Monday, June 01, 2009

Dari Bank Kompeni ke BI

Meski sudah berbulan-bulan, tapi masalah aliran dana Bank Indonesia (BI) ke sejumlah anggota DPR masih belum usai menjalani proses hukum. Jumlah tersangka pun makin membengkak. Terjadi bantah membantah, baik pejabat BI maupun wakil-wakil rakyat yang terhormat.

Tidak tanggung-tanggung, negara dirugikan 100 miliar rupiah. Sampai-sampai si Doel ngedumel, "Apa-apaan anggota DPR yang harusnya membela kepentingan rakyat dan sudah mendapat fasilitas yang aduhai dari negara masih doyan duwit suap."

Di luar aliran dana BI yang mengakibatkan sejumlah petingginya divonis Pengadilan Tipikor, kini BI sebagai bank sentral yang berwenang membuat serta melaksanakan moneter, dilanda berbagai persoalan pelik. Mulai dari nilai tukar rupiah yang makin merosot tajam, sampai dengan persoalan kasus Bank Century yang mengakibatkan enam petingginya dicekal.

Tradisi perbankan di Indonesia ternyata sudah berusia hampir tiga ratus tahun. Untuk itu, baiklah kita ke kawasan Jl Kalibesar, Jakarta Kota, yang dikenal sebagai kota tua Batavia. Di Jalan Kalibesar Barat, kita akan mendapati sebuah gedung tua yang bercat merah. Gedung yang sudah berusia hampir tiga abad itu dinamakan Gedung Merah. Di gedung yang pernah menjadi saksi kejayaan VOC itu tinggal Gubernur Jenderal Baron van Imhoff (1743-1750).

Kondisi perdagangan di Eropa 1700-an kerap dijadikan contoh bagi para penguasa dalam menjalankan pemerintahan dan kehidupan mereka di Hindia Timur. Meski, keadaannya jauh berbeda. Gubernur keturunan Jerman itu misalnya, melahirkan banyak peraturan yang tidak sesuai dengan keadaan ketika itu.

Dalam masalah perekonomian ia membentuk Dewan Perdagangan dan Bank van Leening pada 20 Agustus 1746. Bank ini memberikan pinjaman kepada masayrakat, dengan jaminan barang-barang, seperti emas, perak, permata, dan benda berharga lainnya dengan sistem gadai.

Akan tetapi, para pejabat Kompeni juga melakukan praktek serupa saat bersamaan, menyaingi operasi bank tersebut. Sementara para pengelola bank memiliki pengetahuan terbatas, dan sebagian modal bank wajib disetorkan kepada pemerintah Belanda. Pada 2 Juni 1752 didirikan lembaga baru, De Bank Courant. Bank baru ini disatukan dengan bank sebelumnya.

Kedua bank yang telah bergabung itu menarik dana dari masyarakat dengan memberikan surat jaminan kepada kreditor. Sertifikat tersebut kemudian diperjualbelikan dengan harga yang tinggi karena dapat diuangkan sewaktu-waktu. Praktik itulah yang dianggap sebagai cikal bakal bank-bank yang tumbuh sesudahnya, termasuk De Javasche Bank, yang pada 1953 dinasionaliasi menjadi BI.

Sayangnya, De Bank Courant en Bank van Leening tidak bertahan lama, karena praktek korupsi yang dilakukan pejabatnya sendiri, dan terpaksa ditutup pada 5 April 1794. Usaha gubernur jenderal Hindia Belanda untuk mati-matian mempertahankannya tidak berhasil.

Bagaimana tanggapan masyasrakat terhadap perbankan pada abad ke-18? Kecuali orang-orang bule, mereka lebih senang menyimpan uangnya di bawah bantal atau di bawah kasur. Bahkan, ketika De Javasche Bank didirikan pada 1828 untuk menarik dana masyarakat sebanyak mungkin, mereka juga masih enggan menyimpan uang di bank. Padahal pemerintah sampai wara-wiri mencari pinjaman ke luar negeri, karena memerlukan dana untuk biaya perang Diponegoro yang kemudian disusul dengan Perang Aceh.

Kalau sekarang Indonesia tertinggal di bidang ekonomi dari sejumlah negara di Asia, Majapahit dan Sriwijaya menguasai perdagangan di wilayah Melayu sejak abad ke-7. Dan sering dikunjungi para pedagang dari Persia, India, ataupun Cina. Di Jawa, kegiatan niaga Majapahit (1293-1500 M) tidak terbatas pada perdagangan dan pelayaran pantai seja, tapi ¯juga mencakup perdagangan lintas lautan.

Kekayaan Nusantara mengundang bangsa Barat masuk dan menjelajah pantai-pantainya. Portugis masuk ke epulauan Maluku (1512), sementara Spanyol mendarat di Tidore dan Kalimantan Utara 1521. Kemudian Belanda mendarat di Banten 1596 dan Mei 1619 gubernur jenderal JP Coen membangun benteng di Batavia.

Maraknya perdagangan lintas samudera tersebut semakin memperkaya ragam mata uang yang beredar. Pesatnya perkembangan dunia perdagangan memunculkan gagasan pendirian bank guna memperlancar roda perdagangan.

Banyak berita menyebutkan bahwa nelayan banyak yang tidak melaut karena mahalnya solar dan kekayaan laut kita dikuras pihak asing.ulu Nusantara telah menjadi rumah bagi bangsa-bangsa maritim yang berjaya. Para panglima laut Nusantara mengarungi samudera, membuka persahabatan dengan negara-negara yang mereka lalui,
Rempah-rempah Nusantara pun mulai terkenal di kancah perdagangan dunia. Dibawa oleh pedagang Arab, Portugis, Spanyol, dan Belanda mengarungi separuh bulatan bumi demi membuktikan keberadaan 'surga rempah-rempah' di khatulistiwa. Begitu mereka mendaratkan kaki di Nusantara, loji-loji dagang mereka bermunculan dan kongsi-kongsi dagang mereka tak henti berlalu-lalang di lautan Nusantara.

Di ujung Kalibesar tempat Ciliwung bermuara, terletak pelabuhan Sunda Kalapa. Pelabuhan tertua yang sudah kesohor sejak abad ke-12 ini merupakan pelabuhan lada tersibuk saat itu. Berkarung-karung kopi, beras, asam kandis, lada, cengkeh, gulakaret setiap hari diangkut ke mancanegara. Ditukar dengan cita, cermin, keramik, perak, serta berbagai barang lain dari Eropa, Arab, India, dan Cina.

Sebagai negara maritim yang dua pertiga luasnya lautan, kejayaan masa lalu harus dibangkitkan. Setidaknya, dapatmenjadi sumber motivasi di tengah krisis global sekarang ini.

No comments: