bioskop Menteng. Dengan uang goceng atau lima perak, pada 1950-an kita bisa mentraktir cewek nonton bioskop.
Masih di tahun 1950-an, harga bir cap jangkar dan bintang seringgit (dua setengah perak). Pada masa itu terkenal dengan istilah prit jigo(dua puluh lima perak), kalau pelanggar lalu lintas ketangkap polisi. Sekarang naik hampir 100 kali lipat menjadi nobanatau Rp 20 ribu.
Saat BI lahir pada 1953, Indonesia masih berusaha melepaskan diri dari bayang-bayang cengkeraman penjajah. Hampir bersamaan uang Belanda yang dikenal dengan istilah uang merah di devaluasi dan nilainya menjadi setengah dari nilai resmi. Dikenal dengan istilah gunting untuk Syafrudin.
Kala itu belum ada televisi, dan pengumuman gunting uang yang tiba-tiba sangat menghebohkan. Tiba-tiba saja rakyat berbondong-bondong menyerbu toko-toko. Di masa itu gejolak politik terjadi di berbagai daerah. Pengeluaran membengkak dan ekspor belum berkembang.
Dalam masa ekonomi terpimpin (1959-1966), kondisi keuangan pemerintah memburuk akibat saratnya agenda politik. Suhu politik meninggi, sementara tingkat inflasi mencapai 635 persen pada 1966. Pada masa Orde Baru, kondisi negara segera membaik. Tingkat inflasi turun hingga dibawah 10 persen.
Tapi, pada masa 1983-1997 keuangan negara tertekan akibat turunnya harga minyak di pasaran dunia dan melesunya ekonomi dunia. Kondisi perekonomian yang mulai membaik buyar setelah medio Juli 1997, ketika krisis ekonomi di Asia menjalar ke Indonesia. Di negeri ini, krisis meluas ke berbagai dimensi.
Pada 1997-1999 (masa krisis ekonomi moneter) berbagai kebutuhan pokok menjadi langka di pasaran. Publik kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Demonstrasi dan protes terus bergulir. Perubahan kepemimpinan nasional tidak membawa perubahan. Klimaksnya terjadi 21 Mei 1998 dengan hengkangnya Pak Harto.
Krisis seperti yang terjadi 11 tahun lalu itu kini terjadi lagi. Beberapa perusahaan terpaksa men-PHK buruhnya. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar terus merosot. Semoga kita berhasil menghadapi krisis global ini.
Dari Rumah Sakit ke Museum BI
Ketika tahun 1928 rumah sakit dibeli oleh De Javasche Bank, bank ini tetap beroperasi di rumah sakit sebelum dipugar seperti terlihat dalam gambar.Sekarang ini sejak Desember 2006 dijadikan sebagai Museum Bank Indonesia. Saat De Javasche Bank didirikan pada 28 Januari terjadi perang Diponegoro yang sedang berkecamuk.
Belanda mengeluarkan ongkos perang besar untuk membiayai perang dan pinjam ke sana ke mari, termasuk dari luar negeri. Kemudian, De Javasche Bank dijadikan Bank Indonesia sebagai bank sentral. Itu terjadi pada 1953 yang merupakan lembaga sangat vital dalam kehidupan perekonomian nasional karena kebijakan-kebijakannya memiliki dampak langsung terhadap perekonomian bangsa.
Meskipun telah lebih dari setengah abad melayani kepentingan bangsa, masih banyak masyarakat yang belum memahami BI. Karena itulah gedung BI peninggalan De Javasche Bank yang tidak digunakan lagi dijadikan sebagai Museum BI. Ditetapkan oleh pemerintah sebagai cagar budaya. Di samping itu, BI memiliki banda-benda dan dokumen-dokumen bersejarah yang dapat disaksikan masyarakat luas.
BI sendiri yang berkantor pusat di Jl Thamrin, Jakarta Pusat, kini sedang dirundung malang. Bukan saja nilai rupiah saat ini yang melorot tajam, beberapa petingginya menghadapi masalah. Mereka dituduh terlibat dalam kasus korupsi penyuapan sebesar Rp 100 miliar kepada sejumlah wakil rakyat (DPR). Bahkan mantan gubernur BI, Burhanuddin Abdullah, divonis lima tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor. Tidak ketinggalan besan Presiden SBY, Aulia Pohan, ikut menjadi tersangka.
Jagoan Versus VOC
Portugis telah datang ke daerah ini sejak Sunda Kalapa berada di bawah kekuasaan Pajajaran (Hindu) yang berpusat di Pakuan (Bogor). Kala itu, Sunda Kalapa begitu terkenal. Berbagai komoditi dari seluruh kerajaan dikumpulkan di Bandar Sunda Kalapa.
Tom Pires, seorang petualang, ketika itu menyebutkan, dalam perdagangan dipergunakan mata uang (logam) yaitu cash dari Cina. Uang-uang tersebut dilubangi di tengahnya seperti caiti, sehingga dapat diikat dengan benang dalam jumlah ratusan.
Naskah Sang Hyang Siksakandang Karesian menyebutkan ada lapisan masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok ekonomi, rohani dan cendekiawan, alat negara, dan seniman. Dalam naskah itu disebutkan ada 10 kebaktian. Yakni anak bakti pada bapak, istri bakti pada suami, rakyat kepada pacandaan (majikan), murid bakti pada guru, petani bakti kepada wado (pejabat rendahan), pejabat rendahan bakti kepada mantri, mantri bakti kepada mangkubumi, mangkubumi bakti kepada raja, raja bakti pada dewata, dan dewata bakti pada Hyang.
***
Kerajaan Pajajaran berakhir bersamaan ketika Fatahillah mengusir Portugis dari Teluk Jakarta. Setelah masa Jayakarta (1527-1609), VOC berkuasa di Batavia. Sampai abad ke-19 pusat kota ada di Pasar Ikan, Jakarta Utara.
Kediaman Rainier de Klerk (dibangun 1760), terletak hanya sekitar 200 meter dari pusat perdagangan dan perbelanjaan Glodok, ketika itu. Sedangkan Gedung Arsip Nasional terletak jauh di luar kota. Demikian pula dengan Gereja Portugis di depan stasion kota terletak di luar kota Batavia.
Kala itu para pembesar Belanda membangun rumah-rumah besar untuk menikmati akhir minggu di vila-vila besar di sekitar Harmoni dan Jalan Pangeran Jayakarta. Sementara, para pejabat berlomba-lomba membeli tanah di ommenlanden (jauh dari pusat pemerintahan).
Cornelis Chastelin, saat itu, memiliki ribuan hektar tanah dari Tanjung Barat, sampai Srengseng Sawah dan Depok. Masih belasan lagi petinggi VOC yang memiliki tanah bejibun di luar pusat pemerintyahan.
***
Sejak masa gubernur jenderal Daendels (1808-1811) untuk keperluan pertanahan dia melelang tanah-tenah dan berlangsung terus pada para penggantinya. Tanah-tenah itu kemudian dijual lagi pada tuan tanah yang menyewakannya kepada para petani penggarap. Di dalam sebuah kerajaan raja dianggap sebagai pemilik tanah dan petani yang menggarapnya sebagai hamba yang harus menuruti perintah raja.
Para tuan tanah itu melakukan kekerasan apabila perintahnya tidak ditaati. Mereka menggunaan polisi dari satuan VOC, mandor dan centeng-centeng untuk menyiksa rakyat yang tak berdaya. Karena itu, para petani banyak melakukan perlawanan.
Cerita-cerita tentang jagoan Betawi yang populer seperti Si Pitung, Si Jampang Jago Betawi, Nyai Dasima, Tuan Tanah Kedaung, Macan Kemayoran, dan Si Ayub dari Teluk Naga, sudah dikenal melalui lenong, bahkan sudah dilayarlebarkan.
Mereka adalah para jawara Betawi atau pahlawan rakyat yang berhasil membasmi tuan-tuan tanah dan kaki tangannya. Cerita-cerita Betawi itu mengandung apa yang disebut ‘tema abadi’, yakni cerita-cerita yang mengandung ajaran bahwa betapapun yang jahat itu pasti akan dikalahkan atau dihancurkan oleh yang benar.
Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, para jawara atau jagoan Betawi mempunyai kesejarahan panjang. Bahkan, lebih tua dari ulama sendiri, yakni sejak abad ke-2 Masehi dengan tokoh Aki Tiurem. Nama-nama jagoan seperti Bang Puase, Pitung, Haji Ung, Ja’man, H Entong Gendot, Mad Djaelani, Mat Item, Imam Syafi’ie, Ahmad Benyamin alias Mad Bentot, Bir Ali dan Asenie adalah jagoan-jagoan yang memiliki kenangan tersendiri bagi masyarakat Betrawi.
***
Pada masa VOC banyak lahir para jawara yang ahli main silat atau giksaw. Untuk itu, bagi masyarakat Betawi mempelajari ilmu silat adalah suatu kamustian. Seperti halnya rakyat Jawa mengharapkan kedatangan Ratu Adil, demikianlah rakyat Betawi mengharapkan datangnya seorang jawara. Mereka yakin jawara atau jagoan yang akan melepaskan mereka dari kaum penindas yang sewenang-wenang.
Tidak sedikit para jagoan Betawi yang dengan gagah berani menghadapi VOC. Seperti si Pitung, jagoan Betawi kelahiran Rawabelong. Di kawasan Rawabelong inilah pada akhir abad ke-19, si Pitung, anak seorang petani pasangan Piun dan Pinah, membuat Kompeni di Betawi tidak pernah tenang.
Pitung dan kawan-kawannya menyatakan perang terhadap kompeni dan dendam yang telah ia wariskan sejak kecil. Belajar silat pada seorang guru silat terkenal di Rawabelong, H Naipin, dia berhasrat ingin menolong rakyat dari penindasan.
Kompeni terpaksa memutar otak untuk menaklukkan Pitung. Tidak tanggung-tanggung, Schout (kepala Polres) Heyne sendiri yang memimpin pasukan untuk menangkap Pitung. Konon, hanya dengan peluru emas, Pitung baru berhasil dirubuhkan dalam suatu penggrebekan.
(By Alwi Shahab)
Kereta kuda ala Eropa di Glodok
Foto awal abad ke-20 ini bukan di Eropa. Tapi, di Jakarta yang ketika itu bernama Batavia. Tepatnya, di ujung selatan Jl Kali Besar Timur, Jakarta Kota, dipandang dari Jembatan Tengah. Betapa lengangnya Kota Jakarta saat mobil belum banyak bermunculan. Salah satu keistimewaan yang kini sudah tidak ditemui lagi di seluruh Jakarta adalah bersihnya jalan raya. Di masa kolonial, rupanya rakyat lebih mematuhi peraturan, termasuk tidak membuang sampah sembarangan apalagi di jalan dan sungai-sungai.
Di sebelah kiri terlihat warung milik warga Cina, yang ketika itu beroperasi sampai ke kampung dan desa-desa. Mereka menjual kebutuhan pokok sehari-hari, seperti beras, minyak, kayu bakar, dan arang. Maklum ketika itu untuk memasak digunakan kayu bakar hingga tidak pernah kesulitan minyak tanah.
Waktu itu, kereta kuda merupakan angkutan dominan. Terlihat dua kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda. Sedangkan sais duduk di depan dan penumpang di bagian belakang ditutup oleh semacam tenda. Kereta macam ini meniru kereta di Eropa pada abad ke-18 dan ke-19 saat kendaraan bermotor belum beroperasi. Kereta kuda macam ini masih terdapat di Museum Kraton, Yogyakarta, yang diberi sesaji dan diberi nama kiai.
Pada awal abad ke-19, Gubernur Jenderal Willem Herman Daendels memindahkan pusat kota ke arah selatan Weltevreden yang disebut kota atas atau kota baru karena letaknya lebih tinggi dari Batavia Lama di tepi laut. Weltevreden kala itu masih disebut kota pinggiran. Kala itu, kota atas disebut uptown dan kota bawah downtown.
Di sisi timur Kali Besar, bangunan yang banyak didirikan pada awal abad ke-20 sampai sekarang masih berfungsi dan dalam kondisi yang baik meskipun banyak yang sudah kumuh. Dalam hal bentuk bangunan, seperti terlihat di foto hampir semua bangunan berderet-deret dengan jendela-jendela besar di atasnya. Kota atas sekitar Weltevreden (Lapangan Banteng, Pasar Baru), Koningsplein (Medan Merdeka), Senen, Risjwijk (Jl Segara), dan Noordwijk (Jl Juanda).
Sejak 1750-an berganti-ganti gubernur jenderal memilih tinggal dan bekerja di wilayah yang lebih sehat di daerah selatan. Hanya pegawai VOC yang lebih rendah terus bekerja dan tinggal di kawasan kurang sehat, yaitu dalam tembok Batavia, sekitar Pasar Ikan.
(By Alwi Shahab)
Trem Melintas di Stasiun Beos
TREM LISTRIK : Stasiun Beos (Jakarta Kota) tahun 1957, sementara trem listrik melintas di depan taman, yang kini sudah menjadi terminal busway (TransJakarta)
Foto tahun 1957 atau 51 tahun lalu ini adalah stasiun Beos (Jakarta Kota) sementara trem listrik melintas di depan taman, yang kini sudah menjadi terminal busway (TransJakarta).Kata Beos merupakan ucapan lidah Betawi untuk kata perusahaan kereta api kala itu: BOS. Singkatan dari kepanjangan Bataviasche Oossterpoorweg Maatchappij yang membuka jalur kereta api sejak 1887 ke Bekasi sepanjang sisi timur melalui Kemayoran, Pasar Senen, dan Medester Cornelis (Jatinegara). Lihatlah betapa sepinya sekitar Glodok pada tahun 1950-an, seorang anak tengah mengendarai sepeda dan beberapa orang lainnya tengah turun dari trem listrik yang memiliki tiga gerbong.
Meskipun perusahaan KA Beos sudah berdiri sejak 1887, tapi stasiunnya yang kini juga dikenal dengan stasiun Jakarta Kota telah dibangun sejak tahun 1920-an dan hingga kini masih berdiri dengan megah. Stasiun Beos sebelumnya berada di depan Balai Kota (stadhuis) yang kini menjadi Museum Sejarah DKI Jakarta.
Sampai tahun 1960 sebelum dibongkar, trem listrik yang dimulai di Batavia sejak 1899, merupakan kendaraan yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebelum trem listrik di Batavia, muncul trem kuda (1869) disusul dengan trem uap (1881). Trem menelusuri sepanjang kotapraja Jakarta. Dari mulai Jatinegara sampai Pasar Ikan yang ketika itu merupakan salah satu pusat perdagangan dan perkantoran (Jl Kalibesar).
Trem listrik mengoperasikan lima jalur, seperti Menteng - Kramat - Jakarta Kota. Senen - Gunung Sahari. Menteng - Merdeka Timur - Harmoni. Menteng - Tanah Abang - Harmoni.Beberapa orang tua menyatakan bahwa keunikan Jakarta di masa itu yang kini telah hilang adalah trem kota. Naik trem selain harganya murah sekitar sepicis atau sepuluh sen, juga praktis. Karena, hampir seluruh Kota Jakarta ketika itu dapat dilalui. Rakyat dengan mudah dapat menunggu trem yang berseliweran hanya tiap beberapa menit.
Trem digusur pada 1960-an. Menurut Bung Karno, kendaraan yang ditiru dari Eropa ini tidak cocok untuk Jakarta. Lebih cocok kalau dibangun metro atau kereta api bawah tanah. Ketika trem dihapus, karena membongkarnya lebih mahal, terpaksa diaspal.
Pasar Seng di Tenabang
Seperti terlihat dalam foto, kini di sekitar Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat,terdapat para pedagang--kebanyakan pedagang kaki lima--yang menjual barang dan makanan yang selama ini dijual di tanah suci. Para jamaah haji dan umrah mendapatkan oleh-oleh di tempat tersebut bila mereka kembali ke Jakarta.
Menurut sejumlah pedagang di Pasar Tanah Abang, di sini terdapat barang-barang kerajinan khas Timur Tengah seperti terlihat di foto. Di pasar ini, kita akan mendapati berbagai jenis kurma, termasuk kurma ajwa yang dikenal dengan kurma Nabi. Harga kurma tersebut sebesar Rp 300 ribu per kg dan merupakan kurma termahal. Sedangkan,kurma jenis lainnya berkisar antara Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu per kg.Menurut para pedagang, kurma ini adalah sisa dari puasa dan Lebaran lalu. Mau air zamzam? Di sini pun dijual dengan harga Rp 250 ribu per jeriken ukuran 10 liter.
Kacang arab, kismis, dan kacang Iran (yang kulitnya agak besar) juga dijual di beberapa tempat di pasar ini. Busana Muslim, seperti gamis dan abaya, untuk wanita dengan berbagai ukuran terdapat di sini. Tidak ketinggalan, dijual pula peci haji. Bukan saja buatan Indonesia, tapi lebih banyak buatan Cina, termasuk tasbih produksi dari negara Tirai Bambu itu. Barang-barang Cina memang membludak di pasar-pasar Indonesia, termasuk batik Cina yang harganya lebih murah daripada buatan batik Indonesia. Jika ingin membeli oleh-oleh haji dan umrah, datanglah ke Pasar Tanah Abang. Produk-produk itu kini juga dijual di Condet, Jatinegara, sampai ke Bogor.
Cara Bang Pi'ie Jinakkan Preman
Kapolri mengharuskan para Kapolda untuk mematuhi perintahnya itu. Operasi Cipta Kondisi ini yang dilakukan Polda Metro Jaya saja telah menangkap 941 orang. Sebanyak 121 orang dinyatakan tersangka. Mereka kini mendekam di berbagai penjara Polres dan Polsek. Sebanyak 820 orang lainnya dibina Polisi dan Pemda Provinsi DKI.
Hingga Ahad (9/11-2008) sekalipun operasi baru berlangsung dua hari, polisi di semua Polda telah menangkap 3.184 preman. Sebanyak 369 orang ditahan untuk diproses secara hukum. Operasi preman masih akan berlangsung terus sampai negara aman dari tindakan kriminal yang makin meresahkan.
Karena banyaknya preman, bisa-bisa perlu dibangun penjara-penjara baru. Belum lagi untuk tersangka kasus korupsi yang jumlahnya terus meningkat. Sejauh ini, maraknya premanisme karena ada pihak yang membekingnya. ''Kalau ada polisi yang membeking, dia adalah kepala preman,'' ujar seorang perwira polisi dalam suatu acara di televisi.
Sejumlah pedagang dan pengemudi angkutan umum yang biasa dipalak para preman di hampir semua pasar dan terminal menyambut baik langkah kepolisian itu. Mereka berharap agar operasi ini jangan hanya 'hangat-hangat tai ayam'.Langkah aparat kepolisian untuk menciptakan keamanan di Ibukota pernah dilakukan oleh Kapten Imam Syafi'ie atau Bang Pi'ie. Melalui organisasi COBRA (Corps Bambu Runcing), anak kelahiran Jl Bangka, Kemang, Jakarta Selatan ini adalah orang yang ditakuti dan dimalui semua preman di Jakarta pada 1950-an dan 1960-an.
Dia awalnya dikenal sebagai jagoan Senen. Peristiwanya terjadi pada 1942. Kala itu yang menjadi jagoan Senen adalah seorang jagoan dari Cibedug, Bogor. Suatu ketika Bang Pi'ie yang bertubuh kecil ini harus berhadapan dengan sang jawara yang badannya tinggi besar.Ketika berduel, Bang Pi'ie harus naik ke bale tukang sayur. Lalu dia menebas sang jagoan di tengkuknya dengan golok. Dengan luka-lukanya sang jagoan tidak berdaya dan tidak berani lagi muncul di pasar Senen. Sejak saat itu Bang Pi'ie menjadi jagoan Senen yang ditakuti.
Pada 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan RI. Bang Pi'ie berperan besar dalam menggerakkan dan menghimpun masyarakat Senen dan sekitarnya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan.Pada 19 September 1945 ia ikut berperan dalam menggerakkan massa menghadiri rapat raksasa IKADA (kini Monas) yang dihadiri satu juta massa dari Jakarta, Bekasi, Karawang, hingga Bogor. Tidak berapa lama pasukan Belanda (NICA) datang ke Jakarta untuk berkuasa kembali. Bang Pi'ie dan para pengikutnya melakukan perlawanan.
Setelah kemerdekaan, banyak pasukannya yang tidak mendapat tempat di ABRI. Lalu Bang Pi'ie menghimpun mereka dalam COBRA. Kala itu, Bang Pi'ie berpangkat kapten, sebagai perwira yang diperbantukan pada Komando Militer Kota Besar Djakarta (KMKBDR).COBRA mememberlakukan disiplin yang keras terhadap para anggotanya. Anggota yang menyeleweng seperti melakukan kejahatan akan ditindak tegas. Tapi terlebih dulu ditanyakan alasan mengapa ia melakukan kejahatan. Jika tak punya uang dan modal ia memberikannya. Meskipun untuk itu ia tidak segan-segan minta bantuan tauke Cina.
Bila setelah mendapat bantuan orang tersebut masih melakukan kejahatan, Bang Pi'ie tidak memberi ampun. ''Orang tersebut dihajar dengan buntut ikan pari yang berduri dan bergerigi,'' tutur putranya, Asmawi, kepada penulis beberapa waktu lalu. ''Hukuman ini lebih ringan dibandingkan kalau bapak memukul dengan tangan kirinya yang merupakan pukulan maut,'' tutur Asmawi.
Menurut tokoh Betawi H Irwan Syafi'ie (78) yang pernah berkecimpung dalam COBRA, hasil kejahatan seperti mencuri tidak boleh digunakan sebelum tujuh hari. Kalau ada yang melapor biasanya uang dan benda hasil curian itu kembali ke pemiliknya.''Berkat berhasil menjinakkan preman, Jakarta aman pada masa itu, termasuk pada saat SOB diberlakukan,'' tutur jagoan Betawi yang telah haji dan taat beribadah itu. Pokoknya para preman berhasil dibikin bertekuk lutut kepadanya.
Meskipun bekas jagoan Senen, Bang Pi'ie tekun melanjutkan pendidikan dan karir militernya. Dibuktikan ketika ia lulus Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD) pada 1958. Pangkatnya ketika itu Letkol. Dia juga sering ikut mengawal perjalan Presiden Sukarno.
Di samping itu dia dipercaya menjadi anggota staf Jenderal TNI Abdul Haris Nasution. Sebagai anak Betawi, dia juga dekat dengan para alim ulama, termasuk pimpinan majelis taklim Kwitang, Habib Ali Alhabsyi. Guru silatnya adalah Habib Abdulkadir Alhadad.Karena keberhasilannya dalam mengamankan Ibukota, pada 24 Pebruari 1966, ia oleh Bung Karno dilantik sebagai Menteri Keamanan Nasional dalam Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Sayangnya, ketika kabinet ini dibubarkan Pak Harto melalui Supersemar (11 Maret 1966), Bang Pi'ie dikejar-kejar dan semua tempat tinggal keluarganya diperiksa dengan seksama.Dia kemudian ditahan tanpa diadili. Ketika dibebaskan ia sakit parah dan meninggal 9 September 1982. Dua orang yang menjadi kaki tangannya adalah Mad Bendot dan Saumin. Keduanya sudah meninggal dunia.
(By Alwi Shahab)
Tuesday, March 24, 2009
Kerusuhan Malari Dekat Istana
Foto kerusuhan Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974 di Jalan Juanda, Jakarta Pusat, hanya beberapa ratus meter dari pusat kekuasaan: Istana Negara. Peristiwa Malari sebelumnya didahului oleh aksi-aksi mahasiswa. Mereka menolak modal asing, khususnya berbagai produk Jepang yang melimpah di Indonesia. Peristiwa ini mengakibatkan pembakaran serta penggulingan mobil dan motor buatan Negeri Sakura itu. Seperti terlihat dalam foto, setelah digulingkan, sebuah mobil sedan dibakar massa yang mengerumuninya.
Kerusuhan semacam ini kemudian meluas di hampir seluruh kota. Ratusan mobil dan sepeda motor Jepang jadi sasaran. Bukan hanya dibakar, tapi juga digulingkan ke Sungai Ciliwung di daerah Harmoni. Kerusuhan tidak terbatas hanya pada luapan anti-Jepang; pusat perdagangan Senen, Jakarta Pusat, juga diserbu dan dibakar massa. Pada saat itu, Presiden Soeharto tengah mengadakan pertemuan empat mata dengan PM Jepang, Kakuei Tanaka, yang tiba di Jakarta, 14 Januari 1974.
Ketika proyek Senen dibakar, terjadi pencurian dan perampokan di toko-toko. Gerakan perusakan juga dilakukan terhadap pabrik-pabrik dan tempat-tempat umum di Ibu Kota sehingga menimbulkan korban jiwa.
Hariman Siregar yang dituduh sebagai salah seorang penggerak peristiwa ini kemudian diadili. Demikian pula Syahrir yang pada masa pemerintahan SBY menjabat wakil tim presiden bidang ekonomi. Keduanya dituduh melakukan tindakan subversi. Syahrir meninggal akhir tahun lalu setelah dirawat di sebuah rumah sakit di Singapura.
Akibat Malari, terjadi pergolakan dalam pimpinan ABRI. Jenderal Sumitro yang kala itu menjabat sebagai panglima Kopkamtib dan sering menghadiri kegiatan para mahasiswa dituduh ingin melakukan kudeta terhadap presiden Soeharto. Sekalipun dia membantahnya, jenderal berbintang empat yang bertubuh gempal itu ‘dipecat’ dengan alasan mengundurkan diri dan pensiun. Dia digantikan Laksamana Sudomo.
Peristiwa Malari berdampak dicabutnya surat izin terbit (SIT) harian Nusantara, KAMI, Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta Times, Mahasiswa Indonesia, Pedoman, mingguan Wenang, dan Ekspres. Beberapa sekolah dan perguruan tinggi selama beberapa waktu ditutup. Aksiaksi demo yang sebelumnya berlangsung selama beberapa bulan pun berhenti sejak saat itu.
Ngibing di Malam Cap Go Meh
Masyarakat Tionghoa memiliki hari raya cukup banyak. Setelah tahun baru Imlek dengan hidangan khas kue keranjang atawa kue cina, pada malam ke-15 ditutup dengan pesta Cap Go Meh.
Masih ada hari raya Cengbeng di mana orang-orang membersihkan makam orangtuanya sebagai tanda bakti pada leluhur. Kemudian disusul dengan Pehcun (hari keseratus setelah Imlek). Pada hari itu makanan khas adalah bahcang sekaligus disusul dengan pesta perahu (dragon boat) di kali Ciliwung dan kali Cisadane (Tangerang). Masih ada hari raya Tong Ciu dengan makanan khas kue bulan. Ditutup dengan hari raya Tang Ce yang jatuh pada bulan-bulan menjelang Imlek.
Yang paling meriah di tempo doeloe pesta Cap Go Meh penutup tahun baru Imlek. Sejak sore para siauce (gadis) berdandan semenor mungkin. Menanti sang pacar untuk datang sowan pada calon mertua sambil mempersembahkan sepasang ikan bandeng. Muka mertua akan cemberut seperti ‘dompet tanggung bulan’ bila calon mantu tidak membawa ikan bandeng. Menantu begini dianggap tidak punya hormat pada mertua.
Di malam Cap Go Meh semua orang Betawi keturunan Tionghoa berpakaian indah-indah. Lalu naik trem menuju Glodok dan Pancoran untuk menonton keramaian atau langsung terjun ngibing (kini berjoget) di jalan-jalan. Keramaian kala itu tidak kalah meriahnya dengan fiesta yang diadakan tiap tahun di Brasil.
Orang yang turut ngibing, biasanya memakai kostum ala bintang film Hollywood. Seperti Douglas Fairbank, bintang terkenal tahun 1930-an dan ‘40-an dalam perannya sebagai Zorro dalam film Mark of Zorro.
Ada juga yang menyaru sebagai seorang wanita gembrot lengkap dengan konde sebesar mangkuk sayur, tulis Prof Dr James Dananjaja (75 tahun), dalam Folklor Tionghoa. Wajahnya dibedak tebal-tebal, pipinya diberi tahi lalat (tompel) sebesar uang sen Hindia Belanda. Mulutnya disumpel dengan tembakau sisik.
Kwee Tek Hoay dalam karangan berjudul Nonton Capgome yang diterbitkan 1930, menuturkan, Tidak ada pesta Capgome di Java yang melebihkan ramenya dari Batavia. Bukan saja sebab Batavia ada kota yang paling besar, keramaiannya tak ada bandingannya di lain-lain tempat di Buitenzorg (Bogor), Sukabumi, Cianjur, dan Bandung. Di sepanjang jalanan ada penuh dengan rumah makan yang buka sampai pagi pada malam Capgome.
Tempo doeloe, semua perayaan pada malam tanggal 15 menurut almanak Tionghoa, dipusatkan di Glodok-Pancoran. Sementara malam tanggal 16 dilanjutkan di Tanah Abang, Pal Merah, dan Meester Cornelis (Jatinegara).
Pada pesta rakyat ini, semua jenis pertunjukan rakyat Betawi ditampilkan. Seperti wayang cokek yang ditarikan empat wanita berbaju kurung aneka warna. Musik pengiringnya adalah gambang kromong. Komedi bangsawan, stambul, dan wayang simpe juga ikut memeriahkan. Selain cerita-cerita Tionghoa kuno, wayang ini juga mempertunjukkan kisah 1001 malam.
Para orangtua yang anak gadisnya menonton Cap Go Meh, memesan kepada mereka agar waspada terhadap tangan-tangan jahil berupa pemuda-pemuda iseng. Apalagi di antara mereka banyak yang teler karena menenggak minuman yang diharamkan. Pesta rakyat di jalanan berlangsung hingga dini hari. Karena begadang semalam suntuk, keesokan harinya banyak yang malas bekerja. Bahkan bagi orang yang yang gemar pesta, Cap Go Meh belum usai karena masih dilanjutkan lagi dengan pesta rakyat yang disebut Cap Lak Meh di daerah-daerah Tanah Abang, Pal Merah, Senen, dan Meester Cornelis pada malam keenam belas. Namun, tidak seramai di Glodok-Pancoran.
Seperti juga sekarang saat pesta dangdutan, malam Cap Go Meh juga kerap dinodai keributan. Terutama saat-saat keluarnya naga Tionghoa yang disebut liong-liong, barongsai, dan cungge. Para pemain barongsai adalah para anggota perkumpulan pencak silat (kuntau atau kungfu). Adakalanya bila rombongan dari perkumpulan yang bersaing bertemu, terjadilah perang tanding yang seru, hingga harus dipisahkan oleh polisi.
Menurut Prof James Dananjaja, cungge adalah semacam tandu-tandu berhias, berisikan anak-anak kecil yang mengenakan kostum tokoh-tokoh mitologi atau legendaris Tiongkok kuno, seperti Sie Jin Kui dan Koan Kong. Kala itu, barongsai selain berpawai di jalan raya, juga mengunjungi rumah-rumah orang kaya dan opsir Tionghoa untuk ngamen. Mereka memperoleh angpau cukup besar.
Cungge juga disponsori para hartawan. Ketika itu di depan toko-toko tertentu dipasang rencengan petasan besar-besar, digantungkan di atas tiang-tiang tinggi, yang pada ujungnya diikat angpau berisi uang berjumlah banyak. Hadiah ini khusus diperuntukkan bagi rombongan barongsai yang pandai berakrobat, hingga dapat memanjat tiang tinggi yang digantungi petasan yang terbakar.
Selain di kota, barongsai juga mendatangi perkampungan. Banyak keluarga berharap rumahnya didatangi binatang mitologi suci itu karena menurut keyakinan, rumah yang disinggahi barongsai dapat bersih dari pengaruh arwah roh jahat yang mendatangkan penyakit atau kesialan bagi penghuninya. Tidak heran pemilik rumah akan membuka pintu pekarangannya lebar-lebar menyambut sang barongsai.
(Alwi Shahab)
Banjir Jalan Thamrin 1968
Hujan lebat selama beberapa jam pada awal Februari 1968 atau 41 tahun lalu tidak hanya menyebabkan berbagai tempat di Ibu Kota dilanda banjir, Jalan Thamrin yang merupakan jalan protokol pun digenangi air. Seperti terlihat pada foto, jalan yang menghubungkan Jakarta Pusat dengan Jakarta Selatan seolah-olah berubah menjadi sungai akibat terendam air.
Air setinggi lutut membuat jalan tidak dapat dilalui oleh kendaraan, baik mobil maupun motor. Hal ini mengakibatkan mereka yang hendak pergi ke kantor terpaksa harus berjalan kaki menerobos air setinggi lutut di tengah-tengah hujan yang masih mengguyur.Di sebelah kiri, terlihat gedung yang belum dibangun. Gedung tersebut adalah Gedung Wisma Nusantara yang dibangun sejak masa pemerintahan Bung Karno dan diselesaikan di masa Pak Harto. Kala itu. gedung berlantai 29 tersebut dianggap sebagai pencakar langit tertinggi di Asia.
Di tengah-tengah bangunan-bangunan yang belum usai, tampak Hotel Indonesia yang diresmikan pada 1960 untuk menghadapi Asia Games IV. Di depannya, tampak patung selamat datang yang kini menjadi pusat kegiatan demo. Hotel Indonesia dan Toko Serba Ada Sarinah dibangun berdasarkan pembayaran uang pampasan perang dari Jepang.
Sekitar 40 tahun lalu, Jalan Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman belum seramai sekarang. Kedua jalan ini oleh Bung Karno, dengan adanya patung selamat datang dan Tugu Monas, dimaksudkan sebagai pusat kegiatan Ibu Kota yang pada masa Belanda berpusat di Harmoni, Risywijk (Jl Juanda), dan Nordwijk (Jl Veteran) serta kawasan Gambir dan Lapangan Banteng. Thamrin dan Sudirman baru dilebarkan menghadapi Asian Games IV.
Karena Jl Thamrin dan sekitarnya menjadi langganan banjir, air sering kali menggenangi halaman Istana Merdeka sehingga Pintu Air Manggarai pun ditutup. Akibatnya, banjir beralih ke perkampungan-perkampungan sekitar. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang mengendus isu tersebut kemudian memerintahkan agar Pintu Air Manggarai tetap dibuka dan tidak menjadi soal bila Istana kebanjiran.
Wanita ‘Publik’ di Masa Kolonial
Berbagai istilah diberikan untuk penjaja seks. Sebutan pelacur dan cabo yang sampai kini masih juga populer. Meskipun sempat diperhalus jadi wanita tunasusila (WTS). Istilah itu pun masih diperhalus lagi menjadi PSK (pekerja seks komersial). Tapi di masa kolonial disebut ‘wanita publik’. Istilah ini karena mereka bebas dimiliki pria yang membayarnya.
Sejak kedatangan orang Belanda di Nusantara, mereka dihadapkan dengan masalah prostitusi yang tentu saja berdampak dengan merajalelanya penyakit kelamin. Apalagi pengobatan untuk ‘penyakit kotor’ belum ditemukan. Jauh sebelum kedatangan orang Barat prostitusi sudah dikenal sejak zaman pemerintahan feodal kerajaan Jawa. Perempuan dianggap sebagai barang dagangan dan sistem feodal pada masa itu telah membentuk landasan bagi perkembangan industri seks yang ada sekarang ini.
Pada masa penjajahan Belanda, seperti data-data yang dihimpun Arsip Nasional RI, bentuk industri seks yang terorganisasi berkembang pesat. Ini terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Eropa. Umumnya aktivitas ini berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan. Hingga dikeluarkan Peraturan Pemerintah 1766 yang melarang para ‘wanita publik’ istilah PSK ketika itu memasuki pelabuhan tanpa izin. Namun, peraturan ini tidak berjalan efektif.
Jauh dari Tanah Air, jauh dari keluarga, kesepian, dan lebarnya jarak sosial dengan penduduk asli, berpengaruh terhadap orang-orang Eropa di tanah jajahan. Para prajurit atau pegawai administrasi Belanda sering kali menghadapi kejenuhan terhadap pekerjaan rutin mereka. Dalam situasi demikian mereka mencari hiburan: salah satu sasaran keisengan ini adalah gadis-gadis muda pribumi.
Jauhnya jarak sosial antara penguasa dan rakyat menyebabkan si gadis atau keluarganya berkompromi dengan nasib. Maka terjadilah krisis moral pada masyarakat terjajah sebagai akibat perlakuan kekuasaan kolonial, demikian menurut buku tentang pencegahan prostitusi di masa kolonial. Selain masalah moral semacam itu, dampak lain yang muncul adalah merajalelanya penyakit kelamin. Baik di kalangan gadis-gadis penghibur, maupun di kalangan orang-orang Belanda, khususnya di kalangan tentara maupun pegawai-pegawai Belanda.
Anehnya, rumah sakit kelamin justru dibangun dalam lingkungan penjara. Menunjukkan banyak narapidana yang terjangkit penyakit kotor ini. Seperti juga sekarang, diungkap oleh tayangan sebuah televisi swasta, rutan (rumah tahanan) secara sembunyi-sembunyi dijadikan tempat prostitusi terselubung, demikian juga pada masa kolonial.
Di masa kolonial, banyaknya wanita publik berpraktik di dalam tahanan menyebabkan penyebaran penyakit makin bertambah dan juga menjadikan tempat tahanan sebagai tempat yang semakin tidak bermoral. Suatu penelitian pada 1874 menunjukkan sebanyak 2.000 serdadu yang terkena penyakit sipilis setiap tahunnya, dan terdaftar 5.000 - 6.000 kasus penyakit menular lainnya. Penyebabnya tidak lain karena ‘wanita publik’.
Begitu gawatnya penyakit kelamin hingga di Magelang, dalam suatu razia dari 26 wanita yang terjaring, 24 orang di antaranya menderita penyakit kelamin yang cukup menular. Karenanya, pemeriksaan kesehatan terhadap para anggota militer setidaknya dua kali per minggu.
Berdasarkan surat dari Residen Sumatra Utara pada 9 Desember 1889 diberitahukan sejumlah orang Cina yang bekerja sebagai kuli kontrak di perkebunan tembakau Medan merangkap juga sebagai WTS. Mereka beroperasi sudah sejak lama. Banyak penyakit sipilis dan kelamin berasal dari wanita Cina ini, yang menurut laporan itu umumnya wanita muda. Di Deli, terdapat 30 ribu pekerja Cina dan mereka datang tanpa istri menyebabkan mereka pergi ke rumah-rumah bordil.
Pada 1870, saat perekonomian jajahan terbuka bagi penanaman modal swasta terjadilah migrasi tenaga kerja laki-laki secara besar-besaran. Sebagai dampak dari perluasan areal perkebunan dim Jawa Barat, pertumbuhan industri gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur, pendirian perkebunan-perkebunan di Sumatra, pembangunan jalan raya dan jalur kereta api.
Sebagian pekerja tersebut adalah bujangan yang akan menciptakan permintaan terhadap prostitusi. Hingga tahun 1890, hampir separuh dari pria Eropa hidup bersama selir lokal, dan setelah itu, karena aktivitas perseliran tidak diterima masyarakat, menyebabkan mereka mencari WTS. Pelacuran makin berkembang secara marak.Perkebunan yang dikembangkan di Jawa dan Sumatra setelah 1870 merekrut sejumlah besar buruh yang menetap di perkebunan tersebut. Para pekerja diperkenalkan dengan sistem ekonomi baru.
Dibayar dengan uang kontan sebagai imbalan jasa. Biasanya setelah menerima pembayaran, mereka mengunjungi perkampungan-perkampungan di sekitar tempat tinggal mereka. Melalui jalur ini banyak perempuan muda dari kampung-kampung itu menjadi wanita publik.Pada 31 Desember 1896 surat dari Departemen Pertahanan dan Keamanan di Hindia Belanda kepada Gubernur Jenderal mengemukakan keprihatinan terhadap makin berkembangnya perdagangan wanita di Batavia, sekaligus meningkatnya prostitusi. Untuk itu pengawasan terhadap prostitusi pun diperketat. Sampai 1942, saat berakhirnya pemerintah Belanda, di tempat-tempat pelacuran tercantum bahwa militer tidak diperkenankan masuk. Sewaktu-waktu PM (Polisi Militer) melakukan razia-razia.
Hidup pada Masa Pendudukan Jepang
Pada 4 Maret 1942 tentara Belanda meninggalkan Batavia, takluk pada Jepang. Keesokan harinya, sesudah matahari terbenam, ibukota Hindia Belanda jatuh ke tangan pendudukan Jepang. Batavia diganti menjadi Jakarta. Aksi pertama yang dilakukan pemerintah militer Jepang guna mendapatkan simpati rakyat adalah Gerakan Tiga A: Nippon (Jepang) pemimpin Asia, Nippon pelindung Asia, dan Nippon cahaya Asia.
Semua penduduk di daerah yang telah ditaklukkan Jepang setiap pagi wajib memberi hormat pada Kaisar Jepang dengan membungkukkan badan 90 derajat yang disebut — Saikerai — ke arah utara dan timur, tempat kaisar Jepang berada dan tempat matahari terbit.
“Tidak ada yang bisa menandingi matahari. Barangsiapa yang berani melawannya akan menerima nasib seperti salju yang mencair di sinar matahari,” kata mereka. Banyak ulama yang menetang keras kewajiban ini karena dianggap musyrik.
Kedatangan tentara Jepang pada awalnya disambut hangat. Apalagi negeri matahari terbit itu menjanjikan kemerdekaan dengan slogan, Asia telah dikembalikan kepada bangsa Asia. Malahan seminggu setelah menguasai Jakarta, surat kabar Tjahaja Timoer memuat berita usulan mengenai kabinet yang akan terdiri dari orang Indonesia.
Diusulkan nama-nama yang akan masuk anggota Kabinet Indonesia ini, antara lain PM Abikoesno Tjokrosoejoso, Wakil PM Ir Soekarno, Menlu Dr Soedjono, Menteri Ekonomi Drs Moh Hatta, Menteri Pendidikan Ki Hadjart Dewantara, dan Menteri Agama KH Mansyur. Tapi, keesokan harinya bagian Pers dan Dinas Propaganda Jepang menyatakan berita tersebut tidak benar.
Bagaimana keadaan kota Jakarta dan Nusantara pada masa pendudukan Jepang? Ali Satiri (79 tahun) menuturkan, “Barang-barang makanan, di mana-mana sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada, itu pasti kami peroleh dari cara gelap dan jumlahnya tak banyak, hanya untuk makan sehari-dua hari saja.” Seorang camat, Soedjono Hadipranoto, mengisahkan, “semua barang yang diperlukan oleh militer Jepang diambil dan ditempeli tulisan Milik Dai Nippon.
Seorang ibu rumah tangga yang mengalami masa pendudukan Jepang menuturkan, kesulitan memperoleh beras dan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari menyebabkan masyarakat dalam kota melakukan berbagai cara untuk bertahan hidup, sekalipun sudah dalam kondisi paling rendah.
Untuk sekadar mengganjal perut, banyak orang menjual perabotan rumah tangga, dan sebagian lain mendatangi pasar loak (barang bekas). Waktu itu pemerintah Jepang tidak mengizinkan orang di dalam rumah tangga mempunyai lebih empat kilo beras. Sewaktu-waktu ada pemeriksaan dari rumah ke rumah. Kalau ketahuan melebihi ketentuan, ditangkap.
Yang paling ditakuti masyarakat adalah Kompetai (polisi rahasia Jepang). Selain itu, Jepang juga memiliki mata-mata yang diberi nama Kipas Hitam. Banyak di antara mereka adalah wanita penghibur.
HB Yassin dalam buku Di Bawah Pendudukan Jepang, menuturkan, “Bukan main kejamnya Kompetai itu. Saya pernah ditahan selama seminggu di markas mereka di Tanjung Priok. Kacamata saya dilepas. Selama pemeriksaan saya dibentak-bentak dengan kata-kata kasar. Sepeda saya dirampas dan saya mendapat penyiksaan yang menyakitkan ketika kaki dinaikkan ke atas dan kepala di bawah.”
Pada masa pendudukan Jepang hampir tiap malam lampu dimatikan, dengan alasan ada serangan musuh (Amerika). Pemadaman listrik ditandai dengan teriakan, “Kusyu-keiho!” berulang-ulang dari peronda malam. Penduduk yang ketakutan mematikan lampu dan masuk ke lubang perlindugan yang berada di halaman tiap rumah.
Saat berada di lubang perlindungan kita diwajuibkan menggigit sebuah karet bundar setebal lima Cm seperti layaknya petinju. Maksudnya, bila musuh melakukan pemboman kita harus menggigitnya keras-keras.
Akibat kelaparan, orang sudah menganggap biasa bila melihat ada yang sakit parah berada di tepi jalan menunggu sakratul maut. Para pengemis mengais sisa-sisa makanan — kalau ada — di tempat-tempat sampah. Waktu itu banyak rakyat memakai pakaian dari karung goni dan kain dari karet.
Tidak tersedianya obat-obatan dibenarkan oleh Dr Haji Ali Akbar, karena disembunyikan oleh Jepang untuk keperluan perang mereka. Banyak orang sakit di mana-mana tanpa pertolongan samasekali dari pemerintah. “Sebagai dokter muda saya tidak bisa menolong banyak penderitaan orang-orang yang tergeletak di daerah Kramat. Ya hanya sedih saja, sambil membayangkan betapa kejamnya orang-orang Jepang,” kata Dr Ali Akbar.
Kekuatan invasi Jepang di Jawa berjumlah 6-8 divisi atau 100-120 ribu orang. Selama tiga setengah tahun tanpa disertai istri dan dalam suasana perang, untuk memenuhi kebutuhan biologis, mereka memerlukan wanita. Jugun ianfu adalah istilah yang digunakan untuk merujuk wanita penghibur yang terlibat dalam perbudakan seks selama perang dunia II.
Jugun ianfu merupakan wanita yang dipaksa untuk kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya. Mereka direkrut menjadi jugun ianfu secara paksa (diambil begitu saja di jalan atau di rumah mereka), diiming-imingi untuk sekolah ke luar negeri, atau akan dijadikan pemain sandiwara.
Sampai saat ini, para mantan jugun ianfu masih merasakan trauma psikologis dan gangguan fungsi fisik akibat pengalaman pahit yang mereka alami.
(Alwi Shahab)
Istana Weltevreden Jadi RS Gatot Subroto
Sulit untuk menerka apalagi membayangkan bahwa foto ini adalah Rumah Sakit Gatot Subroto, di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Sebelum menjadi rumah sakit pada 1857, bangunan yang indah dengan pepohonan rimbun di sekitarnya merupakan Istana Weltevreden yang dibangun Gubernur Jenderal Jocob Mossel pada 1769.
Untuk memasuki istana orang harus berjalan kaki jauh ke belakang setelah melewati pintu gerbang. Jacob Mossel membelinya dari Justinus Vinck yang memiliki tanah luas di Weltevreden dan kemudian membuka dua buah pasar: Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen. Hingga sekarang kedua pasar ini banyak didatangi pembeli dari Jakarta dan berbagai penjuru nusantara. Walau sudah berusia hampir dua setengah abad, kedua pasar ini terus-menerus melakukan pembaharuan dan modernisasi.
Untuk menghubungkan kedua pasarnya, Vinks membangun sebuah jalan yang kini kita kenal dengan Jalan Parapatan dan Kebon Sirih. Karena jalan tersebut belum baik, dia juga menggali Kali Lio di Senen untuk memudahkan sampan-sampan mengangkut kebutuhan pasar yang menjadi sumber penghasilan masyarakat.
Pada abad ke-19 di sekeliling Pasar Senen dan Lapangan Banteng, oleh Gubernur Jenderal Daendels, dijadikan sebagai pusat militer. Sampai 1970-an, bersebelahan dengan Kali Lio, terdapat Jalan Siliwangi yang sangat luas yang merupakan kompleks perumahan militer. Di namakan Kali Lio dulu di sini terdapat pembuatan lio untuk membuat bahan bangunan.
Di samping kanan RS Gatot Subroto terdapat Markas Batalion X NICA yang kemudian menjadi salah satu markas KKO (kini Marinir). Sedangkan di sebelah kirinya terdapat Jalan Kwini, tempat para perwira Belanda tinggal. Pada zaman Belanda dia bernama Hospitalweg (Jalan Rumah Sakit) termasuk sekolah kedokteran pribumi STOVIA.
Gambar ini ketika diambil oleh seorang perwira Kompeni, J Rach, merupakan kediaman Gubernur Jenderal Abertus van den Parra (1763) yang membelinya dari gubernur yang digantikannya, Mossel. Pada abad ke-18 orang Belanda di Indonesia yang beriklim tropis masih berpakaian seperti di negerinya. Terlihat beberapa orang tengah membersihkan pekarangan. Van der Parra yang dikenal sebagai gubernur yang senang foya-foya terlihat sedang berbincang dengan seorang pembantunya.
Kompeni Mandi Seminggu Sekali
Sulit untuk menerka apalagi membayangkan bahwa foto ini adalah Rumah Sakit Gatot Subroto, di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Sebelum menjadi rumah sakit pada 1857, bangunan yang indah dengan pepohonan rimbun di sekitarnya merupakan Istana Weltevreden yang dibangun Gubernur Jenderal Jocob Mossel pada 1769.
Untuk memasuki istana orang harus berjalan kaki jauh ke belakang setelah melewati pintu gerbang. Jacob Mossel membelinya dari Justinus Vinck yang memiliki tanah luas di Weltevreden dan kemudian membuka dua buah pasar: Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen. Hingga sekarang kedua pasar ini banyak didatangi pembeli dari Jakarta dan berbagai penjuru nusantara. Walau sudah berusia hampir dua setengah abad, kedua pasar ini terus-menerus melakukan pembaharuan dan modernisasi.
Untuk menghubungkan kedua pasarnya, Vinks membangun sebuah jalan yang kini kita kenal dengan Jalan Parapatan dan Kebon Sirih. Karena jalan tersebut belum baik, dia juga menggali Kali Lio di Senen untuk memudahkan sampan-sampan mengangkut kebutuhan pasar yang menjadi sumber penghasilan masyarakat.
Pada abad ke-19 di sekeliling Pasar Senen dan Lapangan Banteng, oleh Gubernur Jenderal Daendels, dijadikan sebagai pusat militer. Sampai 1970-an, bersebelahan dengan Kali Lio, terdapat Jalan Siliwangi yang sangat luas yang merupakan kompleks perumahan militer. Di namakan Kali Lio dulu di sini terdapat pembuatan lio untuk membuat bahan bangunan.
Di samping kanan RS Gatot Subroto terdapat Markas Batalion X NICA yang kemudian menjadi salah satu markas KKO (kini Marinir). Sedangkan di sebelah kirinya terdapat Jalan Kwini, tempat para perwira Belanda tinggal. Pada zaman Belanda dia bernama Hospitalweg (Jalan Rumah Sakit) termasuk sekolah kedokteran pribumi STOVIA.
Gambar ini ketika diambil oleh seorang perwira Kompeni, J Rach, merupakan kediaman Gubernur Jenderal Abertus van den Parra (1763) yang membelinya dari gubernur yang digantikannya, Mossel. Pada abad ke-18 orang Belanda di Indonesia yang beriklim tropis masih berpakaian seperti di negerinya. Terlihat beberapa orang tengah membersihkan pekarangan. Van der Parra yang dikenal sebagai gubernur yang senang foya-foya terlihat sedang berbincang dengan seorang pembantunya.