Monday, June 01, 2009

Hidup di Zaman Normal

Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya, History of Java, pada 1817 memperkirakan penduduk pribumi di Pulau Jawa dan Madura pada abad ke-19 hanya sekitar 4,5 juta jiwa. Jumlah itu berdasarkan cacah jiwa tahun tersebut yang dilakukan selama pemerintahan Inggris di Jawa.

Satu abad kemudian (1930), jumlahnya meningkat hampir 10 kali lipat menjadi 41 juta jiwa. Kini, dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia, sekitar dua pertiga mendiami Pulau Jawa. Tidak heran kalau ada yang meramalkan, pada tahun 2030 (satu abad setelah 1930) hampir tidak ada lagi lahan pertanian di Jawa.

Tanda-tandanya, sekarang ini longsor terjadi di banyak tempat di Jawa, akibat penggundulan hutan secara semenamena yang juga berdampak banjir. Kini makin santer seruan agar pembangunan di Indonesia bagian timur yang tertinggal jauh dipercepat.

Pendiri kota Singapura, yang berkuasa selama lima tahun di Jawa, itu mencatat bahwa rata-rata penduduk makan sehari dua kali. Sekitar pukul 10 pagi dan lima sore, yang disebut makan besar. Pagi hari berupa sarapan.

Di luar waktu itu disebut mindo. Sarapan juga tidak seperti sekarang. Hanya dengan kopi beserta ubi rebus atau pisang goreng. Kebiasaan itu sampai sekarang masih dilakukan di daerah-daerah pedesaan dan pinggiran kota Jakarta. Tahun 1950-an, pergi ke sekolah hanya diberi jajan sepicis (10 sen).

Jauh sebelum masa tersebut, terutama setelah berakhirnya Perang Jawa, yakni perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda pada 1825, karena keadaan sudah aman disebut zaman normal. Pada zaman itu, rata-rata orang Indonesia menurut versi kolonial Belanda hidupnya sebenggol atau segobang atawadua setengah sen.

Sekarang uang rupiah paling kecil adalah satu sen, meskipun seperak atawacetun sudah tidak ada harganya sama sekali. Bahkan, sebutan Pak Ogah sudah tidak tepat, karena mereka pasti marah kalau hanya dikasih doku cepek (seratus). Bahkan gopepun mereka enggan menerimanya. Minimal seceng atawaseribu perak.

Kembali ke zaman normal yang terjadi sebelum resesi ekonomi 1929, uang yang terkecil bukan sen, tapi cepeng atau setengah sen. Menurut para orang tua, uang cegin berupa koin lebih kecil dari Rp 50, bisa beli terasi, cabai dan bawang.

Punya duit satu sen juga berupa koin yang setengahnya bolong bisa beli nasi uduk. Sedangkan sepincangatawa satu setengah sen dapat untuk beli nasi uduk dengan tahu serta lauknya. Atau jajanan pengisi perut lainnya seperti kue serabi, kue apem, gemblong dan lain-lain.

Lalu berapa harga beras yang merupakan kebutuhan pokok sehari-hari. Dengan uang seketipatau lima sen dapat digunakan untuk membeli beras dua liter. Kala itu para petani umumnya surplus beras, dan hanya orang-orang kota yang memerlukannya. Dengan uang seketipkita dapat menikmati makan enak di restoran-restoran.

Dengan uang sepicis (10 sen) kita bisa membeli gado-gado lengkap. Bisa dengan lontong atau nasi. Dan, kalau uang itu dikumpulkan sampai cetun(seperak), kita bisa nonton bioskop kelas satu, seperti Garden Hall dan bioskop Menteng. Dengan uang goceng atau lima perak, pada 1950-an kita bisa mentraktir cewek nonton bioskop.

Masih di tahun 1950-an, harga bir cap jangkar dan bintang seringgit (dua setengah perak). Pada masa itu terkenal dengan istilah prit jigo(dua puluh lima perak), kalau pelanggar lalu lintas ketangkap polisi. Sekarang naik hampir 100 kali lipat menjadi nobanatau Rp 20 ribu.

Saat BI lahir pada 1953, Indonesia masih berusaha melepaskan diri dari bayang-bayang cengkeraman penjajah. Hampir bersamaan uang Belanda yang dikenal dengan istilah uang merah di devaluasi dan nilainya menjadi setengah dari nilai resmi. Dikenal dengan istilah gunting untuk Syafrudin.

Kala itu belum ada televisi, dan pengumuman gunting uang yang tiba-tiba sangat menghebohkan. Tiba-tiba saja rakyat berbondong-bondong menyerbu toko-toko. Di masa itu gejolak politik terjadi di berbagai daerah. Pengeluaran membengkak dan ekspor belum berkembang.

Dalam masa ekonomi terpimpin (1959-1966), kondisi keuangan pemerintah memburuk akibat saratnya agenda politik. Suhu politik meninggi, sementara tingkat inflasi mencapai 635 persen pada 1966. Pada masa Orde Baru, kondisi negara segera membaik. Tingkat inflasi turun hingga dibawah 10 persen.

Tapi, pada masa 1983-1997 keuangan negara tertekan akibat turunnya harga minyak di pasaran dunia dan melesunya ekonomi dunia. Kondisi perekonomian yang mulai membaik buyar setelah medio Juli 1997, ketika krisis ekonomi di Asia menjalar ke Indonesia. Di negeri ini, krisis meluas ke berbagai dimensi.

Pada 1997-1999 (masa krisis ekonomi moneter) berbagai kebutuhan pokok menjadi langka di pasaran. Publik kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Demonstrasi dan protes terus bergulir. Perubahan kepemimpinan nasional tidak membawa perubahan. Klimaksnya terjadi 21 Mei 1998 dengan hengkangnya Pak Harto.

Krisis seperti yang terjadi 11 tahun lalu itu kini terjadi lagi. Beberapa perusahaan terpaksa men-PHK buruhnya. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar terus merosot. Semoga kita berhasil menghadapi krisis global ini.

No comments: