The Beatles dan Koes Plus Diva musik Indonesia, Titiek Puspa, menilai band di Indonesia saat ini tumbuh menjamur.”Saya yang telah berusia 71 tahun sangat bangga ketika diangkat sebagai penasihat sebuah band remaja yang baru didirikan,” kata nenek beberapa cucu yang masih energik dan awet muda itu.
Rupanya lagu-lagu pop mendapat tempat di hati masyarakat luas. Seperti lagu-lagu Sheila on 7 dari Yogyakarta . meskipun akhir-akhir ini tenggelam . pada masa jayanya menghasilkan lebih dari satu juta keping VCD dan kaset. Tidak termasuk bajakan.
Di Malaysia dan Singapura kita banyak mendapati lagu pop dari Indonesia. Tidak heran kalau penghasilan pemain band yang sudah ternama bejibun.
Pada tahun 1950-an, hiburan yang digemari generasi remaja Jakarta selain nonton film adalah mendengarkan musik dan lagu. Yang mereka gemari adalah lagu pop dan rock Amerika, seperti yang dinyanyikan Bing Crosby yang nama depannya ditiru oleh Bing Slamet. Juga penyanyi Frank Sinatra, Perry Como, Frankie Lane, Nat King Cole, Doris Day, Dean Martin, dan raja rock and roll Elvis Presley.
Masih banyak lagi penyanyi terkenal kala itu. Karena televisi belum ada, masyarakat menikmati lagu-lagu mereka lewat bioskop. Setengah jam sebelum film diputar, bioskop menghidangkan lagu-lagu Barat. Termasuk bioskop papan bawah.
Menjelang 1960, tepatnya Juli 1959, Bung Karno mengubur demokrasi liberal, dan menggantikannya dengan demokrasi terpimpin. Lalu, timbul masalah Irian Barat (kini Papua). Terjadilah gerakan anti-Barat yang ikut dipelopori kelompok kiri.
Bersamaan dengan itu dunia dilanda oleh grup band berambut gondrong berponi, The Beatles. Grup band dari Inggris ini mengubah segala-galanya. Bukan hanya berambut gondrong, tapi juga mengubah cara berpakaian dengan sepatu lancip. Demikian juga metode menyanyinya, main musik sambil menyanyi dan jingkrak-jingkrak. Ada yang menyebutnya “musik ngak-ngik-ngok”.
Bung Karno menentang keras The Beatles, tapi sebagian besar masyarakat justru menyukainya. Lagu-lagunya seperti Yesterday, Obla Di Obla Da, dan Hey Jude hampir tiap hari dinyanyikan oleh grup-grup band Indonesia kala itu. Begitu terkenalnya The Beatles hingga pengamat musik menyejajarkannya dengan komponis-komponis dunia, seperti Mozart, Beethoven dan Sebastian Bach. Kala itu, pergelaran musik di kafe-kafe, bar, dan night club, kurang dikenal di kalangan remaja.
Ketika itu Bung Karno mengingatkan kepada masyarakat agar jangan betel-betelan. Kalau ada pemuda yang meniru berambut gondrong akan disuruh pelontos. Apalagi Bung Karno pernah disakiti, karena Inggris menolak saat ia akan berkunjung ke negara itu.
Pada saat itu muncul Koes Bersaudara yang menjadi fan The Beatles. Ketika Nomo Kuswoyo keluar dan digantikan Murry, namanya berubah menjadi Koes Plus. Lagu-lagunya, seperti Telaga Sunyi, Dara Manisku, dan Bis Sekolah, menjadi hits dan digemari remaja hingga nenek-nenek.
Ian Antonio, musisi dan arranger, menyatakan kala itu nenek-nenek lebih kenal Koes Plus katimbang menteri-menteri. Maklum, kala itu, saking banyaknya menteri hingga dijuluki kabinet 100 menteri.
Titiek Puspa yang mengaku kenal Koes Plus sejak 1964 menilainya sebagai The Beatles-nya Indonesia. Membuka cakrawala musik anak muda Indonesia kala itu, kata Titik.
Dengan munculnya Koes Plus, The Beatles yang telah dilarang Bung Karno seolah-olah mendapat pengganti. Tapi, ter - nya ta ancaman Bung Karno untuk memelontos rambut gondrong bukan gertak sambel. Kala itu, aparat negara beroperasi membawa gunting di jalan-jalan untuk mencari dan mempelontos mereka yang berambut gondrong. Celana jeans juga mendapat perlakuan sama. Kalau bagian bawahnya tidak bisa dimasuki botol, akan kena gunting hingga paha.
Koes Plus juga mendapat ancaman pencekalan. Apalagi untuk tampil di depan umum. Saya yang kala itu menjadi wartawan pemula Kantor Berita Antara hampir tiap hari disibukkan oleh pemanggilan personel Kus Plus oleh Kejaksaan Jakarta Raya.
Kalau saya tidak salah, yang terus-menerus memeriksa grup band tenar ini adalah Jaksa Aruan. Tuduhannya, disamping berpenampilan seperti The Beatles, juga lagu-lagunya dinilai cengeng. Tanpa ampun Koes Plus harus mendekam di penjara Glodok. Kini sekitar Harco Glodok, yang kala itu menjadi tempat Polisi Seksi II Glodok. Tapi, ada pendapat penahanan itu sebagai ulah pihak Kejaksaan, bukan atas perintah Bung Karno. Apalagi yang mengipas-ngipas adalah dari kelompok kiri. Mengingat kala itu para pejabat ingin disebut “progresif revolusioner”.
Bahkan saking kejamnya, para anggota grup band juga terkena litsus. Sebelum tampil di depan umum mereka terlebih dulu diminta main di depan pihak aparat kepolisian. Ada sebuah band, setelah dilitsus di lantai dua restoran di Bandara Kemayoran, begitu takutnya tampil hingga tak berani menggoyang- goyangkan tubuh. Sangat menyedihkan, grup band itu tidak boleh tampil di depan umum. Alasannya, di antara personelnya ada yang berambut gondrong. Wartawan yang hadir juga ikut menvonis. Padahal, untuk ukuran sekarang, biasa-biasa saja.
Monday, June 01, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment